Terobosan Sektor Maritim Dinilai Masih Minim
Kebijakan itu dinilai kontradiktif dengan kebijakan pemerintahan Joko Widodo sebelumnya, periode tahun 2014-2019, yang berkontribusi positif pada upaya pemulihan laut dan menekan penangkapan ikan berlebih.
JAKARTA, KOMPAS — Empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’aruf Amin dinilai belum menunjukkan terobosan maritim Indonesia. Capaian sektor kelautan dan perikanan, misalnya, dinilai tergerus oleh kebijakan yang membuka privatisasi laut.
Human Rights Manager Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Miftachul Choir, dalam Diskusi ”Ocean For Sale, Potret Kebijakan Maritim di Empat Tahun Era Jokowi-Amin, Rabu (1/11/2023), menyoroti narasi besar maritim Indonesia yang tertuang antara lain dalam Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI).
Terdapat tujuh isu strategis yang digulirkan dalam KKI, yakni pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia, serta pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan laut. KKI juga mendorong tata kelola dan kelembagaan laut, ekonomi infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, budaya bahari, serta diplomasi maritim.
Miftachul berpendapat, Indonesia tengah menghadapi tantangan eksploitasi atau penangkapan ikan berlebih yang ditandai tren penurunan produksi perikanan tangkap. Namun, rencana aksi KKI belum dibuktikan dengan keseriusan tata kelola laut dan sumber daya ikan untuk memulihkan laut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kebijakan perikanan yang digulirkan cenderung membuka laut untuk privatisasi sumber daya ikan.
Aksi mimbar bebas menanggapi rencana pelaksanaan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai penangkapan terukur di Laut Aru dan Laut Arafura. Aksi itu berlangsung di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku pada Selasa (15/3/2022).
Kebijakan penangkapan ikan terukur yang akan dilaksanakan mulai tahun 2024 dinilai memberi peluang bagi industri kapal perikanan skala besar untuk menguasai kuota tangkapan dalam jumlah besar pada zona-zona penangkapan ikan. Sebaliknya, nelayan kecil dengan armada yang minim memperoleh kuota terbatas.
Kebijakan itu dinilai kontradiktif dengan kebijakan pemerintahan Joko Widodo sebelumnya, periode tahun 2014-2019, yang berkontribusi positif pada upaya pemulihan laut dan menekan penangkapan ikan berlebih. Di antaranya, melarang penggunaan kapal buatan luar negeri, pelarangan alih muatan kapal (transshipment) di tengah laut, serta melarang modal asing dalam usaha kapal penangkapan ikan melalui daftar negatif investasi.
”Melalui kebijakan keterbukaan pasar, zonasi, dan rencana penangkapan ikan berbasis kuota, pemerintah mensponsori perampasan laut dari mereka yang hidup bergantung pada ekologi laut, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir,” ujar Miftachul.
Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota Dimulai Bertahap
Tergusur
Miftachul menyebutkan, kebijakan kelautan Indonesia dapat berdampak positif jika berpihak kepada mereka yang bergantung pada sumber daya laut. Sebaliknya, kebijakan menimbulkan perampasan laut apabila terjadi pengambilalihan, pengendalian dan penggunaan ruang laut yang mendesak ruang masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Hingga kini, masyarakat pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan Indonesia. Masyarakat pesisir kerap tergusur atas nama pembangunan dan nelayan tradisional dipaksa berhadapan dengan kapal-kapal besar. Minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan penangkapan terukur menunjukkan keberpihakan pada pemodal dan bukan kepada nelayan dan masyarakat lokal.
Perampasan laut dinilai tidak terlepas dari UU Cipta Kerja yang berorientasi pemilik modal, sarat konflik kepentingan, dan tidak mementingkan perlindungan ekologi. Di samping, prosesnya tidak disahkan tanpa melalui proses partisipasi publik.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 yang membagi laut menjadi Rencana Zona Kawasan Nasional Strategis, Kawasan Nasional Strategis Tertentu, dan Kawasan Pemanfaatan Umum di tingkat nasional dinilai minim partisipasi publik. Di tingkat provinsi UU No 1 tahun 2014 memandatkan Pemerintah Daerah untuk merumuskan Perencanaan Zonasi Wilayah Pulau-Pulau Terkecil (RPZWP3K).
Research Manager DFW Indonesia, Felicia Nugroho, menambahkan, pihak yang dilibatkan dalam kebijakan pengaturan zonasi wilayah justru korporasi. Izin zonasi menjamin kebutuhan pariwisata, industri, dan pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir, tetapi kerap mengusir nelayan dan masyarakat pesisir yang merebut lahan penghidupan mereka. Dicontohkan, konflik lahan masyarakat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, yang merupakan dampak RZWP3K yang memberikan ruang bagi usaha pertambangan.
”Zonasi seharusnya dapat menjamin ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya, yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak,” ujarnya.
Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya, yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak. (Felicia Nugroho)
Janji pemerintah menghubungkan Nusantara melalui tol laut dan menekan disparitas harga juga tidak optimal karena terhambat praktik monopoli dan mafia di rantai suplai komoditas yang panjang dan tidak dapat dijangkau oleh tol laut. Selain itu, masih ada ketimpangan muatan balik dibandingkan muatan berangkat dari kawasan industri di Jawa, pelayaran tol laut yang tertunda dan tidak terjadwal, serta waktu pelayaran dari Timur ke Barat yang kurang efisien dibandingkan layanan transportasi angkutan laut milik swasta.
Baca Juga: Indonesia Perlu Kombinasi Patroli dan Pengawasan Maritim
Pengawasan pantai dan pesisir laut juga masih tumpang tindih. Setidaknya 17 institusi melakukan pengawasan di laut. Dualisme kewenangan antara Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) serta Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyebabkan tidak adanya kejelasan peran sehingga aktivitas perikanan ilegal dan dan kriminalitas laut semakin sulit ditekan.
Felicia menambahkan, ambisi Indonesia untuk meningkatkan hilirisasi industri perikanan juga tercoreng indikasi perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap. Meskipun sudah menerapkan sertifikasi hak asasi manusia, serangkaian pelanggaran HAM di atas kapal perikanan masih terus terjadi.
Berdasarkan data National Fishers Center dari tahun 2019 hingga 2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan. Penelusuran DFW Indonesia di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Benoa, Bitung dan Dobo juga menunjukkan fenomena serupa.
Pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia. Dampaknya, ekspor perikanan Indonesia sulit bersaing dengan negara tetangga produsen, seperti Thailand, yang sudah mulai menunjukkan kepatuhan terhadap HAM. ”Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan masalah HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai,” ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam sejumlah kesempatan, menegaskan KKP mengusung kebijakan ekonomi biru untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Lima program ekonomi biru mencakup perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pembangunan perikanan budidaya ramah lingkungan, pengelolaan dan pengawasan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, serta penanganan sampah plastik di laut.
Menurut Trenggono, lima program ekonomi biru diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dan mendukung upaya pelestarian lingkungan.
”Konsep ekonomi biru merupakan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan bagi laju pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kesehatan ekosistem laut,” papar Menteri Trenggono, dalam keterangan pers, Rabu (27/10/2023).