Kisah minyak goreng di dalam negeri kini tengah tersaji di meja hijau dan meja dapur. ”Selilit” minyak goreng itu jangan sampai menjadi ”susuban” atau duri dalam daging, apalagi di tengah pesta demokrasi tahun depan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
Di balik kenaikan harga sejumlah komoditas pangan di dalam negeri, harga minyak goreng masih cukup terjaga baik. Namun, bukan berarti baik-baik saja. Masih ada ”selilit” di balik terkendalinya harga minyak goreng hasil olahan sawit ini.
Tak seperti beras, gula, cabai rawit, cabai merah, dan jagung pakan, harga minyak goreng cukup terkendali. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Pedagangan (Kemendag), per 17 November 2023, harga rata-rata nasional minyak goreng curah Rp 14.500 per liter, Minyakita Rp 15.500 per liter, dan minyak goreng premium Rp 20.600 per liter.
Hal itu terjadi lantaran harga minyak sawit mentah (CPO) dunia sudah tak setinggi tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga masih menggulirkan program Minyak Goreng Kemasan Rakyat (MGKR). Program ini berjalan beriringan dengan kebijakan kewajiban mamasok kebutuhan dalam negeri (DMO) minyak goreng.
Kebijakan itu mewajibkan para eksportir CPO dan tiga produk turunannya menyediakan minyak goreng kemasan bantal, botol, dan jeriken kapasitas 1 liter, 2 liter, dan 5 liter. Minyak goreng kemasan itu bisa menggunakan merek sendiri ataupun milik pemerintah dan harus dijual sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter. Sebagai gantinya, para eksportir mendapatkan insentif pengali ekspor.
Tak seperti beras, gula, cabai rawit, cabai merah, dan jagung pakan, harga minyak goreng cukup terkendali. Namun, bukan berarti baik-baik saja. Masih ada ”selilit” di balik terkendalinya harga minyak goreng hasil olahan sawit ini.
Kemendag menargetkan pemenuhan DMO minyak goreng itu sebanyak 300.000 ton per bulan. Pada Oktober 2023, rata-rata realisasi pemenuhan DMO itu mencapai 87,51 persen.
Untuk menjaga stabilitas stok dan harga minyak goreng pada tahun politik 2024, pemerintah akan melanjutkan program MGKR dan DMO. Hal ini penting agar harga minyak goreng sawit tak ikut melonjak seperti harga sejumlah komoditas lain.
Jangan sampai ontran-ontran minyak goreng 2022 terulang lagi. Saat itu, harga minyak goreng sawit melangit dan dipermainkan sejumlah oknum pengambil untung. Komoditas itu juga sempat langka, memicu antrean panjang dan perebutan, serta aksi tipu-tipu.
Pada awal 2023, harga minyak goreng sempat naik. Bahkan, harga Minyakita, ”senjata” pengendali harga minyak goreng, sempat tembus Rp 16.000-Rp 20.000 per liter. Hal itu terjadi karena realisasi DMO rendah dan terimbas kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Namun, pemerintah mampu mengendalikannya.
Meski demikian, kebijakan lama pengendalian harga minyak goreng telah meninggalkan ”selilit”. Hal itu mulai dari utang pemerintah kepada peritel, kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada 2022, hingga gugatan perusahaan sawit besar terhadap pemerintah.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia menyebut pemerintah masih belum membayar utang Rp 344 miliar kepada para peritel. Utang itu terkait pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng dalam program Minyak Goreng Satu Harga untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng pada 2022. Kemendag beralasan masih menunggu jadwal rapat koordinasi terbatas tingkat menteri bidang perekonomian sesuai dengan rekomendasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia.
Pengendalian harga minyak goreng pada tahun lalu juga memunculkan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya dengan taksiran kerugian negara sekitar Rp 13,35 triliun. Kasus itu berujung pada putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi dan memperberat hukuman pidana lima terdakwa.
Saat ini, kasus itu juga berkembang ke penetapan tiga perusahaan besar sawit, Grup Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau sebagai tersangka korupsi tersebut. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan mantan Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus itu.
Tak hanya kedua ”selilit” itu, tiga perusahaan sawit tersangka kasus dugaan pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya juga menggugat Kemendag ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada September 2023. Ketiga perusahaan itu mengaku mengalami kerugian senilai total Rp 1,64 triliun akibat gonta-ganti kebijakan pemerintah untuk menstabilkan stok dan harga minyak goreng pada 2022.
Dengan begitu, minyak goreng bisa tersaji secara adil di meja hijau dan meja dapur sehingga ”selilit” tidak menjadi ”susuban” atau duri dalam daging.
”Selilit-selilit” itu diperkirakan belum akan tuntas pada akhir tahun ini sehingga bakal turut mewarnai pesta demokrasi Indonesia pada tahun depan. Hal itu juga bakal menjadi salah satu episode kisah pengendalian harga pangan tahun depan mengingat pola musiman kenaikan harga pangan pada Natal dan Tahun Baru kian dekat.
Penyelesaian penegakan kasus dugaan korupsi, gugatan tata niaga, dan kewajiban utang perlu segera dituntaskan secara bijak dan adil. Langkah tersebut tetap perlu dibarengi upaya menjaga stabilitas stok dan harga minyak goreng. Dengan begitu, minyak goreng bisa tersaji secara adil di meja hijau dan meja dapur sehingga ”selilit” tidak menjadi ”susuban” atau duri dalam daging.