Ongkos ESG Tinggi Jadi Penyebab Pendanaan Belum Terserap
Sektor keuangan kesulitan menyalurkan pendanaan karena banyak perusahaan menilai ongkos penerapan ESG tidak kompetitif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahalnya ongkos masih kerap menjadi kendala perusahaan dalam menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG sesuai dengan standar yang berlaku dalam proses bisnis mereka. Kondisi ini membuat banyak pendanaan berkelanjutan dari sektor keuangan nasional belum terserap di sektor riil.
Hal itu diungkapkan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani dalam acara Corporate Affairs Room-Kompas100 Ceo Forum Powered by PLN bertema ”Masa Depan ESG Menuju Tahun 2024” yang berlangsung di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Acara ini dihadiri corporate secretary/corporate communication representative perusahaan anggota Kompas100 sebagai peserta.
Secara sederhana, ESG adalah konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, ataupun bisnis yang berkelanjutan sesuai dengan tiga kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola. Aviliani mengatakan, banyak perusahaan menilai biaya tambahan dalam proses produksi atau proses bisnis yang harus dikeluarkan karena penerapan ESG tidak kompetitif.
Solusi agar penerapan ESG lebih masif lagi bukan sekadar bunga pembiayaan murah, melainkan bagaimana ongkos yang dikeluarkan bisa lebih murah.
Situasi tersebut membuat sektor keuangan di Indonesia, yang mengelola dana pembiayaan berbasis berkelanjutan, kesulitan dalam menyalurkan pendanaan tersebut. Padahal, bunga pendanaan berkelanjutan relatif lebih rendah ketimbang bunga pinjaman normal.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dihimpun Litbang Kompas, sebanyak 13 bank di Indonesia telah mengelola dana berkelanjutan. Pada 2024, pembiayaan yang tersalurkan sebanyak 337 miliar dollar AS.
”Perusahaan akan bilang, mendingan saya bayar bunga tinggi karena untuk menjalankan ESG ongkosnya mahal. Jadi, solusi agar penerapan ESG lebih masif lagi bukan sekadar bunga murah, melainkan bagaimana ongkos yang dikeluarkan bisa lebih murah,” ujarnya.
Data Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, separuh dari total produk domestik bruto (PDB) dunia dihabiskan untuk membiayai perbaikan kerusakan lingkungan akibat kegiatan industri. Hal itu membuat investor-investor global dunia mulai melirik ke arah bisnis yang lebih ramah lingkungan.
Peran pemda
Kendati begitu, Aviliani menilai aspek lingkungan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Namun, jika aspek lingkungan belum tercapai, setidaknya aspek sosial dan ekonomi mesti dientaskan terlebih dahulu, seperti masalah kemiskinan dan tengkes (stunting). Untuk itu, perusahaan dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah.
”Kalau kita lihat, pertumbuhan ekonomi itu 80 persen ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi. Kalau masyarakat tidak sehat, perekonomian nasional pasti terguncang. Jika konsumsi masyarakat tumbuh baik, pertumbuhan investasi akan mengikuti,” ujarnya.
Agar kinerja kebijakan daerah dapat mendukung tercapainya prinsip ESG yang dikejar sektor swasta, lanjut Aviliani, pemda memerlukan indikasi penilaian (key performance indicator/KPI) agar bisa selaras dengan standar ESG yang berlaku secara global.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengembangan Keuangan Digital Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pandu Sjahrir mengatakan, ketiga aspek, baik lingkungan, sosial, maupun tata kelola perusahaan, saling berkaitan untuk mendorong kualitas ekonomi yang berkelanjutan.
Mengutip hasil riset yang dilakukan Universitas Chicago, pencemaran udara dan lingkungan yang terjadi di Jakarta membuat rata-rata angka harapan hidup penduduknya menurun hingga tujuh tahun. Pencemaran lingkungan bisa berinteraksi dengan nutrisi dan menjadi pemicu tidak langsung dari stunting.
”Demi keberlanjutan lingkungan, perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia yang besar bisa disebut sebagai investor terbesar transisi energi,” ujarnya.
Selain itu, target pemerintah untuk meningkatkan PDB per kapita dari 5.000 dollar AS ke 12.000 dollar AS untuk bisa menjadi negara maju juga memerlukan peningkatan produktivitas manusia. Padahal, saat ini, masih ada 75 juta warga negara Indonesia yang rentan miskin.
Perlu insentif
Untuk itu, lanjut Pandu, insentif dari institusi pemerintah kepada sektor swasta untuk benar-benar diperlukan untuk menerapkan ESG ini penting. ”Terutama penerapan ESG di DKI Jakarta karena ekonomi wilayah ini bisa dibilang jauh lebih besar daripada ekonomi nasional,” kata Pandu.
Tantangan ke depan, karena masalah lingkungan perkotaan semakin kompleks, misalnya soal krisis air bersih dan banjir, di masa depan kota bisa menjadi sumber masalah baru.
Sementara itu, terkait sokongan pemerintah daerah, Arya Fernandes, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyayangkan sedikit sekali pemerintah daerah di Indonesia yang sudah mandiri secara finansial sehingga masih kerap memerlukan transfer dana dari pusat.
Postur anggaran daerah kita itu sebagian besar masih bergantung pada dana perimbangan dari pusat. Anggaran tersebut kebanyakan terserap oleh sektor pendidikan dan infrastruktur.
”Padahal, tantangan ke depan, karena masalah lingkungan perkotaan semakin kompleks, misalnya soal krisis air bersih dan banjir, di masa depan kota bisa menjadi sumber masalah baru. Karena itu, ESG perlu mulai menjadi perhatian pemerintah di daerah,” ujarnya.