Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
Pekerja di sektor pertanian yang semakin menua membutuhkan regenerasi petani yang berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan di sektor pertanian semakin berat. Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah usaha pertanian turun, serta jumlah petani berusia tua atau di atas 55 tahun dan petani gurem di Indonesia meningkat.
Jika tidak segera diatasi, kondisi itu akan berimplikasi pada regenerasi dan kesejahteraan petani, ketahanan pangan nasional, serta pengentasan rakyat miskin ke depan. Hal itu mengingat sektor pertanian merupakan salah satu mesin penggerak ekonomi nasional dan penyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam acara Desiminasi Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 Tahap I yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) secara hibrida di Jakarta, Senin (4/12/2023). Sensus yang digelar setiap sepuluh tahun sekali itu pada tahun ini dilakukan pada 1 Juni-31 Juli.
Berdasarkan hasil ST 2023 Tahap I, jumlah unit usaha pertanian di Indonesia turun 7,42 persen dari hasil ST 2013 yang sebanyak 31,71 juta unit menjadi 29,36 juta unit. Khusus untuk unit usaha pertanian perorangan (UTP), jumlahnya turun 7,45 persen dari 31,71 juta unit pada 2013 menjadi 29,34 juta unit pada 2023.
Di tengah penurunan unit usaha pertanian, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pada 2023 justru meningkat 8,74 persen dari 26,14 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 28,42 juta rumah tangga pada 2023.
Baca juga: Batu Sandungan Jalan Tani
Meskipun meningkat, jumlah RTUP pada semua subsektor pertanian turun. Penurunan terbesar terjadi pada subsektor kehutanan dan tanaman pangan masing-masing sebesar 48,87 persen dan 12,28 persen. Jumlah RTUP di subsektor tanaman pangan, misalnya, turun dari 17,73 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 15,55 juta rumah tangga pada 2023.
Rasio UTP terhadap RUTP turun dari 1,21 pada 2013 menjadi 1,03 pada 2023. Artinya, dalam 10 tahun terakhir, dari 100 petani yang memiliki usaha pertanian berkurang dari 21 petani menjadi 3 petani.
Selain itu, ST 2023 Tahap I tersebut juga menunjukkan petani di Indonesia semakin menua. Jumlah petani gurem atau pemilik lahan di bawah 0,5 hektar juga semakin bertambah.
Baca juga: Semakin Gurem
Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan, proporsi petani pengelola UTP berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Begitu juga petani berusia 65 tahun ke atas yang proporsinya meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
Adapun jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
ST 2023 Tahap I tersebut juga menunjukkan petani di Indonesia semakin menua. Jumlah petani gurem atau pemilik lahan di bawah 0,5 hektar juga semakin bertambah.
Tantangan utama
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan, hal itu menjadi tantangan bagi pengembangan sektor pertanian dan pengentasan rakyat miskin di Indonesia. Pada 2022, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan berkontribusi sebesar 14,4 persen terhadap produk domestik bruto nasional.
Sektor tersebut menjadi mesin pertumbuhan ekonomi setelah sektor industri pengolahan (18,34 persen), perdagangan (12,85 persen), dan pertambangan (12,22 persen). Sektor pertanian juga menyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor-sektor lain, kendati proporsi serapannya turun dari 29,96 persen pada Februari 2022 menjadi 29,36 persen pada Februari 2023.
Pekerja di sektor pertanian yang semakin menua membutuhkan regenerasi petani yang berkelanjutan. Bertambahnya petani gurem juga dapat menurunkan kesejahteraan petani.
Di sisi lain, ST 2013 dan 2023 menunjukkan terjadinya tren pekerja di sektor pertanian semakin menua. Sekitar 58 persen petani telah berusia di atas 45 tahun. Selain itu, sensus itu juga mengambarkan terjadinya guremisasi atau semakin banyak petani yang jumlah lahannya semakin menyempit.
”Hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Pekerja di sektor pertanian yang semakin menua membutuhkan regenerasi petani yang berkelanjutan. Bertambahnya petani gurem juga dapat menurunkan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Baca juga: Sawit di Negeri Jelapang Padi
Amalia juga menegaskan, peningkatan kesejahteraan petani sangat penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Hal itu penting mengingat sebanyak 48,86 persen rumah tangga miskin memiliki sumber penghasilan pertanian.
Selama ini, tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia berada di perdesaan yang basis utama perekonomiannya didominasi pertanian. Tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen.
”Tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 7,29 persen, tetapi di desa, angkanya menembus dua digit, yakni 12,22 persen,” kata Amalia.
Dalam gelar wicara ”Data Pertanian Berkualitas untuk Pembangunan”, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin meminta pemerintah mencermati beberapa temuan penting dalam ST 2023. Pertama, pentingnya regenerasi petani di Indonesia.
Petani berusia tua atau di atas 55 tahun ke atas di Indonesia kian bertambah. Hal itu justru diikuti dengan penurunan jumlah petani milenial. ”Apakah berkurangnya tenaga muda di sektor pertanian membuat mereka tidak punya pilihan lain untuk terus bekerja sebagai petani? Atau sebenarnya kita tidak lagi membutuhkan petani muda?” ujarnya.
Baca juga: Peran Petani Milenial dalam Mewujudkan Pangan Berkelanjutan
Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani milenial atau kelahiran tahun 1981-1996 (perkiraan usia sekarang 27-42 tahun) turun. Proporsi jumlah petani berusia 25-34 tahun turun dari 11,97 persen pada 2013 menjadi 10,24 persen pada 2023. Begitu juga dengan petani berusia 35-44 tahun turun dari 26,34 persen menjadi 22,08 persen.
Kedua, lanjut Bustanul, jumlah petani gurem naik tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 2,64 juta orang. Hal itu juga menjadi salah satu indikasi berkurangnya lahan pertanian yang sebenarnya perlu dilindungi pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Penguasaan lahan petani kecil semakin rendah sehingga program kemitraan dengan petani gurem perlu didorong.
”Hal itu bakal menjadi pekerjaan rumah juga bagi para calon presiden dan wakil presiden. Mereka harus memahami persoalan-persoalan tersebut dan memutar otak untuk meningkatkan kesejahteraan petani, terutama petani kecil,” katanya.
ST 2023 itu harus menjadi basis data pembangunan, sehingga pembangunan tidak lagi berdasarkan basis suara.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Riset Kesejahteraan Sosial Desa dan Konektivitasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ali Humaidi mengusulkan agar hasil ST 2023 terintegrasi dengan program-program pembangunan nasional. Persoalan-persoalan yang muncul dari data tersebut perlu diselesaikan dengan menggulirkan program-program konkret.
”ST 2023 itu harus menjadi basis data pembangunan sehingga pembangunan tidak lagi berdasarkan basis suara. Namun, pemanfaatan data itu juga tidak boleh berhenti pada angka atau kuantitas, tetapi juga fakta atau kualitas,” kata Ali.