Kerja Paruh Waktu Makin Digandrungi Anak Muda
Anak muda yang menggandrungi pekerjaan paruh waktu alias ”freelance” semakin besar. Fleksibel waktu dengan penghargaan yang besar menjadi daya tarik. Perlindungannya perlu dipikirkan.
Pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan lepas alias freelance kini banyak diminati anak muda. Sebagian orang bahkan memutuskan menjadi pekerja lepas secara penuh (full-time freelancer). Namun, tak sedikit pula yang mengambil pekerjaan sampingan untuk menambah pundi-pundi. Mereka memilih jalan ini bukan karena minim keterampilan.
Menurut laporan lokapasar (marketplace)yang mempertemukan pencari dan pemberi kerja Upwork, sekitar 60 juta warga atau 39 persen tenaga kerja Amerika Serikat (AS) bekerja sebagai pekerja lepas pada 2022. Mereka menyumbang 1,35 triliun dollar AS pada perekonomian AS, nilainya naik 50 juta dollar AS dibandingkan dengan tahun 2021.
Pertumbuhan nominal yang sejalan dengan minat para pekerja lepas ini menunjukkan munculnya alternatif pekerjaan lain dari pekerjaan tradisional ”9 to 5”. Data Upwork menggambarkan pekerja profesional mencari keuntungan lain dari pekerjaan sampingan, entah menambah pemasukan, otonomi, atau sekadar menemukan pekerjaan yang lebih bermakna.
Baca juga: Generasi “Freelance” dan Perubahan Sosial
Hal ini juga yang menjadi alasan Bertha S Rahajeng (29) banting setir dari pekerja kantoran menjadi pekerja lepas secara penuh. Jenis pekerjaan ini memberinya otoritas penuh atas kariernya.
”Aku bisa punya kebebasan dalam memilih karierku. Misal, aku offer skill-ku yang lain juga bisa, jadi aku secara pribadi berkembang karena belajar terus,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Selain itu, penghargaan atas hasil kerja juga ia rasakan lebih tinggi dibandingkan ketika bekerja di korporasi. Kondisi ini meyakinkannya bahwa ia memang tak cocok dengan budaya kerja di korporasi.
Pekerjaan yang dinilai berdasarkan ukuran proyek memompa kepercayaan diri Bertha untuk berkarya. Ia merasa jauh lebih dihargai ketika bekerja dengan klien-klien yang berbeda dari waktu ke waktu.
”Saat deal proyek besar, rasanya bisa boost kepercayaan diriku, mengetahui kalau kemampuanku ini bisa dibayar gede. Sebelumnya, kan, enggak tahu kalau aku punya nilai dan kemampuan yang bisa ditawarkan dengan harga tinggi. Jadi, aku tentu makin mantap jadi freelancer,” tuturnya.
Baca juga: Bekerja Paruh Waktu demi Kuliah
Ada pula yang mengambil pekerjaan paruh waktu guna mencari pengalaman kerja sedini mungkin saat masih duduk di bangku kuliah. Hal ini dilakukan mahasiswa Yogyakarta, Michelle Angela (22), yang bekerja paruh waktu di tengah proses menggarap skripsi.
Niat untuk mencari pekerjaan paruh waktu sempat pupus karena pandemi Covid-19. Namun, ketika kondisi membaik, ia magang di sebuah kantor konsultan manajemen.
Selain mendapat beragam pengalaman, magang membantunya menemukan arah kecintaannya terhadap suatu pekerjaan. Berawal bekerja sebagai admin media sosial secara paruh waktu saat magang, kini menjadi general affair dengan status pekerja tetap.
”Dikasih kepercayaan, tanggung jawab, punya nilai plus sampai akhirnya dipekerjakan sampai sekarang jadi full-time,” kata Michelle.
Fleksibilitas
Fleksibilitas untuk memilih jenis pekerjaan hingga keluwesan waktu bekerja jadi magnet para freelancer. Aspek ini yang mereka nilai jarang ditemukan saat bekerja di korporasi yang kaku dengan kebijakan perusahaan.
”Kadang aku bandingkan kalau kerja di korporasi, kan, ada mungkin permainan politiknya. Naik jabatan atau gaji bisa saja tidak murni karena prestasi kerja, ada faktor lain,” ucap Bertha.
Aspek gaji itu turut membuat pekerja korporasi mengambil pekerjaan sampingan di tengah-tengah kesibukannya. Pekerjaan sampingan memberi keleluasaan waktu dan tempat bekerja sehingga selagi pekerjaan utama tak terganggu, pekerja penuh waktu bisa melakukan kerja sampingan.
Hal itu dilakukan oleh Agung (38). Awalnya, keputusan ini dilatarbelakangi untuk mengisi waktu luang sembari menambah pemasukan. ”Tapi, sekarang mengambil side-job tujuannya untuk menambah pemasukan atau penghasilan untuk ditabung,” katanya.
Fenomena peningkatan pekerja paruh waktu ditengarai karena faktor kelenturan. Fleksibilitas menjadi daya tarik utama kaum pekerja.
”Kami melihat pergeseran utama pada pekerja profesional berkemampuan tinggi akhirnya mempertanyakan metode-metode kuno. Sama seperti ketika orang-orang melihat freelancer yang punya fleksibilitas dan kendali, kemudian bertanya, ’Mengapa pekerjaanku tak bisa seperti itu juga?’”, kata Vice President Talent of Solutions Upwork Margaret Lilani, dikutip dari Forbes, 13 Desember 2022.
Baca juga: Pekerja Butuh Keseimbangan
Riset Upwork, yang dilakukan oleh lembaga riset independen Edelman Data & Intelligence, menemukan bahwa persepsi terhadap pekerjaan paruh waktu telah bergeser. Sebanyak 73 persen responden dari 3.000 responden freelancer berusia 18 tahun lebih yang disurvei menyatakan, pekerjaan freelancer dapat ditekuni sebagai karier. Angka itu meningkat dibandingkan dengan temuan survei tahun 2021, yakni 68 persen.
Survei yang dilakukan secara daring pada 21 September 2022 hingga Oktober 2022 juga menemukan freelancer paling banyak dilakukan oleh generasi milenial yang mencapai 46 persen, diikuti generasi Z sebanyak 43 persen. Adapun gen X 35 persen dan boomer 27 persen.
Studi ini memiliki margin of error ±1,8 persen dengan tingkat keyakinan 95 persen.
Manajemen keuangan
Terkadang bekerja paruh waktu dipandang sebelah mata karena penghasilan yang tak sesuai standar upah minimum regional (UMR). Padahal, jika ditekuni, pemasukan pekerja paruh waktu ini bisa bersaing, bahkan lebih tinggi ketimbang pekerja kantoran pada umumnya.
Bertha mengatakan, saat bekerja di korporasi, gajinya tak jauh-jauh dari UMR. Namun, setelah banting setir, ia mampu mengantongi pendapatan bulanan hingga Rp 13 juta. Pendapatan terendahnya berkisar Rp 4 juta dalam sebulan. Pendapatannya berbeda bergantung pada bobot dan jumlah proyek yang dapat dikerjakannya dalam satu waktu.
Sementara ia hanya menghabiskan waktu bekerja 10-25 jam per minggu. Durasi itu lebih rendah ketimbang pekerja tetap pada umumnya yang menghabiskan waktu 40 jam dalam sepekan.
Sebagian pendapatannya disisihkan untuk ditabung serta dialokasikan untuk dana pensiun. Ketiadaan jaminan sebagai freelancer menuntutnya untuk membangun ”jaring pengaman” secara mandiri.
Seperti Bertha, Michelle mampu mengantongi pemasukan di atas UMR. Sebagai mahasiswa, pendapatannya dapat menutup biaya kuliahnya sekaligus menambah uang jajannya. Perlahan, gaya hidupnya berubah. Biaya untuk berbelanja dan nongkrong bersama kawan-kawan meningkat seiring dengan frekuensinya yang juga bertambah.
Di balik sederet keuntungan bekerja paruh waktu, pilu juga sesekali dirasakan para pekerja ini. Salah satunya, ketiadaan regulasi yang melemahkan posisi para pekerja di hadapan para pemberi kerja.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, fenomena maraknya pekerja freelancer terjadi karena adanya perbedaan pola pikir antara generasi muda dan tua.
Baca juga: Hubungan Kerja Kontrak Semakin Berkembang
Anak muda zaman sekarang, baik generasi milenial maupun generasi Z, cenderung fleksibel. Mereka menolak waktu yang diatur dan menyukai mengerjakan pekerjaannya di mana saja (remote).
”Karena mereka sudah berpikir, ya, kerja di mana saja bisa dan teknologi mendukung. Sekarang eranya disrupsi, di mana teknologi digital itu sudah bukan hal mahal, akses murah,” ujar Esther.
Namun, para freelancer Indonesia tak terikat aturan-aturan pemerintah, termasuk aturan ketenagakerjaan seperti pada pekerja formal. Mereka tidak memiliki pengaturan cuti, jabatan masa kerja, remunerasi, sistem jaminan sosial, dan pensiun.
Sebagai pekerja yang bergerak di sektor informal, pekerja paruh waktu perlu menyadari ketiadaan fasilitas-fasilitas itu. Alhasil, mereka dituntut memiliki manajemen kuangan yang lebih baik dan ketat.
Hal ini berbeda dengan Belanda. Pekerja paruh waktu di sana memiliki regulasi yang jelas. Mereka memiliki kontrak dengan pemberi kerja, termasuk soal pengaturan upah. ”Artinya, kurang lebih dampak positif pekerja freelance dengan pekerja formal tak berbeda,” ujar Esther.
Fenomena tumbuhnya pekerja paruh waktu, termasuk mereka yang mencari pekerja sampingan di luar pekerjaan utamanya, telah meningkatkan persaingan antarpekerja. Perusahaan dapat melihat ini sebagai peluang untuk melihat lebih banyak talenta potensial.
Menurut Lilani, bisnis-bisnis kompetitif dengan talenta-talenta terbaik perlu memperluas jangkauannya dalam menjaring pekerja profesional independen. ”Bisnis yang tak mengadopsi cara ini akan kehilangan banyak talenta profesional yang jumlahnya terus bertambah,” ucapnya.
Adanya pilihan freelancer dan pekerja penuh membuat perusahaan memiliki lebih banyak pilihan untuk memiliki pekerja-pekerja terbaiknya. Di sisi lain, ini menjadi kabar buruk bagi pekerja paruh waktu karena tren ini mempertajam persaingan untuk mendapat proyek dari pemberi kerja. Ini juga berisiko memicu pekerja menawarkan keahlian sesuai kebutuhan perusahaan di luar kemampuannya.
Riset terakhir Upwork pada Januari 2023 menunjukkan, jenis permintaan pekerjaan terbanyak yang tetap dicari perusahaan berkaitan dengan pemrograman situs, desain situs, dan pemasaran media sosial.
”Dalam pekerjaan remote, tipe-tipe keahlian ini menjadi sangat penting untuk bisa terus mengikuti kecepatan transformasi digital,” kata Lilani.
Baca juga: Persaingan Mendapatkan Pekerja Antarnegara Semakin Ketat