Semakin Gurem
Dibutuhkan pemahaman yang utuh atas kondisi sosial ekonomi petani saat ini agar kesejahteraan petani meningkat melalui pendekatan korporasi, dan tidak terus menjadi petani gurem.
Lewat aplikasi grup WhatsApp, belum lama ini terjadi diskusi soal dokumen Kementerian Pertanian (2019) tentang "Design" Pengembangan Korporasi Petani.
Diskusi di antara anggota Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) berbagai daerah ini berkembang dengan membahas artikel opini Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, “Pertanian Tanpa Petani” (Kompas, 12/8).
Permasalahan utama yang diangkat berkaitan dengan melemahnya minat generasi muda untuk bertani, petani yang ada kian menua, dan melambatnya regenerasi petani, serta disebutkan terjadinya depeasantization. Dikhawatirkan terjadi korporasi di bidang (pertanian) pangan, yang dengan modal besar meningkatkan produktivitas, dapat keuntungan karena permintaan yang tetap tinggi, tetapi dengan petani yang bekerja di atas tanah yang sudah bukan miliknya lagi. Terjadilah pertanian tanpa petani.
Menyikapi ini tampaknya perlu disamakan terlebih dulu pemahaman atas beberapa hal terkait kondisi petani saat ini. Data BPS (2019) menunjukkan pada 2013 di Indonesia terdapat 14,25 juta petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan (baik milik, sewa atau bagi hasil) kurang dari 0,5 hektar. Pada 2018 bertambah 1,56 juta petani menjadi 15,81 juta petani gurem, atau naik 10,95 persen. Ini sangat mengkhawatirkan karena secara nyata menunjukkan bahwa pertanian kita semakin gurem.
Ini sangat mengkhawatirkan karena secara nyata menunjukkan bahwa pertanian kita semakin gurem.
Yang lebih mencemaskan, jumlah petani gurem itu 57,12 persen dari total jumlah petani yang pada 2018 mencapai 27,68 juta rumah tangga.
Guremisasi dan \'depeasantization\'
Jika dirinci lebih lanjut, data BPS yang sama menunjukkan provinsi dengan peningkatan jumlah petani gurem secara absolut terbesar adalah Jawa Tengah, bertambah 269.000 petani (8,14 persen); Jawa Timur 252.000 (6,73 persen); Jawa Barat 200.000 (8,75 persen); Lampung 131.000 (36,13 persen); dan Sumatera Utara 128.000 (22,62 persen).
Sedangkan provinsi dengan pertambahan petani gurem relatif terbanyak adalah Kalimantan Timur bertambah 85,77 persen, Kalimantan Tengah 77,40 persen, Riau 72,28 persen, Bangka Belitung 52,97 persen, Kalimantan Utara 47,96 persen, dan Papua Barat 42,49 persen.
Hanya Provinsi Maluku Utara dan Papua yang jumlah petani guremnya berkurang, masing-masing 0,68 dan 6,01 persen. Diduga, pengurangan itu bukan berarti lahan petani bertambah luas, tetapi menggambarkan fenomena petani yang sebelumnya sudah gurem tidak bertani lagi atau menjadi bukan petani.
Fenomena ‘guremisasi’ petani di atas tampaknya tidak termasuk dalam pengertian depeasantization yang berlaku umum. Menurut berbagai literatur, antara lain McMichael (2012), yang dimaksud dengan depeasantization adalah berkurangnya pertanian peasant yaitu petani atau usaha tani subsisten berskala kecil, dan digantikan oleh pertanian komersial yang umumnya berskala besar dan padat modal.
Fenomena ini memang terjadi di seluruh dunia, seperti antara lain diungkapkan oleh Farshad (2005) yang melihat fenomena global depeasantization antara 1945 sampai dengan 1990. Dan hasilnya adalah jumlah unit usaha tani atau jumlah petani yang berkurang tetapi dengan skala atau luasan per usaha tani yang meningkat.
Sebagai contoh, di Jepang, yang sama-sama adalah negara kepulauan seperti Indonesia, skala usaha pertanian menunjukkan data yang meningkat. Luas usaha tani padi di Jepang tahun 1995 rata-rata mencapai 0,85 hektar, tahun 2005 menjadi 0,96 hektar, naik 12,9 persen. Jumlah sapi pedaging yang dimiliki petani, tahun 1995 rata-rata 17,5 ekor, tahun 2005 menjadi 30,7 ekor atau naik 75,4 persen.
Sebagai contoh, di Jepang, yang sama-sama adalah negara kepulauan seperti Indonesia, skala usaha pertanian menunjukkan data yang meningkat.
Demikian juga dengan sapi perah yang jumlah rata-rata per usaha taninya naik 35,7 persen. Jadi, dalam hal ini, depeasantization justru berkonotasi positif karena petani menjadi semakin profesional, berskala usaha lebih besar, responsif terhadap perkembangan teknologi, produktivitas meningkat, dan kesejahteraanya meningkat, serta semakin menarik bagi orang-orang muda.
Pertanyaannya justru: mengapa depeasantization tidak terjadi di Indonesia, tetapi justru terjadi petani yang semakin gurem? Belajar dari pengalaman beberapa negara, terdapat dua faktor yang mendorong terjadinya depeasantization positif tersebut.
Pertama, kuatnya serapan sektor industri dan jasa dalam menampung pertambahan tenaga kerja. Daya tarik pendapatan yang lebih besar dan terbukanya kesempatan kerja di luar pertanian kemudian mengurangi tekanan jumlah tenaga kerja pertanian. Fenomena yang dalam literatur ekonomi disebut sebagai transformasi struktural adalah faktor penentu utama depeasantization positif tersebut.
Jika dilihat kondisi perekonomian satu dekade terakhir, transformasi struktural tampaknya belum berjalan dengan baik di Indonesia. Tahun 2010 terlihat jelas terjadinya ketidak seimbangan antara kontribusi pertanian dalam kesempatan kerja dan Produk Domestik Bruto (PDB), pertanian berkontribusi sebanyak 39,0 persen pada penyerapan tenaga kerja, tetapi hanya berkontribusi 15,3 persen pada PDB.
Sektor industri berkontribusi sebanyak 14,5 persen pada kesempatan kerja, sedangkan kontribusi PDB-nya mencapai 36,0 persen. Kondisi ini menunjukkan terjadi kelebihan tenaga kerja di pertanian, yang berkonsekuensi pada tingkat pendapatan tenaga kerja pertanian yang rendah.
Jika transformasi struktural berjalan, harusnya akan ada aliran tenaga kerja pertanian masuk ke industri. Namun, pada tahun 2018, kondisi ketidak seimbangan itu tetap terjadi. Kontribusi pertanian pada kesempatan kerja memang menurun menjadi 29,7 persen, tetapi kontribusi PDB-nya juga turun menjadi 13,1 persen. Di lain pihak kontribusi industri pada kesempatan kerja tidak berubah, tetap 14,5 persen, sedangkan kontribusi pada PDB menurun menjadi 27,7 persen.
Jika transformasi struktural berjalan, harusnya akan ada aliran tenaga kerja pertanian masuk ke industri.
Faktor pendorong kedua adalah dukungan khusus yang diberikan langsung ke petani secara komprehensif. Mulai dari pendidikan dan latihan, pendanaan, teknologi, infrastruktur, pendampingan, penjaminan pasar, dan pemberian subsidi yang sistematis dan cerdas.
Teknologi yang dikembangkan berbasis riset serta pemahaman dan penggunaan ilmu pengetahuan yang terbaik. Infrastruktur dikembangkan mulai dari jalan, air bersih, listrik, hingga internet. Dukungan pendanaan diberikan dengan penekanan pada aspek kemudahan akses dari pada murahnya biaya uang. Dan subsidi dikembangkan untuk hal-hal yang tidak dapat dihantarkan dengan mekanisme bisnis.
Sayangnya, dukungan komprehensif seperti itu belum berjalan dengan baik. Masing-masing komponennya mungkin sudah ada, aspek keterpaduannya masih perlu ditingkatkan. Pendekatannya juga perlu lebih difokuskan dengan sasaran petani-petani yang tertentu dan prospektif. Dengan demikian, kondisi petani yang semakin gurem memang terjadi karena transformasi struktural berjalan sangat lambat, sedangkan dukungan komprehensif kepada petani masih belum sepenuhnya efektif.
Tantangan korporasi petani
Kembali pada soal Program Korporasi Petani, dengan gambaran petani yang semakin gurem di atas, tantangan terbesar adalah bagaimana korporasi petani tersebut akan terbentuk, apakah para petani gurem akan dilibatkan, bagaimana pelibatannya.
Dan jika kabar bahwa pengembangan kawasan pangan dengan menggunakan konsep korporasi itu akan dilakukan di Kalimantan, mungkin perlu dilihat data di atas: pertambahan relatif petani gurem terbesar saat ini justru terjadi di Kalimantan Timur, Tengah dan Utara.
Ide korporasi petani adalah ide yang baik, dan sudah pernah dicoba beberapa kali sejak Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Presiden Joko Widodo.
Belajar dari pengalaman terdahulu, tampaknya pemahaman yang utuh atas kondisi sosial ekonomi petani saat ini adalah faktor penentu kunci, karena pada akhirnya petanilah yang akan menjalankan dan diharapkan meningkat pendapatannya melalui pendekatan korporasi itu. Jika tidak, maka tampaknya petani dapat terus menjadi semakin gurem.
(Bayu Krisnamurthi Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Guru Besar Madya Dept. Agribisnis IPB)