Bergantung pada Sektor Jasa, Ekonomi RI Tumbuh Kurang Produktif
Ekonomi sektor jasa yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional tidak memiliki tingkat produktivitas yang tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir terlalu bergantung pada sektor jasa sehingga membuat kualitas pertumbuhan ekonomi kurang produktif. Meski banyak investasi bernilai jumbo yang masuk ke dalam negeri, nilai tambah yang dihasilkan tidak sebanding. Ke depan, pemerintah diharapkan menaruh perhatian lebih untuk menumbuhkan sektor-sektor dengan produktivitas tinggi.
Ketergantungan Indonesia yang tinggi pada sektor jasa itu salah satunya dapat terlihat dari struktur pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan III tahun 2023, yang tumbuh 4,94 persen secara tahunan.
Berdasarkan lapangan usahanya, lima besar pertumbuhan tertinggi ada di sektor jasa, yakni transportasi dan pergudangan yang tumbuh 14,74 persen secara tahunan, sektor jasa lainnya 11,14 persen, jasa perusahaan 9,37 persen, serta informasi dan komunikasi 8,52 persen.
Baca juga: Perlambatan di Sana-Sini, Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5 Persen
Sebagai perbandingan, industri pengolahan yang bersifat lebih produktif tumbuh 5,2 persen secara tahunan. Meski mampu tumbuh tinggi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan tetap berkontribusi paling besar pada pertumbuhan ekonomi, kinerja industri manufaktur itu masih di bawah sektor jasa.
Kajian terbaru Bank Dunia pada Oktober 2023 juga menyoroti pertumbuhan investasi asing langsung (foreign direct investment) pada sektor jasa yang tinggi di Indonesia, lima kali lipat lebih besar dari pertumbuhan investasi di sektor manufaktur. Sebaliknya, dalam 15 tahun terakhir, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional konsisten menurun signifikan.
Sektor jasa juga menjadi kontributor utama terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja agregat di Indonesia selama satu dekade terakhir. Sebagai gambaran, produktivitas tenaga kerja adalah rasio antara produk barang dan jasa yang dihasilkan dengan tenaga kerja yang digunakan dalam satuan waktu tertentu. Artinya, rasio itu mencerminkan besaran kontribusi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi.
Ekonom dari Universitas Cornell New York, Iwan Jaya Azis, Selasa (14/11/2023), menilai, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia yang utamanya berasal dari sektor jasa itu membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia kurang produktif.
Ia menegaskan, sektor jasa bukan berarti buruk. Masalahnya, sektor jasa yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional dalam satu dekade terakhir ini tidak memiliki karakteristik produktivitas yang tinggi, seperti telekomunikasi atau teknologi informasi, tetapi sektor perdagangan yang produktivitasnya rendah.
”Yang mengkhawatirkan, sektor perdagangan ritel memainkan peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal produktivitasnya sangat rendah. Artinya, kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2023 adalah sektor dengan produktivitas rendah,” kata Iwan Jaya dalam acara OCBC Experience: Supporting Indonesia to the Global Stage yang digelar di Jakarta.
Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan, tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor perdagangan besar dan eceran hanya Rp 58,4 juta per tenaga kerja per tahun. Demikian pula, tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh paling tinggi pada triwulan III-2023 hanya Rp 83,9 juta per tenaga kerja per tahun.
Rasio itu terhitung rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi di sektor real estat yang mencapai Rp 753,4 juta per tenaga kerja per tahun, tetapi pertumbuhan sektoralnya hanya 2,21 persen pada triwulan III-2023. Demikian pula industri pengolahan yang tingkat produktivitas tenaga kerjanya Rp 125 juta per tenaga kerja per tahun, tetapi pertumbuhan sektoralnya hanya 5,2 persen.
Baca juga: Beban Ganda Industrialisasi di RI
Tidak efisien
Iwan Jaya menduga, masih banyak hambatan dalam iklim berusaha di Indonesia yang menyulitkan investasi manufaktur untuk masuk. Hal itu terlihat dari level Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia per Maret 2023 di level 7,6. ICOR menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilainya, semakin tidak efisien suatu negara untuk dijadikan tujuan investasi.
Sebagai perbandingan, tingkat ICOR di sejumlah negara maju umumnya ada di bawah atau di kisaran 3. ”Ada halangan dari segi peraturan ketenagakerjaan, perpajakan, dan perizinan sehingga membuat iklim berusaha kurang kondusif. Sebaliknya, investasi di sektor jasa lebih mudah masuk. Ini membuat produktivitas nasional kita jatuh, padahal investasi terus tumbuh tinggi,” katanya.
Ia berharap pemerintah ke depan bisa berpikir jangka panjang dan lebih memperhatikan pengembangan sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi, seperti sektor manufaktur. Apalagi, Indonesia juga telah mematok target untuk tumbuh di kisaran 6-7 persen selama 20 tahun ke depan dan naik kelas menjadi negara maju.
”Jangan lagi hanya asal menarik investasi yang banyak dan bernilai besar, tetapi harus mulai fokus ke sektor dengan produktivitas tinggi, mengatasi kendala-kendala yang membuat investasi manufaktur terhambat,” ujar Iwan.
Pemerintah ke depan bisa berpikir jangka panjang dan lebih memperhatikan pengembangan sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi, seperti sektor manufaktur.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, iklim berinvestasi di Indonesia masih kalah efisien dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Pemerintah dinilai belum membenahi aspek peningkatan efisiensi beban usaha, yang semestinya menjadi penentu tingkat daya saing investasi di sektor manufaktur.
”Komponen beban pokok usaha untuk berinvestasi di Indonesia memang masih tinggi. Beban biaya tenaga kerja belum komparatif antara skill yang dimiliki dan produktivitasnya. Efisiensi impor bahan baku juga masih kurang, dan beban suku bunga pinjaman bagi dunia usaha terhitung berat. Ini semua membuat daya tarik investasi di Indonesia semakin tidak menarik,” kata Shinta, secara terpisah.
Managing Director Investment Strategy Wealth Management OCBC Vasu Menon menambahkan, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif memang menantang di tengah kondisi perekonomian yang tidak pasti. Namun, ia melihat, tahun depan perekonomian global akan mulai membaik sehingga berdampak positif pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Tantangan hanya akan muncul untuk sementara di sepanjang semester I-2024 akibat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang masih ketat. Namun, pada semester II-2024, inflasi diperkirakan mulai menurun dan kenaikan suku bunga The Fed mulai melandai. Berbagai sektor usaha pun diperkirakan kembali tumbuh pesat.
”Jadi, 2024 itu mengandung dua cerita, berat di awal, tetapi ringan di akhir. Meski demikian, kita tidak bisa hanya melihat prospek jangka pendek, kita harus memiliki visi jangka panjang untuk membangun perekonomian kita agar lebih produktif,” ujar Vasu.