Berburu Inspirasi Destinasi Wisata dari Linimasa
Media sosial menjadi sumber informasi utama yang dicari warga saat merencanakan liburan akhir tahun.
Merencanakan liburan akhir tahun bisa memusingkan. Semakin banyak destinasi wisata yang muncul, mana yang harus dipilih? Hari-hari ini, dengan bermodal scrolling linimasa dan kesabaran ekstra, media sosial pun menjadi sumber informasi utama untuk inspirasi merancang rencana berwisata.
Satu bulan sebelum berlibur, Tiara Yahya (23) biasanya menjadi seorang periset ulung. Ia akan menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyusun rencana perjalanan (itinerary) secara rinci. ”Saya enggak bisa liburan dadakan, harus betul-betul terencana. Hari ini dan jam segini mau ke mana saja, lalu habis dari situ ke mana,” tuturnya, Senin (4/12/2023).
Media sosial, terutama Tiktok, pun menjadi acuan utamanya dalam meriset destinasi wisata, seperti hotel tempat menginap, pusat wisata kuliner, dan spot-spot hidden gem yang bisa dikunjungi. Bagi Tiara, referensi tempat liburan di Tiktok itu paket lengkap. Ada ulasan, gambaran visual, perkiraan budget yang perlu disiapkan, dan opsi transportasi yang bisa dipilih.
Baca juga: Industri Pariwisata Bergairah Menyambut Akhir Tahun
”Informasinya lebih komplet. Bahkan, orang lain pun bisa ikut kasih review di kolom komentar. Jadi, kalau mau cari tahu lebih detail, makanannya enak atau enggak, kamarnya nyaman atau enggak, tinggal scroll saja baca komen orang-orang,” katanya.
Biasanya, ia memulai riset kecil-kecilannya dengan mencari kata kunci berlibur dan berwisata di kolom search Tiktok. Algoritma Tiktok akan dengan sendirinya memperbarui linimasa FYP (for your page) Tiara dengan beragam konten wisata. Setelah itu, Tiara tinggal ”menyelami” berbagai tagar yang tersemat di konten-konten itu untuk memperluas pencariannya.
Cek silang
Tiktok bukan sumber satu-satunya ketika merencanakan liburan. Setelah mendapat inspirasi dan ulasan dari Tiktok, Tiara biasanya juga akan mengecek sumber lain, seperti Instagram, aplikasi Traveloka, dan mengecek peringkat destinasi yang dimaksud di Google.
”Pokoknya saya akan cari terus dari macam-macam sumber sampai benar-benar ’sreg’, baru klik untuk pesan. Sampai sekarang, sih, hasilnya hampir selalu worth it,” ujar Tiara.
Hal serupa dikemukakan Ummu Zahroh (34). Ia juga selalu menggunakan media sosial sebagai acuan mencari inspirasi liburan. ”Biasanya, sih, lihat postingan influencer karena menarik dan kreatif. Paling sering itu menonton minivlog dari Youtube, postingan di Tiktok, dan Instagram, baru tanya-tanya lagi ke teman yang sudah pernah ke sana,” ujar karyawati swasta asal Surabaya, Jawa Timur, itu.
Informasi dari media sosial tidak selalu memuaskan. Apalagi, jika lokasi tersebut sedang viral-viralnya tersebar.
Baru-baru ini, pada Oktober 2023, Ummu dan keluarganya berkunjung ke Malang, Jatim, untuk staycation (liburan menetap). Sambil menunggu waktu check-in hotel, ia pun membuka media sosial untuk mencari destinasi wisata yang bisa didatangi dalam waktu cepat.
Sebuah postingan di Tiktok oleh influencer lokal yang mempromosikan titik destinasi bernama Flora Wisata San Terra de Lafonte menarik perhatian Ummu. Di tempat itu, ia dan keluarganya bisa melihat-lihat berbagai jenis flora, berfoto di spot-spot yang unik, dan menikmati macam-macam wahana bermain. Lokasinya pun tidak jauh dari hotel tempat Ummu menginap.
Informasi dari media sosial tidak selalu memuaskan. Apalagi, jika lokasi tersebut sedang viral-viralnya tersebar. Ummu pernah terjebak macet berjam-jam saat berkunjung ke salah satu tempat wisata di Pasuruan yang baru dibuka dan viral.
”Macetnya enggak masuk akal. Akhirnya saya putar balik, enggak jadi masuk. Ternyata, tempat itu sebenarnya belum selesai dibangun,” kata Ummu.
Aditya Mahardika (37), yang menyukai wisata alam, pun merasa tidak semua informasi dari media sosial bisa ditelan mentah-mentah. Oleh karena itu, ia biasanya akan mengecek ulang ke orang lain yang sudah pernah berkunjung ke tempat wisata yang dimaksud atau mencari konten seputar tempat tersebut dari platform lain, terutama dari Youtube.
Baca juga: Pariwisata Berkualitas Perlu Jadi Perhatian
Ia dan keluarganya pernah berkunjung ke sebuah camping ground di Ciwidey, Bandung, Jawa Barat. Namun, ia terkejut karena ternyata kondisi trek jalan menuju lokasi buruk.
”Mungkin karena medsos jadi kebutuhan konten, tidak semua informasi seperti kondisi trek ditampilkan, biar tetap ramai pengunjung. Tetapi tidak apa-apa juga karena terbayarkan setelah sampai di lokasi, bahkan ternyata lebih bagus dari yang ada di konten,” katanya.
Paling digandrungi
Hasil survei Populix ”End of Year Vacation Plan Report” pada 2022 menunjukkan, media sosial menempati peringkat kedua (69 persen responden) sebagai sumber informasi utama untuk liburan akhir tahun. Peringkat pertama masih bersumber dari rujukan teman atau keluarga (70 persen responden), disusul rujukan pasangan (28 persen) dan publikasi media massa (25 persen).
Dari beragam jenis media sosial, Instagram paling digandrungi oleh 87 persen responden. Posisi kedua ditempati Youtube (69 persen), Tiktok (56 persen), Facebook (34 persen), dan Whatsapp (33 persen).
Survei lain oleh RedDoorz menunjukkan, preferensi menjadikan media sosial sebagai sumber informasi berwisata juga tergantung pada kelompok usianya. Generasi milenial dan Z lebih banyak menggunakan platform media sosial seperti Instagram (77 persen), Tiktok (58 persen), dan Youtube (28 persen). Sementara, generasi X masih lebih mengandalkan rekomendasi teman dan keluarga.
Media sosial menempati peringkat kedua (69 persen responden) sebagai sumber informasi utama untuk liburan akhir tahun.
Penggerak Desa Wisata Nglanggeran, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sugeng Handoko, menuturkan, media sosial dapat memudahkan pengunjung dan pengelola wisata. Media sosial membantu pengunjung mencari informasi sekaligus menggerakkan tingkat kunjungan wisatawan yang menguntungkan pengelola.
”Karena media sosial, suatu tempat jadi lebih mudah diakses dan menjangkau lebih banyak segmen, terutama milenial dan generasi Z. Modelnya lebih interaktif dan komunikasi dua arah secara cepat. Wisatawan pun bisa membantu promosi karena mereka otomatis membuat konten dan di-upload,” kata Sugeng, yang desa wisatanya juga cukup sering diangkat di medsos.
Namun, dampak negatifnya tak bisa diremehkan pula. Ada beberapa kasus di mana unggahan media sosial justru membuat sebuah lokasi wisata ramai dikunjungi orang lalu berujung rusak.
Contohnya, insiden Rumah Abah Jajang di Curug Citambur, Pasir Kuda, Cianjur, Jawa Barat, awal tahun ini. Rumah Abah Jajang, yang sebenarnya bukan lokasi wisata, viral karena memiliki pemandangan indah yang menghadap langsung ke air terjun Citambur.
Baca juga: Pariwisata Makin Pulih, Awas Risiko Berlebih
Setelah ramai di media sosial, rumah itu kedatangan banyak pengunjung. Akibatnya, halaman dan tanaman Abah Jajang rusak diinjak-injak banyak wisatawan.
Ada pula contoh Ranu Manduro di Mojokerto yang viral pada 2020. Wisata alam yang merupakan bekas galian tambang itu menyuguhkan pemandangan alam savana atau padang rumput hijau luas. Setelah viral, Ranu Manduro dipadati pengunjung hingga keasrian alamnya hilang karena dipadati lautan manusia.
Kapasitas maksimal
Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari mengatakan, kehadiran media sosial sebenarnya adalah hal positif yang bisa menarik banyak pengunjung. Namun, jika aturan berwisata tidak disesuaikan, insiden seperti Ranu Manduro dan Rumah Abah Jajang akan selalu terulang.
Hal ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pemerintah, pengelola tempat wisata, sampai pengunjung. ”Kelemahan kita adalah tidak memperhatikan physical carrying capacity atau kapasitas maksimal dalam satu destinasi. Bukan hanya jumlah, melainkan juga bagaimana mobilitas di dalamnya,” kata Azril.
Kelemahan kita adalah tidak memperhatikanphysical carrying capacityatau kapasitas maksimal dalam satu destinasi. Bukan hanya jumlah, melainkan juga bagaimana mobilitas di dalamnya.
Dalam mengukur kapasitas, pengelola mesti mempertimbangkan aspek waktu dan mobilitas atau berapa orang yang diizinkan dalam kurun waktu tertentu. Artinya, pengelola pun mesti tegas menutup pintu dan menolak pengunjung jika jumlahnya sudah melebihi kapasitas.
”Ini perlu jadi catatan menjelang liburan akhir tahun. Media sosial memang baik untuk bisnis, tetapi aspek peraturan dan kapasitas ini juga harus dipikirkan. Kita jangan terus terjebak dalam mass tourism, asal mengejar jumlah saja, tetapi tempat wisata tidak dijaga,” ujarnya.