Menagih Janji Swasembada Garam
Upaya swasembada garam nasional pada 2024 dibayangi sejumlah persoalan. Masih banyak karut-marut pada tata niaga.
Pemerintah menargetkan Indonesia lepas dari ketergantungan impor garam pada tahun 2024. Mayoritas kebutuhan garam nasional dipenuhi dari produksi dalam negeri. Kendati target sudah disematkan, harapan agar produksi garam benar-benar ”asin” atau berdaulat di negeri sendiri masih menempuh jalan berliku.
Upaya Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan impor garam diamanatkan Presiden Joko Widodo melalui kebijakan percepatan pembangunan pergaraman nasional. Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional yang diteken pada 27 Oktober 2022 mewajibkan terpenuhinya kebutuhan garam nasional dari produksi dalam negeri, yakni petambak garam dan badan usaha, paling lambat pada tahun 2024.
Kebutuhan garam nasional terbagi atas 13 kelompok, meliputi garam konsumsi, garam untuk industri aneka pangan, industri penyamakan kulit, pengelolaan air (water treatment), industri pakan ternak, dan industri pengasinan ikan. Selain itu, garam untuk peternakan dan perkebunan, industri sabun dan detergen, industri tekstil, pengeboran minyak, industri farmasi, industri kosmetik, serta industri kimia atau chlor-alkali (CAP).
Baca juga: Kemandirian Garam Nasional Perlu Pembenahan Menyeluruh
Pemenuhan garam impor hanya diberikan bagi industri kimia dasar atau CAP. Industri CAP memiliki standar kebutuhan bahan baku garam yang sangat tinggi dan belum bisa dipenuhi oleh hasil produksi lokal. Sementara kebutuhan garam untuk 12 kelompok lain harus bisa terpenuhi dari negeri sendiri melalui program Sentra Ekonomi Garam Rakyat (Segar).
Program Segar sebagai bagian dari percepatan pembangunan pergaraman nasional difokuskan di daerah-daerah yang memiliki lahan produksi garam, tersedia prasarana dan sarana usaha, memiliki pangsa pasar garam, serta didukung pemerintah pusat, daerah, dan/atau pemangku kepentingan. Namun, program Segar tidak semulus yang dimandatkan. Pendampingan produksi terhadap petambak garam masih belum optimal karena keterbatasan tenaga penyuluh.
Karut-marut tata niaga membayangi industri pergaraman sejak tahun 1960-an. Separuh abad berlalu, problem garam nasional belum terpecahkan. Persoalan berkutat pada produksi garam yang tidak memenuhi standar kualitas dan volume yang dibutuhkan industri, faktor cuaca kemarau basah dan hujan penyebab gagal panen, harga jual anjlok, masalah pengangkutan atau logistik, ataupun monopoli industri garam. Ujungnya, garam tetap diimpor bagi keperluan industri di Tanah Air.
Pada tahun 2023, pemerintah menetapkan kuota impor garam sebesar 2,8 juta ton. Sampai September 2023, realisasi impor garam untuk bahan baku industri tercatat 1,8 juta ton. Tahun 2022, realisasi impor garam berkisar 2,75 juta ton.
Separuh abad berlalu, problema garam nasional belum terpecahkan.
Luas lahan garam rakyat per 2021 tercatat 22.206 hektar, sedangkan luas lahan milik PT Garam adalah 5.740 ha (PT Garam, 2019). Adapun produksi garam nasional, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, berkisar 1,92 juta ton per November 2023 dari target produksi 2 juta ton tahun ini. Pada tahun 2024, pemerintah juga menargetkan produksi garam nasional 2 juta ton.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat total kebutuhan garam nasional tahun 2022 mencapai 4,5 juta ton. Sejumlah 84 persen di antaranya atau 3,7 juta ton merupakan garam untuk bahan baku dan bahan penolong industri, sementara 800.000 ton untuk kebutuhan konsumsi.
Baca juga: Industri Janji Serap 736.000 Ton Garam Produksi Petambak Domestik
Menurut Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), kebutuhan impor garam mencapai 2,9 juta ton, antara lain berasal dari industri CAP di kisaran 2,2 juta-2,3 juta ton. Selain itu, kebutuhan 600.000 ton untuk industri aneka pangan dan 6.000-7.000 ton untuk farmasi (Kompas, 5/12/2023). Kualitas produksi garam rakyat dinilai hanya mencukupi persyaratan untuk industri sederhana, seperti pengasinan ikan.
Inisiasi mendorong serapan garam rakyat telah dilakukan oleh industri pengguna garam, tetapi realisasinya masih rendah. Sepanjang 2022, angka serapan garam produksi petambak ditargetkan 1,05 juta ton, sedangkan realisasinya 40 persen. Tahun 2024, target serapan masih sama, tetapi industri pengguna garam dan industri farmasi berkomitmen menyerap 736.911 ton garam nasional atau 80 persen dari target.
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia Jakfar Sodikin mempertanyakan kebutuhan impor garam yang setiap tahun terus naik signifikan. Sementara itu, penyerapan garam nasional sebesar 1 juta ton per tahun masih sulit tercapai. Padahal, produksi garam nasional sampai akhir tahun 2023 diyakini melampaui 2 juta ton karena didukung cuaca kemarau panjang. Terobosan kebijakan swasembada garam yang dicanangkan pemerintah dinilai tidak diikuti kesiapan program.
”Kebutuhan industri untuk garam impor tiap tahun terus naik meski produksi garam juga meningkat. Apakah ini adalah cara memperbesar impor?” katanya.
Tidak siap
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda mengemukakan, seluruh industri pengguna garam d luar CAP seharusnya sudah bisa menyerap hasil produksi garam dalam negeri. Persoalannya, kualitas garam rakyat kerap dipandang sebelah mata dan tidak memenuhi standar bahan baku industri farmasi dan aneka pangan. Akhirnya, impor garam menjadi jalan pintas.
Apakah ini adalah cara memperbesar impor? (Jakfar Sodikin)
Kriteria bahan baku garam yang dibutuhkan industri bervariasi, antara lain mengacu pada kadar natrium klorida (NaCl). Kebutuhan NaCl garam bahan baku industri berkisar 80 persen hingga di atas 97 persen, sedangkan garam konsumsi berkisar 88-94 persen. Sementara itu, garam produksi rakyat mengandung kadar NaCl rata-rata 87-90 persen.
”Seluruh garam dari tambak masih harus diolah dan tidak bisa langsung dipakai oleh industri. Garam impor pun masih perlu diolah sebelum digunakan (industri). Persoalannya, apakah ada komitmen menjalankan mandat swasembada garam atau pilih impor terus?” kata Huda saat dihubungi, beberapa waktu lalu.
Menurut Huda, upaya menjalankan amanat Perpres No 126/2022 terkait swasembada garam membutuhkan komitmen kementerian dan lembaga terkait dalam mendorong serapan garam rakyat dan memfasilitasi pengembangan pabrik pengolahan garam menjadi bahan baku sesuai kriteria industri. Pengolahan itu meliputi pemurnian garam dan menaikkan kadar NaCl. ”Ini bukan hanya tugas KKP,” kata Huda.
Baca juga: Swasembada Garam Butuh Terobosan Pengolahan Bahan Baku
Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga kini baru memiliki sembilan pabrik pemurnian garam, meliputi delapan pabrik dengan kapasitas pengolahan rata-rata 6.500 ton per unit dan satu pabrik berkapasitas 10.000 ton. Namun, pabrik olahan garam itu hanya mampu memenuhi standar garam konsumsi, bahan baku industri pakan ternak dan industri lainnya dengan kadar NaCl 95 persen.
Jakfar mengakui, kualitas garam rakyat terbagi atas beberapa kelas, yakni kualitas (kw) 1 hingga kualitas 5. Meski kualitas beragam, bahan baku tersebut masih akan diolah lagi sesuai dengan kebutuhan industri. Dicontohkan, garam impor dari Australia yang dikirim ke Indonesia juga telah melalui proses pencucian dan pemurnian garam dengan teknologi tinggi.
”Banyak garam rakyat bermutu tinggi, tetapi kerap disamaratakan berkualitas rendah. Masalah puluhan tahun ini menunjukkan kegagalan pemerintah karena tidak bisa mendorong kualitas garam rakyat,” katanya.
Sebagian industri pengolah garam di Indonesia masih menggunakan mesin dan teknologi pengolahan garam sederhana. Akibatnya, industri pengguna garam itu cenderung mencari jalan pintas dengan memilih garam impor berkualitas tinggi. Hanya beberapa perusahaan pengolah garam di Indonesia yang memiliki mesin pemurnian berteknologi tinggi mampu menyerap garam rakyat kualitas 3.
Kiprah PT Garam selaku badan usaha milik negara saatnya digenjot untuk menghasilkan produksi garam berkualitas serta pengembangan pabrik pemurnian dan pengolahan garam. Pada 2022, PT Garam yang memiliki lahan garam seluas 5.740 ha hanya mampu memproduksi 65.000 ton garam akibat musim kemarau basah.
Tahun ini, produksi garam dari PT Garam diproyeksikan sekitar 225.000 ton. Jumlah itu jauh dari kebutuhan garam nasional (Kompas, 14/6/2023). Andai produktivitas tambak seluas 5.740 ha milik PT Garam dimaksimalkan rata-rata 100 ton per ha dengan garam berkualitas tinggi, maka dapat dihasilkan produksi sebesar 500.000 ton untuk memenuhi kebutuhan industri aneka pangan. Dengan demikian, impor industri aneka pangan bisa diatasi.
Di sisi hilir, serapan garam lokal membutuhkan terobosan logistik. Sentra produksi garam tersebar di Jawa dan luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Aceh, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara industri pengolahan dan pengguna garam terkonsentrasi di Jawa. Beberapa sentra garam di luar Jawa kerap mengalami penumpukan stok garam akibat minim terserap pasar dan hambatan mata rantai perdagangan.
Di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, penjualan garam terus menurun sejak musim panen bulan Juli tahun ini. Hingga November 2023, stok garam telah mencapai 4.000 ton dari hasil panen tambak garam seluas 54 hektar. Pembelian garam dari kabupaten itu rata-rata hanya 20-30 ton per bulan.
”Saat ini, gudang-gudang (penyimpanan garam) sudah hampir penuh. Kami berharap ada pembeli di bulan-bulan mendatang. Setiap (sentra garam) Jawa panen, pasti garam kami minim pembeli. Nanti, memasuki musim hujan, baru ada pembeli,” ujar Lagabus Pian, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua, saat dihubungi, Senin (11/12/2023).
Langkah konkret membenahi hulu-hilir pergaraman nasional tengah dinantikan. Keberpihakan pemerintah perlu dibuktikan dengan terobosan intensifikasi tambak rakyat dan PT Garam serta pengembangan teknologi pemurnian garam. Tentu, upaya itu dibarengi kewajiban industri pengguna garam untuk menggenjot penyerapan garam lokal.
Pencanangan swasembada garam nasional pada 2024 diharapkan tidak berujung pepesan kosong.