”Start Up” Hadapi Ketidakpastian Strategi Mencapai Profit
Fenomena penurunan pendanaan swasta ke ”start up” terlihat hampir di semua siklus tumbuh-kembang ”start up”. Pendanaan untuk fase terakhir mengalami penurunan yang paling signifikan.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi atau start updi Asia Tenggara kini tengah menghadapi ketidakpastian strategi mencapai profit. Situasi pasar modal di kawasan dinilai kurang kondusif sehingga relatif menyulitkan investor untuk exit, yaitu rencana kontingensi untuk melikuidasi posisi dalam aset keuangan.
Laporan ”E-Conomy SEA 2023” yang dirilis Google, Bain & Company, dan Temasek baru-baru ini menyebutkan, pendanaan swasta (private investment) ke start up di Asia Tenggara telah turun ke level terendah dalam enam tahun terakhir. Negara di Asia Tenggara yang dimaksud dalam laporan itu terbatas pada Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina.
Pada tahun 2016, total kesepakatan pendanaan swasta di negara-negara tersebut mencapai 811 kesepakatan. Setelah itu, jumlah kesepakatan meningkat pesat. Kesepakatan pendanaan mencapai rekor tertinggi pada 2021, yaitu sebanyak 2.697 kesepakatan.
Total kesepakatan kemudian menunjukkan tren penurunan. Pada semester I-2023, jumlah keseluruhan kesepakatan pendanaan mencapai 564 kesepakatan. Pada semester I-2022, total kesepakatan pendanaan masih bisa menembus angka 1.233 kesepakatan.
Partner dan Head of Vector Bain & Company untuk Asia Tenggara Aadarsh Baijal, yang hadir dalam konferensi pers pemaparan laporan ”E-Conomy SEA 2023”, Selasa (7/11/2023), di Jakarta, mengatakan, fenomena penurunan pendanaan swasta ke start up terlihat hampir di semua siklus tumbuh-kembang start up. Pendanaan untuk fase terakhir (late-stage) start up mengalami penurunan yang signifikan.
Di Indonesia, pendanaan swasta turun sebesar 87 persen pada semester I-2023 dibanding periode yang sama tahun 2022 atau dari 3,3 miliar dollar AS menjadi 0,4 miliar dollar AS. Dengan memakai perbandingan periode yang sama, pendanaan swasta di Singapura turun 63 persen dari 7 miliar dollar AS ke 3 miliar dollar AS. Pendanaan swasta di Malaysia turun 52 persen dari 0,5 miliar dollar AS ke 0,3 miliar dollar AS.
Di negara lain, pendanaan swasta di Thailand turun 66 persen dari 0,3 miliar dollar AS ke 0,1 miliar dollar AS. Pendanaan swasta di Filipina menurun 79 persen atau dari 0,8 miliar dollar AS ke 0,2 miliar dollar AS.
Vietnam menjadi negara yang mengalami penurunan pendanaan swasta terkecil dibanding lima negara lain yang diteliti. Tingkat penurunannya sebesar 24 persen. Pendanaan swasta pada semester I-2022 di negara ini mencapai 0,7 miliar dollar AS. Lalu, pada semester I-2023, nilai pendanaannya menjadi 0,6 miliar dollar AS.
”Semakin banyak aktivitas kesepakatan pendanaan disalurkan ke sektor-sektor baru (di luar sektor e-dagang, keuangan digital, media daring, perjalanan, serta makanan dan transportasi). Ini menandakan bahwa investor melakukan diversifikasi portofolio investasi,” ujar Aadarsh.
Kami mengamati sejumlah perusahaan teknologi di Asia Tenggara sangat agresif mengurangi subsidi pemasaran.
Di tengah kondisi putaran pendanaan yang masih menantang, para start up harus mampu membuktikan upaya monetisasi yang sekarang sedang dijalankan. Strategi menuju profit yang mereka buat harus jelas.
”Kami mengamati sejumlah perusahaan teknologi di Asia Tenggara sangat agresif mengurangi subsidi pemasaran. Tingkat pertumbuhan nilai total barang terjual di aplikasi atau gross merchandise value (GMV) lambat, tetapi pendapatan akan naik. Cara seperti ini akan menyehatkan industri teknologi jangka panjang,” imbuhnya.
Selektif
Sementara itu, menurut Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf, jumlah putaran dan kesepakatan pendanaan swasta ke start up di suatu negara bisa naik-turun. Dalam laporan ”E-Conomy SEA 2023”, kendati pendanaan swasta di Indonesia mengalami angka penurunan terbesar jika dibandingkan semester I-2022 dan semester I-2023, penjumlahan perolehan nilai investasi Indonesia dari tahun 2019 hingga semester I-2023 tetap besar.
Kendati investor semakin selektif dalam menanamkan modal, cadangan dana (dry powder) di Asia Tenggara masih menggembung menjadi 15,7 miliar dollar AS pada akhir tahun 2022, dari 12,4 miliar dollar AS pada tahun 2021. Hal ini mengindikasikan masih ada ”bahan bakar” untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital lebih lanjut.
Head of Southeast Asia Temasek Fock Wai Hoong menambahkan, ekonomi digital Indonesia, khususnya, masih terus menawarkan peluang investasi yang menarik. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia relatif masih kuat. Ekosistem start up juga masih dinamis.
”Temasek tetap optimistis terhadap masa depan ekonomi digital Asia Tenggara. Temasek akan terus mengerahkan modal untuk mencapai pertumbuhan bisnis digital yang berkelanjutan,” ucap Hoong.