Dianggap Tak Lazim, Tambahan Belanja Alutsista Rp 61,7 Triliun Dipertanyakan
Mekanisme penarikan pembiayaan di awal biasanya dilakukan dalam waktu satu tahun anggaran yang sama, bukan lintas tahun anggaran. Praktik itu juga harus didasari kebutuhan prioritas yang mendesak.
JAKARTA, KOMPAS – Tambahan alokasi Rp 61,7 triliun untuk belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) bagi Kementerian Pertahanan yang berasal dari pinjaman luar negeri dianggap tidak lazim dan rawan disalahgunakan menjelang pemilu. Apalagi, tata kelola anggaran untuk sektor pertahanan selama ini tidak pernah dilakukan secara terbuka dengan dalih kerahasiaan negara.
Pemerintah baru-baru ini menambah pagu alokasi pinjaman luar negeri untuk belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) Kementerian Pertahanan pada periode 2020-2024 sebesar 4,25 miliar dollar AS atau lebih-kurang Rp 61,7 triliun.
Baca juga: Kemenhan Dapat Tambahan Pinjaman Luar Negeri Rp 61,7 Triliun untuk Belanja Alutsista
Keputusan itu diambil setelah rapat tertutup dihadiri Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol), Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan, pinjaman pengadaan alutsista untuk periode 2020-2034 dilakukan dalam tiga tahap, yakni 2020-2024, 2025-2029, dan 2030-2034.
Penambahan pagu pinjaman sebesar 4,25 miliar dollar AS untuk belanja alutsista periode 2020-2024 tersebut bersumber dari alokasi pagu pinjaman untuk 2025-2029 (Kompas,30/11/2023).
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, Jumat (1/12/2023) menilai, mekanisme penarikan pembiayaan di awal sebenarnya lazim dilakukan untuk menutupi kekurangan pembiayaan di awal tahun anggaran. Namun, praktik itu biasanya hanya dilakukan dalam waktu satu tahun anggaran yang sama, bukan melintasi tahun anggaran.
Dalam situasi tertentu, mekanisme penarikan pembiayaan di awal bisa saja dibenarkan dengan syarat ada kebutuhan prioritas yang mendesak. Ia mencontohkan, momen mendesak seperti pandemi yang membutuhkan pembiayaan besar, dapat menggunakan pagu pinjaman dari tahun anggaran berikutnya.
“Biasanya harus terukur derajat prioritas dan aspek kemendesakannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah tambahan pinjaman untuk belanja alutsista di akhir tahun ini suatu prioritas yang mendesak?” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Kalaupun memang perlu diadakan, kenapa harus menjelang pemilu?
Menurut Fithra, penganggaran militer pada dasarnya mengacu pada prinsip si vis pacem, para bellum. Artinya, jika ingin ada perdamaian, bersiap-siaplah untuk berperang. Ini yang membuat tata kelola anggaran militer tidak seperti penganggaran negara pada umumnya yang berdasarkan hitung-hitungan dampak pengganda (multiplier) ke ekonomi.
Namun, kondisi saat ini dinilai belum mendesak untuk memenuhi prinsip si vis pacem, para bellum itu. “Memang ada konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel, tetapi itu masih jauh dari lingkup kita di Asia Tenggara. Prinsip penganggaran berdasarkan dampak multiplier ke ekonomi juga tidak terpenuhi, karena belanja alutsista kita sebagian besar dari impor, bukan menyerap dari industri dalam negeri,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, juga menyoroti tambahan pagu yang notabene berasal dari pinjaman atau utang itu. “Ini tidak lazim, apalagi mengingat pentingnya mengendalikan utang publik, sehingga seharusnya pagu pinjaman itu tetap harus sesuai dengan peruntukan tahun anggarannya,” ujar dia.
Jelang pemilu
Tambahan pagu pinjaman untuk belanja alutsista, menurut Fithra, tidak tepat secara momentum, yakni dilakukan di akhir tahun menjelang Pemilihan Umum 2024. Pada situasi yang sensitif, keputusan itu dikhawatirkan memunculkan kegaduhan politik.
“Memang belum tentu anggaran itu akan disalahgunakan, tetapi di situasi sensitif seperti ini, akhirnya menimbulkan kecurigaan. Kalaupun memang perlu ada, kenapa harus menjelang pemilu?” tambah Fithra.
Secara terpisah, Direktur Imparsial Al Araf menilai, tambahan alokasi pagu pinjaman luar negeri itu akan sulit dipertanggungjawabkan efektivitasnya di tengah masa pemerintahan yang sudah mau berakhir. Terlebih, Prabowo tengah maju menjadi kandidat bakal calon presiden di Pemilihan Umum 2024, sehingga dinilai tidak akan fokus mengurusi kementerian yang diampu.
Baca juga: Tambahan Pinjaman Belanja Alutsista Berasal dari Alokasi 2025-2029
Semestinya, tambahan alokasi pagu itu bisa difokuskan ke kementerian yang kebutuhannya lebih mendesak. Di momen sensitif, anggaran itu justru rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik. Ia pun menilai semestinya tambahan pagu pinjaman untuk belanja alutsista itu dieksekusi sesuai tahun anggarannya.
“Kenaikan ini menimbulkan tanda tanya, apakah untuk kepentingan membangun pertahanan atau ada udang di balik batu, di mana atas nama pertahanan, anggaran itu berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral 2024,” kata Al Araf.
Terlebih, Al Araf melanjutkan, pengalokasian anggaran untuk sektor pertahanan selama ini kurang transparan sesuai lazimnya prinsip tata kelola anggaran yang baik, sejak tahap perencanaan sampai audit di akhir. Padahal, semestinya sistem penganggaran militer adalah bagian dari sistem penganggaran nasional (APBN).
Namun, dengan alasan sifat kerahasiaan di militer, sistem pengelolaannya cenderung lebih tertutup dibandingkan kementerian/lembaga lain. “Seringkali dugaan penyimpangan anggaran alutsista itu sering terjadi, tetapi sulit dibongkar karena alasan dan dalih ‘rahasia negara’.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tidak bisa masuk ke sektor ini, sehingga dugaan penyimpangannya tinggi karena lembaga penegak hukum independen tidak bisa masuk untuk menginvestigasi,” katanya.
Sistem pengelolaan anggaran pertahanan memiliki kelemahan inheren yang berpengaruh pada efektivitas sistem penganggaran nasional.
Al Araf menilai, semua informasi menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik seharusnya dilakukan secara terbuka. Memang ada pengecualian terkait informasi yang tidak bisa dibuka seperti sektor pertahanan.
“Namun, seharusnya pengecualian itu hanya yang berkaitan dengan strategi dan taktik. Sementara kebijakan belanja alutsista itu kan melalui pinjaman di APBN, yang berarti (pinjaman dibayar) dengan uang rakyat, sehingga seharusnya bisa lebih terbuka,” ujar dia.
Kajian “Sistem Pengelolaan Anggaran Belanja Militer di Indonesia: Tinjauan Aspek Pengendalian, Transparansi dan Akuntabilitas Publik” oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia juga pernah menyoroti hal ini. Hasil penelitian itu menunjukkan, sistem pengelolaan anggaran pertahanan memiliki kelemahan inheren yang berpengaruh pada efektivitas sistem penganggaran nasional.
Di antaranya adalah sistem otorisasi anggaran dan pendanaan terlalu kaku dan birokratis; tidak adanya pemisahan tugas yang memadai sehingga melemahkan pengendalian internal; serta sistem pertanggungjawaban keuangan yang kurang transparan dan akuntabel sehingga berisiko menimbulkan penyimpangan seperti korupsi dan penyalahgunaan dana.
Di sisi lain, belum ada pula aturan hukum yang jelas mengenai prinsip “rahasia negara”. Ini akhirnya menjadi alasan proses penganggaran yang kurang mengikuti prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Sistem pengelolaan anggaran pertahanan memiliki kelemahan inheren yang berpengaruh pada efektivitas sistem penganggaran nasional.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan, penambahan alokasi pinjaman itu dibutuhkan karena belanja alutsista kian mendesak di tengah dinamika geopolitik dan geostrategi. Perubahan alokasi pinjaman disebutnya sudah disepakati bersama dengan Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pertahanan.
Oleh sebab itu, kecurigaan penambahan alokasi pinjaman untuk kepentingan pilpres dinilai sebagai hal yang berlebihan (Kompas, 30/11/2023).