Sri Mulyani: Industrialisasi bak Menari Tango, Pengusaha Harus ”Perform”
Menkeu Sri Mulyani mengibaratkan proses industrialisasi seperti dansa tango. Pemerintah tidak bisa ”menari” sendiri.
Oleh
AGNES THEODORA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Pengusaha berharap dukungan insentif lebih dari pemerintah untuk membangun kembali industri manufaktur dan mendorong industrialisasi. Pemerintah terbuka menambah kucuran insentif tersebut, asalkan rasional dan sesuai dengan kapasitas fiskal. Namun, pengusaha diminta untuk membuktikan diri lewat kinerja yang lebih baik.
Saat berbicara di sesi diskusi panel di acara Kompas100 CEO Forum di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/11/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pihaknya sering mendapat permintaan dari dunia usaha agar bisa memberi lebih banyak insentif pajak bagi industri selayaknya di sejumlah negara lain.
Fasilitas fiskal dalam bentuk kemudahan dan keringanan pajak untuk mendorong industrialisasi memang dibutuhkan. Namun, menurut Sri Mulyani, permintaan itu tidak serta-merta dikabulkan karena pemerintah perlu menghitung dampaknya terhadap penerimaan negara yang sebagian besar ditopang oleh pemasukan pajak.
Sebab, belanja perpajakan dalam bentuk insentif yang besar berpotensi menggerus penerimaan negara. ”Kita bingung, dari sisi penerimaan minta diturunkan (lewat insentif pajak), tetapi belanja terus meningkat. Pengusaha pasti ingin mencari yang enak dan saya dibenturkan dengan hal-hal begitu. Ini secara konstan harus dihadapi seorang menteri keuangan,” katanya.
Meski demikian, menurut Sri Mulyani, pemerintah tetap terbuka mempertimbangkan tambahan insentif fiskal untuk mendukung pengembangan sektor industri atau industrialisasi. Hal itu harus dilakukan dengan berhati-hati, sembari mempertimbangkan kapasitas fiskal negara.
”Kami coba hitung-hitung lagi, bisa tidak (insentif tambahan) itu diberikan. Kami open minded untuk itu, sangat terbuka, tetapi bukan berarti semua masukan diterima. Kami akan strukturkan lagi mana yang memang bisa didukung dan rasional,” ujarnya.
Ia mengibaratkan proses menuju industrialisasi seperti sedang menarikan dansa tango. Artinya, pemerintah tidak bisa hanya ”menari” sendiri. Jika kebijakan insentif dikucurkan dalam jumlah lebih banyak, pengusaha juga harus membuktikan diri lewat kinerja yang lebih baik.
”It takes two to tango (butuh dua orang untuk menarikan tango). Pemerintah tidak bisa menari sendiri kalau yang di sananya (pengusaha) tidak ikut menari,” katanya.
Kami terus mendengarkan dari industri, apa yang dibutuhkan. Namun, negara yang maju fiskalnya juga harus sehat.
Cukup banyak insentif
Saat ini, pemerintah sudah memberi cukup banyak insentif untuk mendukung sektor industri. Ada kebijakan tax holiday atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk industri pionir dengan fasilitas pengurangan pajak hingga 100 persen dan hingga 20 tahun, bergantung nilai investasinya.
Ada pula tax allowance yaitu pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari total nilai investasi, serta investment allowance yaitu pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari total nilai investasi untuk 45 bidang usaha pada 17 kelompok industri padat karya. Fasilitas pajak itu banyak diberikan untuk hilirisasi tambang dan mineral.
Pemerintah juga memberikan fasilitas supertax deduction di bidang vokasi serta penelitian dan pengembangan (litbang) untuk industri yang terlibat dalam bidang pendidikan vokasi dan aktif berinovasi melalui kegiatan litbang.
Catatan Kementerian Keuangan, nilai belanja perpajakan terus naik dari tahun ke tahun. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah memproyeksikan nilai belanja perpajakan akan naik hingga Rp 374,5 triliun, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, pada 2023, nilai belanja perpajakan tercatat Rp 352,8 triliun, pada 2022 sebesar Rp 323,5 triliun, pada 2021 Rp 310 triliun, dan pada 2020 Rp 246,5 triliun.
Terakhir, pemerintah juga baru saja memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) properti yang 100 persen ditanggung pemerintah untuk pembelian properti dengan harga di bawah Rp 2 miliar. ”Kami terus mendengarkan dari industri, apa yang dibutuhkan. Namun, negara yang maju fiskalnya juga harus sehat. Kalau fiskal sakit, itu sumber masalah baru lagi,” kata Sri Mulyani.
Dukungan bagi pengusaha tidak melulu dalam bentuk insentif pajak. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, untuk mendorong proses industrialisasi, pemerintah membangun konektivitas lewat infrastruktur transportasi untuk menekan beban biaya logistik dan produksi industri.
Namun, ia mengakui, pembiayaan untuk membangun konektivitas itu tidak mudah. Kapasitas APBN sangat terbatas sehingga instrumen pembiayaan yang kreatif dari swasta dibutuhkan. Setengah bergurau, ia pun berharap lebih banyak pengusaha yang masuk ke sektor transportasi.
”Kami tawarkan kepada bapak ibu sekalian, masuklah ke dunia transportasi agar dengan kocek kami yang relatif sedikit konektivitas bisa kita lakukan. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan dalam beberapa waktu ke depan ini akan ada banyak proyek besar,” kata Budi.
Kami perlu ’arahan’ dari pemerintah untuk membangun ekosistem investasi yang lebih kondusif yang bisa membuat kami lebih produktif.
Butuh dukungan
Di sisi lain, pengusaha berpendapat, dukungan fiskal dibutuhkan untuk membangun ekosistem investasi yang lebih kondusif untuk mengembangkan industri di sektor manufaktur dan nonmanufaktur.
Menurut Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo, untuk menjadi negara maju, setiap sektor usaha harus mampu meningkatkan produktivitas. Namun, hal itu tidak bisa berjalan tanpa ekosistem yang kondusif untuk berinvestasi.
Pelaku usaha, baik badan usaha milik negara (BUMN) maupun swasta, butuh dukungan pemerintah untuk mendorong ekosistem investasi yang lebih sehat bagi iklim usaha. Darmawan mencontohkan, di sektor pembangkit tenaga listrik, biaya untuk melakukan dekarbonisasi dan beralih ke pembangkit listrik yang hijau sangat besar.
”Kami perlu arahan dari pemerintah untuk membangun ekosistem investasi yang lebih kondusif yang bisa membuat kami lebih produktif. Supaya di saat yang sama kami bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan menekan kemiskinan, sambil menjaga lingkungan,” kata Darmawan.
Aspirasi serupa disampaikan Presiden Direktur Lion Group Daniel Putut Kuncoro Adi. Menurut dia, saat ini perusahaan maskapai dihadapkan pada banyaknya permintaan yang meminta harga tiket pesawat diturunkan.
Namun, hal itu bertentangan dengan beban biaya produksi yang ditanggung perusahaan, mulai dari biaya bahan bakar, pembayaran bea masuk, pajak, serta pelemahan nilai tukar rupiah yang ujung-ujungnya membuat ongkos produksi naik.
”Kami diminta berkolaborasi dengan seluruh kementerian dan lembaga (terkait biaya-biaya tersebut). Kami harus mulai bersaing dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, agar suatu hari kita bisa punya penerbangan langsung dari Jakarta ke kota-kota besar dunia,” tuturnya.