Kelas Menengah RI Butuh Perhatian Sebelum Terlambat
Jumlah kelas menengah RI akan terus naik seiring dengan naiknya tingkat pendapatan per kapita nasional. Semakin besar populasi kelas menengah, akan semakin relevan pula isu-isu terkait keadilan dan kualitas ekonomi.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat. Namun, status ekonomi yang tanggung, alias tidak miskin tetapi tidak kaya, membuat mereka nyaris terabaikan dan rentan kembali jatuh miskin. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan kelompok ini akan ekonomi yang lebih berkualitas sebelum keresahan sosial memuncak.
Menurut Laporan Bank Dunia ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class”, kelas menengah di Indonesia tumbuh 10 persen setiap tahunnya selama periode 2002-2016. Ibaratnya, satu dari setiap lima orang Indonesia saat ini adalah bagian dari kelas menengah. Bank Dunia mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia sebagai orang yang pengeluarannya berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta dalam sebulan.
Pada saat yang sama, jumlah orang miskin ekstrem di Indonesia turun dari 19 persen menjadi 7 persen dari total populasi. Per Maret 2023, kemiskinan ekstrem tinggal 2,04 persen.
Jumlah kelas menengah RI per tahun 2020 diperkirakan ada 52 juta orang atau 19 persen dari total populasi. Sebagian besar adalah kelas menengah-bawah. Ada pula kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class) alias sudah lepas dari jerat kemiskinan tetapi belum seaman kelas menengah. Jumlahnya 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, jumlah kelas menengah RI akan terus naik seiring dengan naiknya tingkat pendapatan per kapita nasional. ”Ada gejala middle class kita semakin naik pesat. Apalagi di tahun 2045 nanti saat Indonesia ditargetkan jadi negara maju,” kata Chatib dalam Regional Chief Economist Forum di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/12/2023).
Kelas menengah adalah masyarakat yang sudah tidak lagi hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi masih rentan jatuh miskin jika sewaktu-waktu terjadi guncangan. Pandemi Covid-19 adalah masa-masa di mana banyak kelas menengah kembali miskin karena kehilangan mata pencarian, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penghasilannya dipotong.
Chatib mengatakan, meski rentan, kelompok ini tidak tersentuh program perlindungan sosial yang saat ini lebih difokuskan bagi mereka yang miskin dan masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
”Saya tidak bicara kelompok menengah-atas, tetapi kelas menengah-bawah yang sangat mungkin jatuh miskin dan tidak mendapat perlinsos. Ke depan, seiring dengan meningkatnya income per capita kita dan turunnya penduduk miskin ekstrem, kelompok ini akan menjadi yang paling rentan,” katanya.
Belajar dari Chile
Fenomena ini perlu diantisipasi lewat arah kebijakan baru yang lebih memperhatikan kelompok menengah-bawah. Menurut Chatib, ini menjadi salah satu pekerjaan rumah penting bagi pemerintahan mendatang.
Indonesia bisa berkaca pada pengalaman Chile, negara yang sampai tahun 2019 memiliki kinerja ekonomi paling baik di Amerika Latin. Chile memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Latin, Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya paling tinggi, dan angka kemiskinan yang turun drastis dari 53 persen pada 1987 ke 6 persen pada 2017, terendah di kawasan. Namun, pada Oktober 2019 terjadi keresahan sosial besar-besaran yang berujung pada revolusi dan menjatuhkan pemerintahan petahana saat itu.
Mirip dengan RI, kebijakan ekonomi di Chile fokus pada memperkecil jurang ketimpangan pendapatan (vertical inequality) untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Namun, mereka luput memperhatikan horizontal equality atau ketimpangan kualitas hidup, yang menjadi perhatian kelas menengah.
Isu-isu yang memunculkan ketidakpuasan di kelas menengah itu, antara lain, adalah kualitas hidup dan kerja, akses kebutuhan pokok, perumahan yang terjangkau, rasa keadilan politik dan ekonomi, keterbukaan, dan demokrasi. Semakin besar populasi kelas menengah, semakin relevan pula isu-isu keadilan dan kualitas ekonomi.
”Semua kebijakan Chile itu mirip dengan kita. Ekonominya secara makro memang tumbuh tinggi, tetapi warga bisa merasa ketimpangan meningkat,” kata Chatib.
Ia menilai, jika jumlah kelas menengah terus meningkat, tetapi kebijakan ekonomi pemerintah masih fokus pada angka pertumbuhan ekonomi semata, keresahan sosial yang sama bisa saja terjadi di Indonesia.
”Mengelola ekonomi sampai 2045 akan lebih rumit karena naiknya kelas menengah. Dari sekarang harus mulai dipikirkan kebijakan seperti apa yang bisa memenuhi concern mereka. Tidak bisa hanya fokus pada growth dan pengentasan kemiskinan ekstrem,” ujarnya.
Anggaran cukup?
Ikhtiar memperluas cakupan perlindungan sosial dan memperhatikan kebutuhan kelas menengah tentu perlu diiringi kapasitas anggaran yang cukup. Chatib memperhitungkan, perluasan perlindungan sosial ke kelas menengah-bawah di Indonesia kira-kira membutuhkan anggaran Rp 180 triliun setiap tahunnya.
”Ini masih lebih rendah dibandingkan dengan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahun harus kita keluarkan,” katanya.
Angka itu didapat dengan mengasumsikan ada 115 juta orang atau 30 juta rumah tangga dalam kategori menengah rentan atau calon kelas menengah sesuai dengan perkiraan Bank Dunia. Asumsinya, tiap rumah tangga mendapat bantalan sosial Rp 1 juta per bulan selama enam bulan.
Meski demikian, pendekatan perlinsos untuk kelas menengah-bawah tidak bisa disamakan dengan masyarakat miskin. Besaran bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan ke kelompok menengah-bawah besarannya mesti lebih kecil sesuai proporsi.
Sementara semakin bergerak ke atas seperti kelas menengah-atas, kebijakannya bukan lagi pemberian BLT, melainkan fasilitas publik yang baik serta sistem ekonomi yang lebih adil dan berkualitas. ”Semakin ke tengah, cash transfer semakin kecil, dan tidak begitu relevan,” ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, bangkitnya populasi kelas menengah adalah hasil dari laju pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5 persen selama 15 tahun terakhir serta turunnya angka kemiskinan dan pengangguran nasional.
Ia sepakat bahwa kebijakan fiskal dan ekonomi secara umum mulai mesti memperhatikan kelas menengah, khususnya menengah-bawah. ”Ini karena sebagian dari mereka masih sangat rentan. Harga beras naik sedikit saja, mereka sudah kesulitan. Padahal, kelompok ini yang ke depan akan membentuk ekonomi Indonesia,” kata Suahasil.
Namun, pendekatan yang diambil mesti terukur sesuai kapasitas fiskal negara. Instrumen BLT dan perlinsos yang saat ini hanya untuk masyarakat di desil 1 dan 2 (sangat miskin dan miskin), misalnya, masih bisa diperluas sampai ke masyarakat desil 3 dan 4 (hampir miskin dan rentan miskin).
”Hanya saja treatment-nya yang akan beda. Untuk kelas menengah-atas yang dibutuhkan adalah akses pendidikan dan kesehatan yang baik, atau infrastruktur jalan raya dan transportasi publik yang nyaman dan tertata. Ini harus mulai kita pikirkan,” ucapnya.