Energi Hijau: Anies, Ganjar, dan Prabowo Tak Singgung Keterjangkauan Harga
Belum ada strategi konkret yang dipaparkan ketiga pasangan calon untuk menyelesaikan akar masalah lambannya kemajuan kontribusi bauran EBT, yakni harga EBT yang tidak kompetitif dengan energi fosil.
JAKARTA, KOMPAS—Ketiga kandidat calon presiden pada Pemilu Presiden 2024 punya gagasan masing-masing untuk meningkatkan kontribusi bauran energi baru dan terbarukan (EBT). Tujuan mereka sama, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menitikberatkan pada perlindungan lingkungan.
Namun demikian, belum ada strategi konkret yang dipaparkan oleh ketiga pasangan calon untuk menyelesaikan akar masalah lambannya kemajuan kontribusi bauran EBT, yakni harga EBT yang belum kompetitif dengan energi fosil.
Melihat dokumen visi dan misi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mereka sama-sama punya tujuan mereduksi paparan gas rumah kaca hasil aktivitas ekonomi. Caranya adalah dengan memanfaatkan dan menggali potensi sumber EBT secara optimal.
Kita kaya akan sumber energi terbarukan, tetapi tidak optimal pemanfaatannya. Harga energi terbarukan tidak cukup kompetitif dibandingkan fosil.
Pemerintah Indonesia menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Namun, hingga akhir 2022, bauran EBT nasional baru 14,11 persen. Belum maksimalnya realisasi target bauran EBT ini dapat menghambat tahapan reduksi emisi karbon Indonesia di masa mendatang.
Pasangan Anies-Muhaimin berkomitmen mendorong pencapaian target emisi tahunan demi menyukseskan target karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060 serta berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mengupayakan NZE pada 2050.
Agar upaya mencapai target bisa terukur, mereka berencana menetapkan indeks ekonomi hijau sebagai indikator yang relevan dalam mengukur pembangunan berkelanjutan. Untuk memacu investasi, pasangan ini menjanjikan insentif pembiayaan dan kemudahan berusaha di sektor hijau.
Peran EBT juga akan ditingkatkan dalam bauran energi nasional untuk menahan laju perubahan iklim dan polusi, menghemat devisa, dan melepaskan diri dari ketergantungan impor energi. Kontribusi EBT ditargetkan naik menjadi 22 persen-25 persen pada 2029.
Adapun target bauran kontribusi EBT pasangan Ganjar-Mahfud lebih ambisius, yakni 25 persen hingga 30 persen pada 2029. Guna mencapainya, wilayah perdesaan juga akan didorong agar mampu memberdayakan sumber energi lokal berbasis EBT untuk memasok kebutuhan energi domestik. Tujuannya adalah menjadikan desa-desa bagian dari gugus penghijauan ekonomi nasional.
Guna mengejar target pengurangan emisi, pasangan ini juga memastikan pemeliharan hutan, pemangkasan polusi udara dari emisi hasil kendaraan dan industri, serta pembatasan penggunaan plastik. Moratorium deforestasi akan dilanjutkan sekaligus mempercepat reforestasi melalui reboisasi, restorisasi, dan rehabilitasi.
Baca juga: Presiden Jokowi: Geser ke Energi Hijau
Pasangan Ganjar-Mahfud juga menjanjikan sebuah sistem pengelolaan sampah dan limbah nasional yang terintegrasi untuk mewujudkan berkah ekologi. Mengubah sampah menjadi peluang tambahan penghasilan alternatif bagi rakyat yang mereka sebut sebagai berkah ekonomi (waste to cash).
Adapun pasangan Prabowo-Gibran tidak secara spesifik menuliskan dalam dokumen visi dan misi mereka soal target dari peningkatan kontribusi EBT. Kendati demikian, pasangan ini menyatakan akan merevisi seluruh regulasi yang selama ini menghambat peningkatan investasi baru di sektor EBT.
Untuk mengakselerasi target NZE sekaligus memanfaatkan kesempatan dari ekonomi hijau, ekosistem yang terus mengakselerasi pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam yang berkaitan dengan penyerapan karbon (carbon sink) dan perdagangan karbon (carbon offset) akan terus dikembangkan.
Keterjangkauan tak dibahas
Meski ketiga pasangan capres-cawapres memiliki perhatian terhadap peningkatan bauran EBT untuk mengejar target karbon netral, tidak ada satu pun pasangan yang punya gagasan dan jalan keluar untuk membuat harga EBT lebih terjangkau.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan, salah satu tantangan pemanfaatan energi hijau adalah membuat harga kompetitif dengan energi fosil. Hal ini membutuhkan dukungan regulasi, mulai dari pemakaian kapasitas besar, sedang, hingga kecil.
”Memang menyedihkan. Kita kaya akan sumber energi terbarukan, tetapi tidak optimal pemanfaatannya. Harga energi terbarukan tidak cukup kompetitif dibandingkan fosil,” ujarnya.
Menurut Alin, transisi ke energi terbarukan juga akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi. Prosesnya penting untuk selalu dipantau guna mengetahui proporsi sektor yang bergeser, termasuk dalam penyediaan teknologi dan sumber daya manusia.
”Dari sisi perencanaan dan target (penggunaan energi hijau) ada kemajuan. Namun, dalam membuat turunan kebijakan dan komitmen harus lebih serius lagi,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra menilai, ketiga pasangan belum begitu memahami seutuhnya soal target peta jalan EBT yang telah dibuat pemerintah.
Dari sisi perencanaan dan target penggunaan energi hijau ada kemajuan. Namun, dalam membuat turunan kebijakan dan komitmen harus lebih serius lagi
Indikasi ini terlihat dari tidak ada yang menyinggung soal masalah kelebihan pasokan energi listrik yang 60 persennya berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
”Proses transisi energi ini tidak akan ada kemajuan kalau masalah inti tidak diatasi. Masalah over kuota subsidi energi juga menjadi hal yang perlu dibahas karena ini berkaitan dengan perencanaan transisi energi,” kata Daymas.