ADB: Harga Karbon Terlalu Rendah untuk Berdampak pada Penurunan Emisi
Agar karbon netral pada 2050 tercapai, ADB menilai harga pelunasan karbon harus berada di kisaran 25-35 dollar AS per ton karbon dioksida ekuivalen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga rata-rata karbon di dunia dinilai masih terlalu rendah untuk mewujudkan nol emisi karbon pada 2050. Harga pelunasan karbon yang lebih tinggi dapat menghasilkan lebih banyak uang untuk proyek-proyek konservasi lingkungan penopang tercapainya karbon netral.
Untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050 serta temperatur rata-rata global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, upaya reforestasi, pengurangan pembangkit listrik tenaga batubara dan penggunaan energi rendah karbon perlu dipercepat. Ketiga upaya tersebut erat kaitannya dengan upaya pengurangan emisi melalui mekanisme pelunasan karbon (carbon offset).
Secara teknis melalui mekanisme carbon offset, perusahaan penghasil emisi karbon diokida (CO2) di atas jumlah yang diperbolehkan dapat melunasinya dengan membayarkan kompensasi kepada komunitas atau organisasi yang dianggap menghasilkan oksigen (O2) karena melakukan aktivitas konservasi lingkungan.
Harga carbon offset yang lebih tinggi sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di satu sisi perusahaan yang membayarkan kompensasi tersebut dapat mengklaim kepada para pemangku kepentingannya bahwa mereka telah menjalankan prinsip keberlanjutan (sustainability). Sementara di sisi lain, komunitas yang menerima pembayaran kompensasi bisa mendapatkan nilai ekonomi dari proyek-proyek konservasi yang mereka jalankan.
Kendati begitu, dilansir dari Reuters, Sabtu (18/11/2023), Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai rata-rata harga pelunasan karbon di dunia harus berada di kisaran 25-35 dollar AS per ton CO2 ekuivalen agar perdagangan karbon berdampak lebih efektif dalam penurunan emisi.
Berdasarkan penghitungan ADB, di pasar sukarela saat ini harga pelunasan karbon secara global baru berada di kisaran 6-8 dollar AS per ton CO2 ekuivalen. Bahkan, harga ini bisa lebih murah jika listrik yang digunakan perusahaan bersumber dari energi surya atau bayu.
Special Senior Advisor untuk isu perubahan iklim ADB, Warren Evans, mengatakan, harga karbon di atas 25 dollar AS per ton juga dapat membantu mempercepat rencana ADB untuk membuat sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia pensiun lebih dini.
Evans mengatakan, harga pelunasan karbon yang lebih tinggi dapat memacu pembangkit listrik batubara pensiun lebih awal, di samping akan lebih banyak uang yang dihasilkan untuk proyek-proyek konservasi lingkungan.
”Harga carbon offset yang lebih tinggi sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Berdasarkan laporan perdagangan harian Bursa Karbon Indonesia (Indonesia Carbon Exchange) per Jumat (17/11/2023), harga perdagangan unit karbon di pasar reguler sebesar Rp 69.900.
Nilai tersebut masih jauh di bawah tolok ukur harga karbon terendah berdasarkan dokumen berjudul ”Effective Carbon Rates 2021” yang diterbitkan The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sebesar 30 euro per ton CO2 ekuivalen atau sekitar Rp 508.300.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, harga perdagangan karbon dapat ditetapkan pemerintah dan berdasarkan mekanisme pasar. Pembentukan berdasarkan mekanisme pasar bergantung penawaran dan permintaan dalam dinamika perdagangan karbon.
”Untuk mendorong pembentukan harga pasar yang mampu menekan emisi karbon, pemerintah perlu menurunkan batas intensitas karbon,” ujarnya.
Semakin rendah batas intensitas, perusahaan penghasil emisi dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar dan pengoperasioan boiler demi mencapai target pengurangan emisi. Di samping itu, aspek penawaran dan permintaan sangat berpengaruh terhadap aktivitas perdagangan karbon di Indonesia.
”Seharusnya pihak pembeli merupakan pelaku usaha yang kena kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun, perusahaan yang di bursa karbon saat ini ialah perusahaan yang sifatnya sukarela,” kata Faby.
Sementara itu, Evans menilai perbaikan mekanisme pelunasan karbon juga bergantung pada hasil pertemuan para pemimpin dunia dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, yang dimulai akhir November 2023. Hasil pertemuan diharapkan dapat mendorong peraturan yang lebih tegas yang mengatur sistem pelunasan karbon.
Untuk mendorong pembentukan harga pasar yang mampu menekan emisi karbon, pemerintah perlu menurunkan batas intensitas karbon.
”Jika hal ini dapat meyakinkan para pembeli akan kualitas izin, hal ini dapat mendorong permintaan kredit karbon di saat minat perusahaan terhadap pasar karbon sukarela yang ada saat ini menurun,” ujarnya.