Pengusaha Industri Padat Karya Keluhkan Kenaikan Upah
Banjirnya produk impor, baik legal maupun ilegal, dengan harga lebih murah merusak pasar dalam negeri sehingga pelaku industri sepatu dalam negeri kesulitan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha dari sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri sepatu dan tekstil, mengeluhkan kenaikan upah. Di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi dunia dan sulitnya bersaing di pasar dalam negeri karena banjirnya impor, ongkos operasional mereka meningkat akibat kenaikan upah.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, kenaikan upah ini memberatkan industrinya. Sebab, industri alas kaki dan sepatu membutuhkan banyak tenaga kerja atau padat karya sehingga kenaikan upah berdampak besar bagi usahanya.
”Ini memberatkan kami di tengah posisi kami yang sedang berjuang untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Eddy saat dihubungi, Kamis (23/11/2023).
Ia menjelaskan, upah pekerja di industri alas kaki dan sepatu menyumbang 11 persen dari total ongkos produksi. Sejatinya, apabila volume produksi sedang banyak atau kapasitas produksi terpakai secara maksimal, upah pekerja bisa turun menjadi 6-8 persen dari total ongkos produksi.
Namun, karena saat ini kapasitas produksi tidak berjalan seluruhnya, ongkos upah pekerja jadi meningkat. Ini lantaran satu pekerja hanya memproduksi lebih sedikit dari seharusnya, sedangkan bayarannya tetap.
Kapasitas produksi di industri alas kaki dan sepatu saat ini hanya 50-60 persen dari yang terpasang. Pelaku industri sepatu dan alas kaki saat ini sedang kesulitan untuk mendapatkan omzet. Perlambatan ekonomi dunia, termasuk di negara-negara mitra dagang seperti Amerika Serikat dan Eropa, membuat kinerja ekspor industri sepatu merosot.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-Oktober 2023 total nilai ekspor alas kaki merosot 18,86 persen secara tahunan, dari sebelumnya 6,57 miliar dollar AS kini menjadi 5,33 miliar dollar AS.
Pasar dalam negeri pun tidak bisa diandalkan. Banjirnya produk impor, baik legal maupun ilegal, dengan harga lebih murah merusak pasar dalam negeri sehingga pelaku industri sepatu dalam negeri kesulitan.
”Di tengah keadaan kami sulit menjual produk, kami masih ditekan dengan kenaikan upah,” ujar Eddy.
Ia berharap kondisi perekonomian dunia bisa segera pulih sehingga memperbaiki kinerja ekspor sepatu dan juga berdampak pada perekonomian dalam negeri yang terus menguat.
Di tengah keadaan kami sulit menjual produk, kami masih ditekan dengan kenaikan upah. (Eddy Widjanarko)
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan mengatakan, setiap kali ada kenaikan upah berarti ada kenaikan biaya tenaga kerja.
Kenaikan upah ini, lanjut Nurdin, tak berarti hanya kenaikan upah bulanan, tetapi juga terkait pembayaran iuran jaminan sosial untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Selain itu, akan ada juga penyesuaian struktur pengupahan tenaga kerja untuk yang telah bekerja satu tahun ke atas walaupun yang diatur adalah upah minimum pekerja di bawah satu tahun.
Semestinya kenaikan upah ini berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas kerja. Namun, di tengah situasi global yang belum menunjukkan perbaikan pascapandemi, hal ini jadi sulit terlaksana.
Apalagi upah tenaga kerja mencapai 10-15 persen dari total ongkos produksi di industri tekstil hulu seperti serat fiber. Angka ini lebih besar di industri tekstil hilir seperti garmen yang mencapai 18 persen dari total ongkos produksi.
Nurdin memperkirakan saat ini jumlah serapan tenaga kerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia terus menurun. Ia memperkirakan saat ini jumlah serapan tenaga kerja industri ini mendekati 3 juta orang, menurun dibandingkan dengan 2019 yang pernah menyerap hingga 3,5 juta orang.
”Indonesia sebetulnya punya potensi luar biasa menjadi negara dengan produksi TPT skala dunia. Industri ini juga tidak akan pernah mati karena ini adalah salah satu kebutuhan primer manusia, di mana sejak lahir hingga meninggal pasti manusia membutuhkan produk tekstil,” ujar Nurdin.
Sesuai panduan
Kendati membebani, Nurdin mengatakan, kenaikan upah itu cukup wajar karena beberapa provinsi patuh pada panduan pengupahan seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pihaknya menghormati keputusan pemerintah provinsi yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) berdasarkan PP No 51/2023.
”Kami harap pemerintah kabupaten/kota juga dapat melakukan yang sama. Formula ini sudah sesuai dengan kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan daerah yang bersangkutan,” ujar Shinta, Kamis.
Ia mengingatkan agar UMP tidak digunakan untuk kepentingan politik. Shinta menambahkan, saat ini perlu diciptakan iklim usaha yang kondusif berdasarkan asas keadilan karena Indonesia harus dapat berdaya saing dan berkompetisi di tengah ketidakpastian ekonomi global.