Biaya Tersembunyi di Luar Label Harga Pangan Kita
Di luar label harga pangan terdapat biaya tersembunyi. Biaya tersembunyi itu merepresentasikan persoalan perubahan iklim, kesehatan, kemiskinan, serta kesenjangan dan ketahanan pangan.
Sistem pertanian pangan, termasuk perkebunan, bak dua sisi mata uang. Di satu sisi menghasilkan manfaat bagi masyarakat melalui pangan, budaya, dan pekerjaan. Di sisi lain berkontribusi terhadap perubahan iklim, serta mendegradasi sumber daya alam dan kesehatan karena sistem pangan tersebut tidak menerapkan praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan.
Sisi negatif sistem pertanian itu menimbulkan biaya tersembunyi. Biaya tersembunyi itu di luar label harga pangan atau tidak diperhitungkan dalam harga pangan. Pada 2020, biaya tersembunyi di balik sistem pertanian pangan dan di luar label harga pangan global sebesar 12,75 triliun dollar AS atau sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.
Biaya tersembunyi terbesar berasal dari biaya kesehatan, terutama akibat pola makan yang tidak sehat, yakni senilai 9,31 triliun dollar AS. Kemudian disusul biaya lingkungan dan sosial masing-masing 2,87 triliun dollar AS dan 570,94 juta dollar AS.
Hal itu mengemuka dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bertajuk “The State of Food and Agriculture (SOFA) 2023” yang dirilis Senin (6/11/2023), di Roma, Italia, waktu setempat. Laporan tersebut mengungkap tentang biaya tersembunyi yang muncul dari sistem pertanian pangan yang tidak berkelanjutan di 154 negara.
Pada 2020, biaya tersembunyi di balik sistem pertanian pangan dan di luar label harga pangan global sebesar 12,75 triliun dollar AS atau sekitar 10 persen dari PDB dunia.
Biaya tersembunyi adalah segala biaya yang ditanggung individu atau masyarakat yang tidak tecermin dalam harga pasar sebuah produk atau layanan. Biaya tersebut mengacu pada biaya eksternal atau ekonomi atas kerugian yang muncul baik karena kegagalan sistem, pasar, institusi, dan kebijakan kebijakan.
FAO menjabarkan, biaya tersembunyi akibat kerugian lingkungan terbesar berasal dari emisi nitrogen yang menyebabkan pencemaran tanah dan udara, serta gas rumah kaca yang memengaruhi perubahan iklim. Faktor lainnya berasal dari alih fungi lahan dan sumber-sumber air.
Di sektor kesehatan, biaya tersembunyi yang muncul didominasi oleh pola makan yang tidak sehat. Pola makan tersebut terkait erat dengan obesitas, penyakit tidak menular, hingga hilangnya produktivitas dalam bekerja.
Adapun biaya sosial yang tersembunyi atau yang tidak diperhitungkan dalam harga pangan terkait dengan kemiskinan dan kekurangan gizi. Kemiskinan tersebut muncul antara lain akibat minimnya kepemilikan lahan petani kecil, harga produk pertanian yang rendah, dan akses keluarga berpenghasilan rendah terhadap pangan yang harganya terjangkau.
Baca juga: El Nino dan Kisah Sepiring Nasi Petani
Dalam laporan itu, FAO menyebutkan, biaya tersembunyi terbesar di balik sistem pertanian pangan dialami oleh negara-negara berpenghasilan rendah, yakni rata-rata sebesar 27 persen dari PDB. Kemudian disusul dengan negara-negara berpendapatan menengah bawah dan menengah atas masing-masing 12 persen dan 11 persen dari PDB. Biaya tersembunyi terendah tentu saja berada di negara-negara bependapatan tinggi, yakni 8 persen dari PDB.
Menurut FAO, untuk beberapa negara, terutama kelompok negara berpendapatan rendah dan menengah bawah, biaya tersembunyi itu banyak ditanggung oleh masyarakat rentan. Hal itu antara lain mencakup akses pangan sehat, harga pangan yang terjangkau, dan pendapatan petani.
Untuk meminimalisasi biaya tersembunyi bagi pekerja sektor pertanian, misalnya, pendapatan mereka perlu meningkat rata-rata 57 persen di negara berpendapatan rendah dan 27 persen di negara berpendapatan menengah bawah.
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu menyatakan tantangan global semakin meningkat. Aneka krisis terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, mulai dari ketersediaan dan akses pangan, iklim, keanekaragaman hayati, perlambatan ekonomi, hingga kemiskinan. Oleh karena itu, setiap negara perlu menekan biaya tersembunyi di berbagai sektor, termasuk dalam sistem pertanian pangan.
Untuk meminimalisasi biaya tersembunyi bagi pekerja sektor pertanian, misalnya, pendapatan mereka perlu meningkat rata-rata 57 persen di negara berpendapatan rendah dan 27 persen di negara berpendapatan menengah bawah.
Biaya tersembunyi RI
Dalam laporan tersebut, FAO juga menyebut biaya tersembunyi di balik sistem pertanian atau di luar perhitungan harga pangan Indonesia. Biaya tersembunyi Indonesia tercatat sebesar 319,515 juta dollar AS. Tiga komponen terbesar yang menyumbang biaya tersebunyi tersebut adalah emisi nitrogen senilai 79,986 juta dollar AS, gas rumah kaca 42,123 juta dollar AS, dan kemiskinan, terutama pada kelompok pekerja sektor pertanian, 11,670 juta dollar AS.
Biaya tersembunyi RI tercatat paling besar di antara negara-negara di Asia Tenggara. Porsi biaya tersembunyi RI sebesar 44,21 persen dari total biaya tersembunyi sistem pertanian pangan Asia Tenggara yang mencapai 722,7 juta dollar AS. Setelah Indonesia, biaya tersembunyi sistem pertanian pangan Thailand menempati urutan kedua, yakni sebesar 106,258 juta dollar AS.
Biaya tersembunyi di balik sistem pertanian atau di luar perhitungan harga pangan Indonesia. Biaya tersembunyi Indonesia tercatat sebesar 319,515 juta dollar AS.
Di Indonesia, sektor pertanian, termasuk perkebunan, dibayangi terus dengan sejumlah persoalan klasik. Hal itu mulai dari kepemilikan lahan petani, harga hasil-hasil pertanian, hingga alih fungsi lahan. Alih funsi lahan itu antara lain berupa pengalihan lahan hutan menjadi lahan tanaman pangan, lahan tanaman pangan menjadi perkebunan, dan lahan tanaman pangan untuk perumahan atau kawasan industri.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, pada 2019, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, rata-rata kemampuan mencetak sawah hanya 60.000 hektar setahun.
Hasil pengolahan regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, setiap penambahan seribu hektar area lahan sawah akan mendorong peningkatan produksi padi sekitar 4.370 ton. Jadi, dengan alih fungsi lahan sawah di Indonesia saat ini, diperkirakan menurunkan produksi padi 174.800 ton setahun (Kompas, 12/10/2023).
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Saat ini, pemerintah juga tengah menggulirkan program pemutihan atau melegalkan 3,37 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit.
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu Andi Irawan dalam tulisannya, ”Implikasi Pemutihan 3,3 Juta Hektar Lahan Sawit”, berpendapat, dengan pemutihan itu, status perkebunan sawit milik perusahaan, koperasi, dan masyarakat akan jelas. Mereka akan taat hukum dan memenuhi kewajiban pajak. Di sisi lain, langkah tersebut juga berpotensi memperburuk citra sawit Indonesia di hadapan komunitas global terkait pentingnya menjaga prinsip keberlanjutan (Kompas, 9/8/2023).
Baca juga: Implikasi Pemutihan 3,3 Juta Hektar Lahan Sawit
Selain alih fungsi lahan, hasil pertanian dan perkebunan petani juga kerap dihargai rendah atau di bawah biaya produksi. Gabah kering panen, misalnya, baru tahun ini harganya memang jauh di atas biaya produksi Rp 5.667 per kilogram dan harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 5.000 per kilogram. Namun, sebelumnya, harga komoditas itu kerap berada di bawah HPP.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Badan Riset dan Inovasi Nasional Umi Karomah Yaumidin menuturkan, HPP dan harga eceran tertinggi (HET) merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. Kebijakan ini perlu diterapkan secara berkala dengan mempertimbangkan berbagai faktor pembentuk biaya, baik dari sisi produsen, pelaku usaha, maupun konsumen.
”Kebijakan HPP dan HET ini juga masih relevan dalam pemberian insentif produksi petani dan sinyal kepada pemerintah untuk menentukan acuan harga,” tutur Umi dalam Seminar Nasional “Strategi Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Nasional dalam Situasi Perubahan Iklim dan Gejolak Suplai Pangan Dunia” di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Baca juga: Hati-hati, ”Banjir” Beras Impor Bisa Tekan Harga Gabah Petani Tahun Depan
Kendati masih banyak persoalan yang memunculkan biaya tersembunyi sistem pertanian pangan RI, pemerintah, masyarakat, dan perusahaan-perusahaan di Indonesia terus berbenah diri. Program-program lahan pertanian abadi, evaluasi dan penetapan HPP komoditas hasil pertanian, tata cara pertanian yang baik dan berkelanjutan, pencegahan alih fungsi lahan hutan, serta gerakan ekonomi hijau dan biru terus digulirkan.
Dongyu berharap, laporan FAO tentang biaya tersembunyi sistem pertanian pangan dapat memantik gerakan bersama melahirkan komitmen kolektif untuk mengubah mentransformasi sistem pertanian pangan demi kebaikan semua orang. Ingat, di balik sistem pertanian dan di luar label harga pangan, bergulir pula persoalan perubahan iklim, kemiskinan, kesehatan, serta kesenjangan dan ketahanan pangan.
Baca juga: Sawit di Negeri Jelapang Padi