Besarnya dominasi sektor jasa terhadap perekonomian nasional membuat sektor ini memerlukan peningkatan nilai tambah sebagai daya tarik investasi asing masuk ke Indonesia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor jasa yang mendominasi perekonomian nasional masih kurang memberikan nilai tambah. Hal ini menjadi tantangan dalam menggaet aliran investasi asing yang kerap menargetkan sektor-sektor penyumbang besar produk domestik bruto Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Indonesia-EU Investment Summit 2023 di Jakarta, Kamis (30/11/2023), mengatakan, saat ini sektor jasa di Indonesia masih kesulitan dalam mengembangkan sektor jasa manufaktur berdaya saing dan bernilai tambah tinggi.
”Dominasi sektor jasa pada perekonomian membuat Indonesia terlihat seperti negara berpendapatan tinggi. Padahal, berdasarkan komposisi perekonomiannya sektor jasa atau informal bernilai tambah rendah,” ujarnya.
Berdasarkan struktur ekonomi Indonesia, dominasi sektor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 54,4 persen. Angka ini mengungguli sektor manufaktur dan pertanian yang dalam struktur PDB masing-masing sebesar 20,5 persen dan 12,3 persen.
Berkaca pada sektor manufaktur, pemerintah terus melakukan hilirisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap komoditas yang akan diekspor. Ini juga diperlukan untuk sektor jasa.
Ketergantungan Indonesia yang tinggi pada sektor jasa juga dapat terlihat dari struktur pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan III-2023, yang tumbuh 4,94 persen secara tahunan.
Dilihat berdasarkan lapangan usahanya, empat besar pertumbuhan tertinggi ada pada sektor jasa, yakni transportasi dan pergudangan yang tumbuh 14,74 persen secara tahunan, sektor jasa lain 11,14 persen, jasa perusahaan 9,37 persen, serta informasi dan komunikasi 8,52 persen.
Melihat besarnya pengaruh sektor jasa terhadap perekonomian nasional, Sri Mulyani menekankan perlunya dilakukan transformasi agar sektor jasa dapat memberikan nilai tambah dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
”Berkaca pada sektor manufaktur, pemerintah terus melakukan hilirisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap komoditas yang akan diekspor. Ini juga diperlukan untuk sektor jasa,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, penciptaan nilai tambah pada sektor jasa dapat dilakukan melalui peningkatan komponen jasa yang diintegrasikan ke sektor ekonomi lain sebagai nilai tambah bagi produk atau output produksi.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi, contohnya inovasi produk barang dan jasa, inovasi logistik atau distribusi barang, dan layanan purnajual.
”Karena itu, investasi di sektor jasa untuk meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas jasa nasional menjadi penting, khususnya untuk sektor jasa vital, seperti energi, logistik atau transportasi, termasuk infrastruktur fisik untuk jasanya, misalnya tower telekomunikasi, jalan, pembangkit listrik, dan lain sebagainya,” kata Shinta.
Sementara terkait dengan kemitraan, ia mengatakan, rasionalitas dalam kemitraan menjadi hal terpenting dalam investasi, seperti hal-hal yang hendak dimitrakan dan dapat dimitrakan serta bentuk kemitraan dengan pelaku usaha nasional yang dianggap valid oleh regulasi.
”Kesemuanya itu harus jelas terlebih dulu. Pasalnya, selama ini bentuk kemitraan tidak terlalu jelas, tetapi umumnya yang terjadi adalah dalam bentuk penyertaan modal,” ujar Shinta.
Kajian terbaru Bank Dunia pada Oktober 2023 juga menyoroti pertumbuhan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) pada sektor jasa yang tinggi di Indonesia, yakni lima kali lipat lebih besar daripada pertumbuhan investasi di sektor manufaktur. Sebaliknya, dalam 15 tahun terakhir, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB nasional konsisten menurun signifikan.
Chairman Kamar Dagang Eropa (Eurocham) di Indonesia Francois de Maricourt percaya Indonesia akan menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2038. Eurocham berkomitmen untuk mendorong investasi di berbagai sektor yang menjadi penyumbang besar dalam PDB Indonesia, di antaranya manufaktur dan sektor konsumsi, termasuk perdagangan.
”Perusahaan-perusahaan Eropa yang beroperasi di Indonesia punya potensi besar untuk mempromosikan FDI, mendukung transfer teknologi, dan juga mempromosikan strategi industri berbasis sosial, lingkungan, dan tata kelola (ESG),” ujarnya.
Yang mengkhawatirkan, sektor perdagangan ritel memainkan peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal produktivitasnya sangat rendah.
Dalam kesempatan berbeda, ekonom dari Universitas Cornell, New York, Iwan Jaya Azis, menegaskan, dominasi sektor jasa dalam perekonomian nasional bukan berarti hal buruk. Apa yang menjadi persoalan adalah sektor jasa yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional dalam satu dekade terakhir ini tidak memiliki karakteristik produktivitas yang tinggi.
Ia mencontohkan, sektor jasa dengan produktivitas tinggi, di antaranya, adalah telekomunikasi dan teknologi informasi. Adapun sektor jasa yang mendominasi Indonesia umumnya bergerak di bidang perdagangan dengan produktivitas dan pemberian nilai tambah yang rendah.
”Yang mengkhawatirkan, sektor perdagangan ritel memainkan peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal produktivitasnya sangat rendah. Artinya, kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2023 adalah sektor dengan produktivitas rendah,” kata Iwan dalam acara OCBC Experience: Supporting Indonesia to the Global Stage, di Jakarta, beberapa waktu lalu.