Ketidakpastian Bayangi Perekonomian Indonesia Tahun 2024
Ketidakpastian dinilai masih akan membayangi perekonomian Indonesia di tahun 2024. Apa saja strategi yang disiapkan? Dan apa rekomendasi untuk menghadapi ketidakpastian perekonomian tersebut?
JAKARTA, KOMPAS — Pascapandemi Covid-19 terlihat ada tren pemulihan ekonomi global dan nasional. Namun, perekonomian Indonesia pada 2024 disinyalir masih menghadapi ketidakpastian yang dipengaruhi sejumlah faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal yang memicu ketidakpastian perekonomian Indonesia dimaksud seperti perang Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina serta ancaman perubahan iklim yang dapat mengganggu rantai pasok pangan. Inflasi dan kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi China, Eropa, dan Amerika juga ditengarai akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Pada tataran domestik, perlambatan ekspor, kenaikan suku bunga dalam negeri, pelemahan nilai tukar rupiah, dan pemilihan umum (pemilu) juga diprediksi menjadi tantangan perekonomian makro Indonesia pada 2024.
Baca juga: Dampak Pemilu 2024: Konsumsi Lembaga Naik, Investasi Pemerintah Turun
Demikian, antara lain, yang mengemuka pada diskusi kelompok terfokus (FGD) bertajuk ”Perkembangan Perekonomian Terkini dan Proyeksi Ekonomi Tahun 2024” yang digelar Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) di Hotel Ciputra, Jalan Letjen S. Parman Nomor 11, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (15/11/2023).
Deputi Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yurike Patrecia Marpaung pada diskusi tersebut memaparkan beberapa peluang ekonomi pada 2024. Pemilu 2024 diperkirakan akan meningkatkan konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga (LNPRT) dan konsumsi pemerintah. Selain itu juga kebijakan hilirisasi komoditas pertambangan yang akan meningkatkan nilai tambah sektor industri dan meningkatkan nilai ekspor.
”Adapun risiko yang perlu diantisipasi meliputi investasi yang diperkirakan akan melambat akibat ketidakpastian politik. Kemudian juga perlambatan ekonomi global yang diperkirakan masih akan terjadi, terutama di negara-negara maju akibat kebijakan ekonomi yang ketat dan ancaman El Nino sehingga dapat memperlambat laju ekspor-impor,” kata Yurike.
Dosen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Munawar, dalam paparannya mengungkapkan optimismenya bahwa ekonomi Indonesia akan tetap baik selama sistem politik ke depan masih sama. Hal ini berkaca dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil selama 20 tahun terakhir akibat sistem politik yang juga cenderung stabil.
Baca juga: Stabilitas Ekonomi Prasyarat Stabilitas Politik di Tahun Pemilu
Selain itu, Indonesia juga didukung pasar domestik luas, perkembangan pesat kelas menengah, bonus demografi, dan sumber daya alam yang melimpah. Namun, Indonesia juga memiliki berbagai kelemahan yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi ke depan, termasuk lemahnya infrastruktur yang harus terus diatasi.
”Di Indonesia ini tampaknya ketimpangan antarwilayah itu sulit untuk diatasi karena konektivitasnya susah dan ini masih akan menjadi persoalan ke depan,” ujar Munawar.
Kelemahan lain, menurut Munawar, adalah tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta ketimpangan antarkelompok masyarakat dan antarwilayah. ”Berikutnya yang agak mengkhawatirkan juga adalah persoalan korupsi dan biaya proses politik yang tinggi,” kata Munawar.
Berikutnya yang agak mengkhawatirkan juga adalah persoalan korupsi dan biaya proses politik yang tinggi.
Rekomendasi
Narasumber dari sektor perbankan, Vice President Economist PT BNI Sekuritas Agnes HT Samosir, menyampaikan rekomendasi kunci untuk menghadapi berbagai tantangan yang menghadang perekonomian Indonesia ke depan tersebut. Pertama, pemerintah didorong memilih dan memberikan insentif secara selektif untuk sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.
Kedua, meningkatkan belanja fiskal untuk menciptakan lebih banyak dampak berganda pada konsumsi. Demikian pula hilirisasi nikel, aluminium, dan tembaga yang lebih berwawasan lingkungan dan masyarakat. Hilirisasi tersebut nantinya diharapkan masuk pada sektor-sektor yang berdampak sosial lebih besar.
Menurut Agnes, likuiditas juga harus mencukupi untuk mengurangi volatilitas di pasar. ”Diversifikasi kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain (harus dilakukan) supaya ketika terjadi suatu risiko tidak bertumpu terlalu besar kepada negara tersebut. (Hal ini) demi meminimalkan dampak dari sektor-sektor tersebut,” katanya.
Yurike merekomendasikan beberapa kebijakan, semisal melanjutkan hilirisasi sektor pertambangan seperti komoditas nikel hingga menjadi barang konsumsi akhir seperti baterai. Pemerintah juga harus terus mendukung hilirisasi sektor perkebunan melalui komoditas potensial seperti kelapa, kakao, dan kopi di samping komoditas utama seperti kelapa sawit dan karet.
”Rekomendasi kebijakan selanjutnya adalah menjaga stabilitas harga domestik dalam pengendalian inflasi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi kebijakan 4K, yakni menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang efektif,” kata Yurike.
Strategi pemerintah
Sementara itu, Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Andriansyah memaparkan strategi kebijakan dalam mendukung penguatan ekonomi nasional. Strategi pertama adalah mendorong kemudahan berusaha dan peningkatan investasi melalui implementasi UU Cipta Kerja dan reformasi perizinan berusaha berbasis risiko (OSS).
Strategi berikutnya berupa penguatan daya beli masyarakat dan pengendalian inflasi melalui stabilisasi harga pangan dan pemberian bantuan sosial. Selain itu, penguatan daya saing dan nilai tambah industri juga akan terus dilakukan melalui revitalisasi sektor manufaktur ”Making Indonesia 4.0”, hilirisasi komoditas sumber daya alam, dan penataan National Logistics Ecosystem (NLE).
”Kita juga ingin mendorong ekspor dan menjaga resiliensi sektor eksternal melalui diversifikasi pasar ekspor, penguatan daya saing komoditas ekspor, LCT (local currency transaction), dan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam,” kata Adriansyah.
Baca juga: Mulai 1 Agustus, Devisa Hasil Ekspor Wajib Disimpan Dulu di Dalam Negeri
Strategi pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ditempuh dengan memudahkan perizinan dan akses pembiayaan melalui kredit usaha rakyat (KUR), Umi (ultra mikro), membina ekonomi keluarga sejahtera (Mekaar), Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), dan digitalisasi. Demikian pula peningkatan produktivitas SDM yang ditekankan melalui program Kartu PraKerja, program pendidikan dan pelatihan vokasi, dan percepatan literasi digital.
”Lalu kita juga akan terus melakukan pemerataan pembangunan dan konektivitas yang diwujudkan melalui penyelesaian pembangunan infrastruktur melalui PSN (Proyek Strategis Nasional) dan pembangunan IKN. Termasuk, peningkatan kerja sama internasional yang dikejar melalui tindak lanjut Deliverables G20, Deliverables ASEAN, dan negosiasi IPEF, (Indo-Pacific Economic Framework),” ujar Adriansyah.
Baca juga: Presiden Jokowi Ajak Pemimpin APEC Perkuat Kerja Sama Konkret
Selanjutnya, Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Dewi Puspita memaparkan berbagai inisiatif strategis kebijakan untuk penguatan harmonisasi kebijakan fiskal nasional. Salah satunya melalui peningkatan local taxing power melalui penerapan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) baru dengan simplifikasi Perda PDRD dan penguatan sinergi pemungutan PDRD.
Selain itu, juga peningkatan kualitas transfer ke daerah (TKD) melalui Sinergi TKD earmarked dengan belanja kementerian/lembaga untuk pencapaian prioritas nasional. ”Tahun 2024 merupakan tahun pertama implementasi mayoritas substansi UU Hubungan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (HKPD) dan RPP turunannya, antara lain penerapan kebijakan PDRD dan pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional,” kata Dewi.
Baca juga: Digitalisasi Transaksi untuk Naikkan Pendapatan Daerah
Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah secara nasional juga terus diupayakan melalui Penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Regional, serta penyelarasan KEM PPKF dengan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS).
”Kemudian reformasi pengelolaan keuangan daerah melalui penerapan active cash management untuk mendorong percepatan realisasi belanja daerah. Digitalisasi monitoring dan evaluasi juga perlu terus dilakukan,” ujar Dewi.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Setwapres Guntur Iman Nefianto menuturkan, hasil FGD ini akan menjadi policy briefs bagi Wakil Presiden guna mengawal berbagai kebijakan ekonomi Indonesia ke depan.
Biro Pers, Media, dan Informasi Setwapres menginformasikan, hadir pada diskusi tersebut Asisten Deputi Ekonomi dan Keuangan Setwapres Ahmad Lutfie; Asisten Deputi Industri, Perdagangan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Setwapres Abdul Muis; dan Asisten Deputi Infrastruktur, Ketahanan Pangan, dan Sumber Daya Alam Setwapres Celvya Betty Manurung.
Selain itu, juga Kepala Biro Tata Usaha, Teknologi Informasi, dan Kepegawaian Yayat Hidayat; Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Purwono Prihantoro Budi Trisnanto; para pejabat dan pegawai di lingkungan Setwapres; serta perwakilan kementerian/lembaga terkait.