Wajah Bersolek Perjudian Mengarungi Zaman
Perjudian seusia peradaban manusia terus beradaptasi dengan zaman. Mulai dari dadu, kartu, undian, kini mewujud dalam bentuk digital dengan berbagai variasi permainan.
Beraneka rupa perjudian terus mengisi dan bahkan berdampingan dengan kebudayaan manusia. Dari waktu ke waktu, judi terus bersolek, beradaptasi dengan zaman, mulai dari permainan sederhana menggunakan dadu, kartu, dan undian, kini judi juga turut bergerak dalam arus perubahan, mewujud dalam bentuk digital dengan berbagai variasi permainan.
Jauh sebelum Masehi, perjudian telah dikenal terlebih dahulu oleh orang-orang Mesir, Yunani Kuno, Tiongkok, dan Romawi Kuno. Temuan sepasang dadu yang diperkirakan untuk berjudi dari tahun 3000 SM di makam kuno Mesir menunjukkan betapa dekatnya pertaruhan dengan kehidupan manusia. Selain itu, ada pula kisah mengenai serdadu Romawi yang membuang undi untuk mendapatkan pakaian Yesus sebagaimana tercantum dalam Injil Matius.
Seiring waktu berjalan, bentuk-bentuk perjudian semakin beragam. Perjudian dengan menggunakan kartu, misalnya, memiliki berbagai jenis permainan dengan sekelumit peraturannya tersendiri, seperti poker, samgong, dan remi. Segala sesuatunya dapat menjadi media pertaruhan, tergantung kesepakatan yang ditentukan, salah satunya dengan mekanisme undian.
Hasil penelusuran dari Pusat Informasi Kompas (PIK), periode 1960-an menjadi titik mula judi legal berbasis undian mencuat, di samping praktik-praktik perjudian lainnya. Pada masa awal kepemimpinannya tahun 1967, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan permainan Lotre Totalisator (Lotto) Jaya dan lokalisasi perjudian di Lokasari, Jakarta Barat. Hasil pungutan dari praktik perjudian tersebut digunakan, antara lain, untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, perbaikan dan pelebaran jalan, serta sejumlah fasilitas umum lainnya.
Penghasilan dari pajak Lotto Jaya dan Lokasari amat fantastis. Pemberitaan Kompas pada 23 November 1967 menyebut, Pemerintah DKI Jakarta menerima pemasukan lebih kurang Rp 600 juta dalam setahun atau sekitar Rp 60 triliun saat ini (asumsi kurs dollar AS Rp 15.000). Fenomena Lotto lambat kemudian meluas ke sejumlah daerah lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Medan, Makassar, Banjarmasin, dan Bangka.
Tak hanya diadakan dalam lingkup kedaerahan, judi legal berbasis undian tersebut juga diadakan level nasional dalam bentuk Nasional Lotre (Nalo) pada Mei 1968 dengan hadiah utama senilai Rp 2.500. Izin penyelenggaraan Nalo tersebut diberikan oleh Kementerian Sosial sesuai dengan Undang-Undang Pokok Undian tahun 1954. Hingga pada akhirnya, Nalo dibubarkan tepat pada penarikannya ke-200 pada September 1972 dengan total omzet Rp 8,7 triliun selama empat tahun diadakan.
Sebagai gantinya, Yayasan Rehabilitasi Sosial (YRS) mengeluarkan Undian Dana Sosial yang penarikannya dimulai 1972 untuk menggalang dana bagi korban bencana alam dan permasalahan sosial lainnya. Selanjutnya, YRS juga kembali mengeluarkan Undian Harapan yang penarikan pertamanya dilakukan per 5 Januari 1974 dengan ketentuan hadiah I senilai Rp 60 juta, hadiah II Rp 10 juta, dan hadiah III Rp 3 juta.
Lambat laun, perjudian legal itu terus beralih rupa kendati konsepnya tetap sama, mulai dari sumbangan sosial berhadiah (SSB) yang dikelola oleh Tanda SSB (TSSB) atau Kupon SSB (KSSB) pada tahun 1979. Lalu, muncul juga kupon Pekan Olahraga Ketangkasan (Porkas) pada 1986 untuk membiayai pembinaan olahraga yang kemudian beralih nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB). Bahkan, wajah baru judi legal kembali dipertontonkan dalam rupa Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) pada 1988.
Selama sekitar tiga dekade, judi legal berwajah undian untuk menghimpun dana masyarakat dengan berbagai dalihnya itu pada akhirnya terhenti setelah dikecam oleh berbagai kalangan masyarakat. Salah satu gugatan masyarakat kala itu adalah perihal transparansi, sebab jumlah uang masyarakat yang berhasil dihimpun setiap putaran mencapai Rp 80 miliar-Rp 100 miliar atau Rp 4,8 triliun-Rp 5,2 triliun dalam setahun.
”Lho, sejauh mana transparansi dari pengelola SDSB. Kalau data itu benar, DPR harus berani memanggil pengelola SDSB dan meminta pengelola untuk mentransparankan pengelolaan dana tersebut,” kata ahli hukum Dr Todung Mulya Lubis (Kompas, 26/11/1993).
Satu lagi judi yang memiliki pangsa pasar tak kalah besar dengan undian berhadiah adalah judi bola. Pemberitaan Kompas (10/6/2000) menyebut, Indonesia menjadi pasar taruhan terbesar di Asia. Bagaimana tidak, pada ajang Piala Euro 2000, para bandar judi di Jakarta diperkirakan menggenggam uang-uang taruhan senilai Rp 1,8 triliun. Jumlah ini belum termasuk bandar di Bandung, Surabaya, dan Medan yang nilainya juga mencapai triliunan rupiah.
Terlepas dari polemik perjudian legal berkedok undian berhadiah itu, praktik-praktik judi lain di kalangan masyarakat tetap marak terjadi. Berbagai varia perjudian, seperti gaple, samgong, maciok, dingdong, capsa, dan judi bola, pun mengisi keseharian masyarakat yang mendamba kekayaan instan tatkala terimpit ekonomi akibat pembangunan yang tidak merata. Di luar itu, mereka yang berjas dan berdasi tentu beratapkan kasino di luar negeri karena kasino-kasino di Indonesia ditutup pada 1982.
Baca juga : Perputaran Uang Judi Daring Tembus Ratusan Triliun Rupiah Per Tahun
Adopsi teknologi
Memasuki dunia yang katanya serba teknologi ini, wajah perjudian lagi-lagi kembali bersolek dan kini dikenal dengan judi daring. Konektivitas berbasis jaringan internet yang kini terus berkembang semakin memuluskan perjudian untuk dapat diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun tanpa batas cukup dengan sentuhan jari.
Kalau data itu benar, DPR harus berani memanggil pengelola SDSB dan meminta pengelola untuk mentransparankan pengelolaan dana tersebut. (Todung Mulya Lubis)
Berbagai varian perjudian itu pun akhirnya bersatu, hingga akhirnya menjadi layaknya toko serba ada. Permainan kartu, judi bola, taruhan olahraga, sabung ayam, togel, dan mesin slot pun kini tersedia dalam satu situs yang tidak ada habisnya terus bertebaran sekalipun diblokir pemerintah. Mati satu, tumbuh seribu, mungkin begitulah prinsip mereka bertahan hidup.
Dalam tiga bulan, pemerintah menyatakan, 425.506 konten perjudian yang terdiri dari 237.098 konten berasal dari situs alamat internet protokol (IP address), 17.235 konten file sharing, dan 171.175 konten dari media sosial telah diblokir. Setali tiga uang, para pengembang situs perjudian tak kehabisan akal untuk terus tetap eksis, salah satunya dengan meretas situs-situs pemerintahan dan situs institusi pendidikan.
Kemudahan mengakses dan gencarnya promosi membuat judi daring (online) mencetak perputaran uang hingga Rp 200 triliun per Agustus 2023 sejak 2017. Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, sekitar 2,7 juta warga terlibat dalam aktivitas perjudian daring dan mayoritas bertaruh dengan jumlah nominal di bawah Rp 100.000 atau masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pelajar, buruh, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai swasta.
Wajah baru perjudian tersebut nyatanya turut menambah keruwetan persoalan judi yang dari dulu hingga sekarang tak pernah terselesaikan. Kemudahan akses judi daring turut menyeret lahirnya fenomena pinjaman daring sebagai modal berjudi. Tak sedikit kalangan masyarakat yang akhirnya terjerat di dua lubang setan, yakni perjudian dan utang di pinjaman daring.
Lantas, apakah pemblokiran situs judi daring dan rekening terkait menjadi solusi atas benang kusut tersebut? Ibarat maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai, solusi itu tidak akan menyelesaikan akar permasalahan perjudian yang telah melekat dengan peradaban manusia, yakni perihal sosial-ekonomi masyarakat.
Baca juga : Dapatkah Judi ”Online” Dipajaki?
Perputaran uang yang besar bahkan memunculkan wacana untuk memungut pajak guna membantu pemerataan ekonomi dan tidak membiarkan uang-uang dari dalam negeri mengalir ke negara lain begitu saja. Namun, ini bukanlah perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Mekanisme pemungutan dan penunjukan otoritas yang bertugas mengawasi harus betul-betul dipersiapkan dengan matang mengingat transparansi menjadi hal sensitif. Ditambah lagi, pemerintah masih harus meyakinkan masyarakat bahwa upaya ini bukan serta merta melegalkan judi.
Upaya literasi keuangan kepada masyarakat tetap menjadi pilar utama karena kali ini judi daring turut menelurkan permasalahan baru, yakni pinjaman daring, yang ujungnya juga bisa menyeret pencintanya ke ranah kriminal.
Baca juga : Terpuruk demi Zeus, Terjungkal di Pinjaman Daring