Ekspor RI Bakal Melambat di Tengah Stagnasi Diversifikasi Pasar
Diversifikasi pasar ekspor Indonesia dinilai masih belum optimal. Dalam 12 tahun terakhir, proporsi ekspor RI ke 13 negara tujuan utama, termasuk AS dan China, rata-rata 75 persen terhadap total ekspor.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor Indonesia pada 2024 diperkirakan akan melambat seiring perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan China. Hal itu terjadi di tengah stagnasi diversifikasi pasar ekspor Indonesia dalam 12 tahun terakhir ini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (23/11/2023), mengatakan, tahun depan, ekonomi global diperkirakan tumbuh lambat dibandingkan tahun ini. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global pada 2024 tumbuh 2,9 persen atau lebih rendah dari 2023 yang sebesar 3 persen.
Hal itu terutama dipengaruhi perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan China yang pada 2024 diperkirakan tumbuh 1,4 persen dan 4,2 persen. Angka itu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi AS dan China pada 2023 yang diperkirakan masing-masing 2,1 persen dan 5 persen.
Menurut Faisal, konsumsi rumah tangga di kedua negara tersebut diproyeksikan masih lemah sehingga berpengaruh terhadap permintaan domestik. Di AS, pendapatan masyarakat masih stagnan dan simpanan bantuan pandemi mereka semakin menipis.
Adapun di China, pemulihan pascapandemi Covid-19 tertekan krisis bisnis properti yang berkontribusi 25-30 persen bagi perekonomian negara tersebut. Utang pengusaha juga menumpuk karena Pemerintah China membatasi kredit.
”Kondisi itu akan berpengaruh besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. AS dan China merupakan pangsa pasar utama ekspor Indonesia. Jika konsumsi kedua negara itu melemah, permintaan ekspor akan turut melemah,” ujarnya dalam acara Gambir Trade Talk #12: ”Outlook Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2024” yang digelar secara hibrida.
AS dan China merupakan pangsa pasar utama ekspor Indonesia. Jika konsumsi kedua negara itu melemah, permintaan ekspor akan turut melemah.
Kondisi tersebut, lanjut Faisal, diperburuk dengan tren penurunan harga komoditas unggulan ekspor RI. Hal itu dibayang-dibayangi oleh stagnasi diversifikasi pasar ekspor Indonesia selama 12 tahun terakhir. Dalam kurun 2012-Juli 2023, proporsi ekspor RI ke 13 negara tujuan utama, termasuk AS dan China, rata-rata 75 persen terhadap total ekspor.
”Ini mengindikasikan diversifikasi pasar ekspor Indonesia masih belum optimal. Bahkan, ketergantungan ekspor Indonesia ke China terus meningkat akibat hilirisasi sektor nikel dan besi-baja,” kata Faisal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari-Oktober 2023 total ekspor nonmigas Indonesia senilai 201,25 miliar dollar AS atau turun 12,74 persen dibandingkan periode sama 2022. Komoditas penyumbang penurunan ekspor tersebut adalah bahan bakar mineral, terutama batubara, serta lemak dan minyak hewani/nabati, terutama minyak sawit.
Kendati begitu, RI masih mencatatkan surplus neraca perdagangan nonmigas pada Januari-Oktober 2023, yakni sebesar 47,02 miliar dollar AS. Surplus tersebut turun cukup signifikan dibandingkan surplus neraca perdagangan nonmigas pada Januari-Oktober 2022 yang mencapai 66,41 miliar dollar AS.
Ini mengindikasikan diversifikasi pasar ekspor Indonesia masih belum optimal. Bahkan, ketergantungan ekspor Indonesia ke China terus meningkat akibat hilirisasi sektor nikel dan besi-baja.
Pelaksana Harian Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didi Sumedi menuturkan, penurunan kinerja ekspor itu lebih dipengaruhi turunnya nilai ekspor ketimbang volume. Penurunan nilai ekspor itu terutama disebabkan penurunan harga batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Pada tahun depan, tren penurunan harga komoditas diperkirakan masih berlanjut dan bakal menjadi tantangan bagi kinerja ekspor RI. Persoalan geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina dan Hamas-Israel, masih membayangi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia.
”Kendati begitu, pemerintah optimistis Indonesia bisa membuka peluang peningkatan ekspor. Beberapa di antaranya melalui hilirisasi, perjanjian perdagangan, dan pembukaan pasar-pasar ekspor baru atau nontradisional,” tuturnya.
Kemendag memperkirakan, pada 2024 nilai ekspor nonmigas RI tumbuh di kisaran 3,3-4,5 persen atau senilai 295,9 miliar dollar AS-303,9 miliar dollar AS. Adapun surplus neraca perdagangan diperkirakan bisa mencapai 22,5 miliar dollar AS-47,1 miliar dollar AS.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengingatkan bahaya friend-shoring yang kian menguat sejak 2022. Perdagangan sesuai kedekatan pertemanan atau aliansi itu ditandai dengan reorientasi perdagangan bilateral yang memprioritaskan negara-negara yang memiliki kesamaan pandangan politik.
Diversifikasi mitra dagang telah terjadi dan terkonsentrasi pada aliansi dan blok tertentu. Perang Rusia-Ukraina dan Hamas-Israel, perang dagang AS-China, dan konsekuensi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) berperan penting membentuk tren perdagangan tersebut.
”Kondisi tersebut dapat menyebabkan alih mitra dagang dan investasi. Oleh karena itu, RI bersama negara-negara anggota ASEAN harus tetap independen. Dengan begitu, RI bisa berteman dengan berbagai negara tanpa sekat, baik untuk meningkatkan kerja sama dagang maupun investasi,” tutur Fithra.
RI bersama negara-negara anggota ASEAN harus tetap independen. Dengan begitu, RI bisa berteman dengan berbagai negara tanpa sekat, baik untuk meningkatkan kerja sama dagang maupun investasi.
Ketua Komite Perjanjian Perdagangan Internasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Mufti Hamka optimistis para pelaku usaha Indonesia dapat mencari peluang di tengah tantangan-tantangan tersebut. Bersama dengan perwakilan perdagangan di luar negeri, sejumlah pelaku usaha terus mencoba membuka atau meningkatkan peluang ekspor dan investasi.
Namun, jangan sampai peluang itu hanya dinikmati pelaku-pelaku usaha yang itu-itu saja. Membuka peluang bagi eksportir baru, termasuk pelaku usaha kecil menengah (UKM), juga perlu terus ditingkatkan.
”Kendati begitu, jangan sampai para eksportir baru itu berhenti pada transaksi jual putus. Mereka harus berani mengincar transaksi dagang yang berkelanjutan sehingga bisnis mereka bisa terus berkembang,” papar Mufti.
Mufti juga berharap para pelaku usaha, terutama eksportir, berani untuk memanfaatkan perjanjian-perjanjian dagang RI dengan negara lain. Di sisi lain, pemerintah juga tidak hanya sekadar memfasilitasi, tetapi juga turut memberikan solusi atas hambatan-hambatan dagang yang muncul.