Harga Perdagangan Karbon Dalam Negeri Dinilai Terlalu Rendah
Nilai perdagangan karbon sebesar Rp 30.000 per ton CO2 masih jauh di bawah rekomendasi global. Pemerintah perlu mendorong pembentukan harga pasar yang mampu menekan emisi karbon.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta, Senin (7/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menekan emisi di sektor ketenagalistrikan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mulai menguji coba perdagangan karbon antarpembangkit listrik. Akan tetapi, harga yang ditetapkan dalam perdagangan karbon masih terlalu rendah jika dibandingkan tolok ukur dunia sehingga berpotensi tak berdampak signifikan dalam mengurangi emisi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan batas intensitas emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dengan kapasitas lebih dari 400 megawatt (MW) sebesar 0,918 ton CO2 per MW jam. Batas untuk PLTU dengan kapasitas 100-400 MW senilai 1,013 ton CO2 per MW jam, sedangkan PLTU jenis mulut tambang dengan kapasitas yang sama sebesar 1,094 ton CO2 per MW jam.
Uji coba perdagangan karbon PLN melibatkan PLTU Tanjung Jati B unit 4 yang memiliki surplus kuota emisi. Imbasnya, PLTU tersebut dapat mentransfer kuota ke PLTU Punagaya, PLTU Pangkalan Susu, PLTU Sebalang, dan PLTU Teluk Sirih dengan harga Rp 30.000 per ton CO2.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, harga perdagangan karbon tersebut tergolong rendah. ”Harga sebesar Rp 30.000 per ton CO2 masih jauh di bawah rekomendasi global,” katanya saat dihubungi, Minggu (15/8/2021).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menggelar aksi di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat (11/12/2020).
Berdasarkan dokumen berjudul Effective Carbon Rates 2021 yang diterbitkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tolak ukur harga karbon terendah sebesar 30 euro per ton CO2 atau sekitar Rp 508.300 per ton CO2. Tolak ukur harga karbon di tingkat berikutnya secara berturut-turut senilai 60 euro per ton CO2 dan 120 euro per ton CO2.
Fabby mengatakan, harga perdagangan karbon dapat ditetapkan pemerintah maupun berdasarkan mekanisme pasar. Pembentukan berdasarkan mekanisme pasar bergantung penawaran dan permintaan dalam dinamika perdagangan karbon.
Untuk mendorong pembentukan harga pasar yang mampu menekan emisi karbon, dia berpendapat, pemerintah perlu menurunkan batas intensitas karbon. ”Semakin rendah batas intensitas, PLN dan pemain lainnya dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar maupun pengoperasioan boiler demi mencapai target tersebut,” ujarnya.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi mengatakan, uji coba perdagangan karbon mendorong PLTU menurunkan emisi. Selain itu, PLTU juga menerapkan pengimbangan emisi (offset) dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) melalui program standar karbon terverifikasi (verified carbon standard).
”Uji coba sistem perdagangan emisi merupakan sarana pembelajaran awal terhadap penerapan mekanisme perdagangan emisi dan offset karbon. Kami berharap ada relaksasi pembatasan tahun COD (tanggal efektif beroperasi secara komersial) pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang menghasilkan kredit karbon,” katanya melalui siaran pers yang diterima, Jumat (13/8/2021).
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Tampungan batubara di kawasan PLTU milik PT Obsidian Stainless Steel di Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Minggu (6/9/2020).
Di sisi lain, anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, berpendapat, penentuan harga karbon sebaiknya menunggu peraturan presiden yang membahas nilai keekonomian karbon. ”Aturan ini bersifat lintas sektor, baik kehutanan dan lingkungan hidup, perindustrian, perhubungan, maupun energi dan sumber daya mineral. Mekanisme carbon pricing akan memperhitungkan jumlah emisi karbon sekaligus aktivitas yang dibutuhkan untuk menyerap karbon tersebut. Apabila tidak sebanding, pihak yang menyebabkan emisi mesti membayar sejumlah uang yang akan dipakai untuk penyerapan karbon, seperti perbaikan hutan tropis dan terumbu karang,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (15/8/2021).
Belum ekonomis
Sementara itu, Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi menyatakan, pemanfaatan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, and storage/CCUS) bisa menjadi alternatif inovasi untuk mencapai target emisi nol bersih.
Akan tetapi, Fabby berpendapat, biaya untuk mengurangi emisi karbon dengan teknologi CCUS tergolong tinggi bagi PLN sehingga belum ekonomis untuk diterapkan. ”Indonesia pun belum menguasai teknologinya. Sebaiknya, insentif atau investasi untuk CCUS dialihkan ke pembangunan EBT oleh PLN sehingga bauran energi bersih meningkat sekaligus emisi karbon berpotensi berkurang,” katanya.
Satya berpendapat, biaya teknologi CCUS masih mahal karena berada di tahap riset dan pengujian secara komersial. Meskipun demikian, PLN dapat menjalankan kajian terhadap CCUS secara paralel dengan strategi paduan batubara dan biomassa atau co-firing pada PLTU yang saat ini sudah berjalan.