Hilirisasi Geser ke Non-tambang, Investasi Kecil-Menengah Butuh Perhatian Lebih
Hilirisasi tambang bisa tumbuh pesat karena pemerintah mengguyur insentif fiskal untuk menarik investor. Dukungan kebijakan yang sama juga perlu diberikan untuk hilirisasi perkebunan, pertanian, dan perikanan.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
Rumput laut yang dijemur hasil panen raya yang dilakukan bersamaan dengan Festival Budaya Ohoi Letvuan di Desa Letvuan, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, Sabtu (16/9/2023). Festival desa diselenggarakan bertepatan dengan musim panen rumput laut. Warga desa mengadakan pesta kecil dengan beragam kegiatan budaya, kuliner dari hasil laut, dan mengenalkan potensi wisatanya.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menggenjot hilirisasi di sektor mineral dan tambang selama nyaris empat tahun terakhir, pemerintah menggeser fokus strategi hilirisasi berikutnya ke komoditas non-tambang, seperti perikanan dan perkebunan. Agar hilirisasi non-tambang berkembang sama pesatnya, dukungan kebijakan dan insentifnya juga perlu optimal.
Setelah hampir empat tahun berjalan, hilirisasi menjadi ”primadona” dalam struktur realisasi investasi tahun ini. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, dari total realisasi investasi Rp 1.053,1 triliun sepanjang Januari-September 2023, sebanyak 25,3 persennya berasal dari investasi hilirisasi.
Pada periode tersebut, total nilai investasi hilirisasi menembus Rp 266 triliun. Porsi terbesar adalah untuk membangun smelter tambang mineral dengan nilai total Rp 151,7 triliun. Mayoritas lari ke smelter nikel (Rp 97 triliun) dan tembaga (Rp 47,6 triliun).
Sementara itu, hilirisasi di sektor non-tambang belum mampu menarik investasi yang tinggi. Di sektor pertanian, realisasi investasi tercatat Rp 39,5 triliun dan baru sebatas diarahkan pada pengembangan minyak sawit mentah (CPO) menjadi oleokimia. Sementara, di sektor kehutanan, investasi yang dieksekusi sepanjang tahun ini Rp 34,8 triliun untuk mengolah pulp dan kertas.
Deputi Bidang Hilirisasi Strategis Kementerian Investasi Heldy Satrya Putera mengatakan, mengingat hilirisasi tambang sudah berkembang cukup pesat, pemerintah saat ini memilih fokus merumuskan strategi untuk menarik investasi di luar mineral.
”Terutama perikanan, karena potensi sumber daya alam kita sebenarnya sangat besar, seperti ikan dan rumput laut, tetapi ini masih kalah besar minat investasinya dibandingkan tambang mineral atau CPO di sektor perkebunan,” katanya, Sabtu (28/10/2023).
Menurut dia, sebenarnya sudah banyak investor yang menunjukkan ketertarikannya untuk hilirisasi perikanan. Namun, dibandingkan komoditas tambang yang merupakan barang mati, tantangan untuk mengembangkan industri pengolahan barang hidup, seperti perikanan, lebih sulit.
Peta jalan hilirisasi non-tambang telah dimasukkan dalam draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang kini sedang disusun.
“Sudah banyak yang mau (berinvestasi), tetapi ini tricky karena penanganannya, kan, berbeda. Ikan ini barang hidup, beda dengan nikel. Jadi ada masalah teknologi untuk menjaga ketahanannya, apa yang bisa dilakukan untuk menjaga ikan tetap segar dan olahannya bernilai tambah tinggi,” ujar Heldy.
Beberapa produk perikanan yang akan dihilirisasikan adalah minyak ikan, serta rumput laut nori sebagai konsumsi dan rumput laut sebagai bahan baku gel kapsul obat. Kedua produk itu sejauh ini lebih banyak dipasok melalui impor.
”Dengan hilirisasi perikanan ini, kita mau fokus menurunkan impor juga, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan memasok hasil olahan bernilai tambah tinggi ke pasar global. Apalagi dengan kondisi geopolitik sekarang, perdagangan dunia semakin kompleks, sebisa mungkin kita harus mandiri,” kata Heldy.
Masuk RPJMN
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti, peta jalan hilirisasi non-tambang telah dimasukkan dalam draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang kini sedang disusun.
Hilirisasi non-tambang itu akan dilakukan berbarengan dengan upaya industrialisasi untuk produk hilirisasi tambang. ”Jadi untuk lima tahun pertama ke depan ini, kita fokus ke dua hal. Pertama, penuntasan produk hilir untuk hasil hilirisasi tambang. Kedua, mengembangkan hilirisasi non-tambang, utamanya sawit, rumput laut, kakao, kelapa,” katanya.
Hilirisasi di luar tambang diharapkan juga bisa menciptakan hilirisasi yang lebih inklusif. Selama ini, hilirisasi mineral diakui lebih sulit menyerap tenaga kerja karena bersifat padat modal dan padat teknologi. Tidak banyak pula warga lokal yang bisa dipekerjakan karena tuntutan keterampilan yang diminta industri terhitung tinggi.
Lain halnya dengan hilirisasi di sektor perkebunan dan perikanan yang tetap bisa bersifat padat karya karena teknologi yang dilibatkan tidak terlalu kompleks. ”Lewat hilirisasi non-tambang juga kita bisa lebih merangkul usaha kecil menengah (UKM) lokal untuk menjadi bagian dari rantai produksi investor besar, seharusnya multiplier effect-nya lebih terasa,” katanya.
Selama ini yang dinomorsatukan hanya investasi besar, seolah industrialisasi hanya milik pemilik modal besar.
Investasi menengah
Ekonom senior dan pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, menilai, agar hilirisasi non-tambang bisa berkembang sama pesatnya dengan hilirisasi tambang, dukungan kebijakan dan insentif yang mengiringi juga harus setimpal.
Menurut dia, hilirisasi nikel bisa tumbuh karena pemerintah ”mengobral” kebijakan insentif fiskal untuk menarik investor. ”Jangan hanya cuma jargon. Berikan juga dukungan insentif fiskal yang luar biasa seperti yang sudah diberikan untuk hilirisasi tambang. Kalau dukungan itu dipindahkan ke non-tambang, pasti berkembang,” ujar Hendri.
Hilirisasi non-tambang juga bisa menggerakkan investasi kecil dan menengah, berbeda dengan hilirisasi tambang yang nilainya selalu jumbo. Misalnya, hilirisasi berbasis kopra atau kelapa. Selama ini, Indonesia termasuk eksportir kopra terbesar di dunia.
”Hampir 90 persen daerah di Indonesia itu punya kelapa, dan itu digerakkan warga lokal. Belum lagi kita bicara yang lain, seperti singkong, rumput laut. Selama ini yang dinomorsatukan hanya investasi besar, seolah industrialisasi hanya milik pemilik modal besar. Lupa bahwa ada peran investasi menengah yang bisa berkembang kalau saja diberikan kemudahan,” tuturnya.