"Fear of missing out" atau FOMO sebaiknya dikendalikan. Hal itu akan lebih mudah jika anak muda mampu melakukan perencanaan keuangan dan mendisiplinkan diri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Diluncurkannya gawai teranyar iPhone membuat pusing sebagian anak muda yang memiliki kecenderungan fear of missing outatau FOMO alias takut ketinggalan. FOMO menjadi hal yang gampang mendera siapa saja di tengah banjir informasi lewat berbagai media, termasuk media sosial, tentang hal-hal yang baru. Herindra, seorang pekerja muda yang berusia 25 tahun, merasakan dirinya demikian.
Belum lama ini, ia berhasil membeli iPhone 15 yang baru dirilis akhir Oktober 2023 di Indonesia dengan harga sekitar Rp 16 juta setelah mengantre lewat pre-order. Sebagai penggemar produk Apple, Herindra mengaku membeli ponsel keluaran terbaru adalah sebuah penghargaan diri. Ia bahkan merelakan menghabiskan pemasukan dari pekerjaan sampingannya sebagai desainer grafis.
”Saya memang sudah lama niat ganti ponsel baru, tapi baru tergerak sekarang karena ada rilis ponsel baru yang, menurut saya, lebih layak. Kebetulan saya baru dapat rezeki ’nomplok’ dari pekerjaan sampingan. Saya pakai hampir semuanya untuk ganti ponsel,” ucapnya kepada Kompas, Kamis (9/11/2023).
Ia senang harapannya terwujud tanpa perlu menabung jauh-jauh hari dan berutang. Ia bahkan masih bisa menggunakan sisa gaji usaha sampingan itu untuk membeli tiket konser penyanyi Ed Sheeran pada 2024 mendatang. ”Selama masih ada gaji pokok untuk menutupi kebutuhan harian, menurut saya, enggak salah habiskan uang lebih untuk kesenangan seperti ini,” ujarnya.
Herindra termasuk kalangan pembeli iPhone yang beruntung karena tidak perlu mencicil untuk membayar produk yang terbilang mawah itu. Lembaga riset pasar Consumer Intelligence Research Partners (CIRP), yang mengkaji metode pembelian gawai di Amerika Serikat, menunjukkan, pembeli iPhone lebih banyak membeli ponsel tersebut dengan cara mencicil ketimbang konsumen ponsel Android yang lebih terjangkau.
Dalam laporan yang dirilis awal November 2023 ini, sebanyak 55 persen pembeli iPhone menggunakan metode cicilan bulanan saat membeli unit baru, lebih besar dari hanya 44 persen pembeli Android yang menggunakan metode tersebut. Sementara itu, pembayaran penuh atau kontan hanya dilakukan 38 persen responden pembeli iPhone daripada 49 persen pembeli produk Android.
CIRP menjelaskan, minat pelanggan iPhone untuk mencicil barang banyak dudukung penawaran kontrak cicilan iPhone tertentu dan kemudahan untuk tukar tambah ponsel. Metode serupa dilakukan layanan e-commerce Blibli yang menjadi salah satu Apple Authorised Reseller resmi di Indonesia.
Kecenderungan anak muda di Indonesia berutang untuk keperluan konsumtif tergambar juga dalam tren pemanfaatan pinjaman daring atau fintech lending. Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras, dalam satu diskusi, menemukan, minat generasi muda usia 34 tahun ke bawah untuk memanfaatkan pinjaman daring naik dalam 1,5 tahun terakhir.
Sesuai data OJK sampai Juli 2023, jumlah rekening penerima pinjaman aktif generasi muda naik dari 9,6 juta pada Januari 2022 ke 10,68 juta pada Juli 2023. Sementara itu, nilai pinjaman daring oleh peminjam berusia 19-34 tahun meningkat dari sekitar Rp 16,6 triliun di Januari 2022 menjadi Rp 27,1 triliun Juli 2023.
Namun, disayangkan, pada saat bersamaan, jumlah pinjaman macet mereka juga meningkat. ”Hampir 300 miliar jumlah outstanding generasi muda yang macet dalam satu setengah tahun terakhir ini,” ucap Izzudin.
Manajemen diri dan keuangan
Perencana keuangan Diaz Adritya Putra mengatakan, berutang untuk memenuhi keinginan bukan hal yang salah. Namun, sebaiknya, rencana berutang itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa seseorang atau barang yang diinginkan bisa menambah nilai dalam kegiatan keseharian.
”Harus ada nilai tambah dan tujuannya jelas. Saya tidak merekomendasikan berutang kalau, misalnya, ponsel saya baik-baik aja, tapi pingin ganti ponsel yang layarnya lebih jernih, padahal enggak penting-penting amat. Ini beda kalau kita ambil kredit, misalnya, untuk KPR rumah karena tahu harga rumah akan alami peningkatan,” ujarnya.
Hampir 300 miliar jumlah ’outstanding’ generasi muda yang macet dalam satu setengah tahun terakhir ini.
Ia juga menyarankan agar berutang tidak melalui pinjaman daring yang memiliki bunga besar. Menurut dia, meminjam lewat bank atau pegadaian yang menerapkan adanya jaminan lebih tepercaya.
Adapun terkait FOMO, perilaku itu sebaiknya dikendalikan. Pasalnya, FOMO berawal dari adanya tekanan sosial dan kurangnya pengendalian diri. Masyarakat, khususnya anak-anak muda, harus bisa belajar mengendalikan diri dan menentukan tujuan hidup. Hal itu akan lebih mudah jika anak muda mampu melakukan perencanaan keuangan dan mendisiplinkan diri.
Ketika anak muda siap melakukan perencanaan keuangan, pemenuhan keinginan bisa dilakukan dengan menyisihkan pendapatan dalam pos khusus. Pos ini bisa dipenuhi sesuai dengan target atau tidak, bergantung pada kedisiplinan. Menabung untuk keperluan ”pemenuhan keinginan”, menurut dia, bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki pendapatan tetap atau tidak.
”Dalam melakukan perencanaan keuangan yang penting (adalah pemenuhan) kebutuhan sehari-hari, kemudian kewajiban, investasi dan proteksi, baru untuk pos hura-hura. Pos untuk keinginan ini ada di bagian terkecil piramida pengeluaran. Misalnya, 60 persen gaji untuk sehari-hari. Lalu, untuk cicilan tidak lebih dari 30 persen. Sebagian lagi, untuk investasi dan asuransi. Sisanya, untuk hura-hura atau keinginan,” ucapnya.
Adapun bagi pekerja lepas, menabung mungkin bisa menjadi hal yang sulit karena ketidakpastian pendapatan. ”Ini menantang karena pendapatan enggak tentu,” katanya.
Namun, ia selalu mengingatkan untuk balik ke piramida keuangan, yakni harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dulu, lalu kewajiban, misalnya kalau ada cicilan kredit dan lain sebagainya, investasi dan proteksi, dipenuhi dahulu. ”Baru sisanya untuk kebutuhan bersenang-senang,” ujarnya.