Biaya Tambahan dan Sumber Informasi Jadi Tantangan ESG
Perusahaan pertanian dan energi menempatkan persoalan biaya sebagai tantangan nomor satu penerapan ESG, sementara perusahaan FMCG serta transportasi dan logistik menilai kurangnya pemahaman sebagai tantangan utama.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelaku usaha antusias untuk menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. Namun, mereka menghadapi dua tantangan utama, yakni keterbatasan akses informasi serta peningkatan biaya imbas penerapan ESG.
Antusiasme itu mengemuka dalam laporan berjudul "Industry for Tomorrow: Towards ESG Implementation in Indonesia" yang dipublikasikan Mandiri Institute, Rabu (2/11/2022). Salah satu kelompok responden laporan tersebut adalah 190 perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) serta 100 perusahaan yang belum melantai di bursa.
Direktur Treasury and International Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Panji Irawan mengatakan, laporan ini menggambarkan perkembangan implementasi dan investasi ESG dari beragam perspektif, yakni korporasi, pengelola dana (fund managers), dan investor ritel.
“Mayoritas perusahaan yang terdaftar di bursa berencana menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan, sedangkan sebanyak 72 persen perusahaan yang belum terdaftar berencana menerapkan ESG,” ujarnya dalam konferensi pers peluncuran laporan yang diadakan secara dalam jaringan, Rabu.
Laporan tersebut juga menyajikan data tanggapan responden pelaku usaha terhadap ESG berdasarkan sektornya. Ada sektor pertanian, energi, barang konsumen bergerak cepat (FMCG), serta transportasi dan logistik. Jumlah responden dari masing-masing sektor berkisar 20-30 perusahaan, baik yang sudah melantai di bursa maupun yang belum.
Sebanyak lebih dari 70 persen perusahaan responden di bidang pertanian, energi, dan FMCG mempertimbangkan prinsip-prinsip ESG dalam praktik bisnisnya. Proporsi perusahaan transportasi dan logistik yang mempertimbangkan ESG berkisar 62 persen.
Bagi para pelaku usaha, ada dua tantangan utama dalam menerapkan ESG, yakni biaya tambahan imbas implementasi ESG serta kurangnya informasi dan pemahaman mengenai ESG. Perusahaan pertanian dan energi menempatkan persoalan biaya sebagai tantangan nomor satu, sedangkan perusahaan FMCG serta transportasi dan logistik menilai kurangnya pemahaman soal ESG sebagai tantangan utama.
Terkait tantangan biaya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, memang ada dana tambahan yang dibutuhkan untuk pembenahan proses bisnis. “Pelaku usaha juga akan meninjau manfaat yang dirasakan, apakah dapat dirasakan langsung pada operasional atau butuh waktu. Dari sisi sumber biayanya, pelaku usaha bisa menggunakan dana sendiri (internal) atau skema pendanaan hijau dari perbankan,” tuturnya saat dihubungi, Rabu.
Mengenai tantangan informasi, Hariyadi mengatakan, pelaku usaha umumnya sulit memperoleh informasi mengenai standar penerapan ESG. Oleh sebab itu, pelaku usaha cenderung memanfaatkan jasa konsultan untuk merumuskannya.
Berdasarkan laporan yang sama, mayoritas responden perusahaan pertanian, FMCG, serta transportasi dan logistik menempatkan media cetak atau elektronik sebagai sumber informasi utama mengenai ESG. Perusahaan energi cenderung mengutamakan unit internal sebagai sumber informasi. Mayoritas perusahaan dari keempat sektor itu menilai, tantangan utama dalam memperoleh informasi ESG ialah kurangnya konten kuantitatif.
Kedua tantangan itu juga tecermin pada publikasi laporan kelestarian (sustainability report) oleh perusahaan. Kurang dari 30 persen perusahaan di sektor pertanian, FMCG, serta transportasi dan logistik yang menerbitkan laporan kelestarian. Sebanyak 40 persen perusahaan energi menerbitkan laporan tersebut.
Mayoritas responden perusahaan pertanian, FMCG, serta transportasi dan logistik menempatkan media cetak atau elektronik sebagai sumber informasi utama mengenai ESG.
Untuk menerbitkan laporan kelestarian yang terverifikasi, sebanyak 57 persen perusahaan energi dan 47 persen perusahaan pertanian bersedia mengeluarkan dana sekitar 5-20 persen lebih tinggi dari biaya audit laporan keuangan. Adapun sebanyak 64 persen perusahaan FMCG serta perusahaan transportasi dan logistik tidak ingin mengeluarkan biaya. Selain itu, dalam penyusunan laporan kelestarian, mayoritas perusahaan menilai kurangnya pemahaman ESG dan sumber daya manusia yang memahami ESG menjadi tantangan utama.
Dalam konferensi pers yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Darmawan Junaidi mengatakan, kebutuhan pembiayaan hijau Indonesia untuk mencapai target national determined contribution (NDC) pada 2030 dan emisi nol bersih pada 2060 berkisar 281 miliar dollar Amerika Serikat (AS). “Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, Bank Mandiri menargetkan untuk berkontribusi sekitar 21-23 persen terhadap pembiayaan hijau nasional,” katanya.
Oleh sebab itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti Destry menyatakan, pembahasan mengenai ekosistem keuangan hijau dan lestari menjadi salah satu agenda penting dalam pertemuan G20. Apalagi, Indonesia memiliki proyek-proyek hijau, termasuk transisi energi bersih, yang dinilai potensial untuk pendanaan keuangan lestari.
Sementara itu, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia I Gede Nyoman Yetna mengatakan, terdapat peralihan minat investor untuk berinvestasi pada portofolio yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian. Misalnya, indeks-indeks perusahaan yang terdaftar di bursa dan memuat prinsip-prinsip ESG.