Insentif, Kemauan Politik, dan Upaya Beranjak dari Batubara
Diversifikasi energi (beralih dari batubara) dinilai tidak mungkin seketika dilakukan jika tidak ada insentif-insentif yang diberikan karena batubara jumlahnya sangat banyak. Sejumlah daerah pun masih bergantung.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Tak bisa dimungkiri jika batubara masih menjadi sumber energi utama untuk sektor ketenagalistrikan di Indonesia meski tuntutan transisi energi menguat. Insentif untuk energi terbarukan amat diperlukan jika ingin menggeser batubara, yang juga telah sumber perputaran ekonomi di sejumlah daerah. Koordinasi pemerintah pusat-daerah juga mesti diperkuat.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2022, porsi batubara dalam bauran kelistrikan nasional yakni 67,21 persen. Angka tersebut naik dari 2021 yang sebesar 66,01 persen. Sementara itu, porsi energi baru dan terbarukan pada 2022 sebesar 14,11 persen atau naik dari 2021 yang 13,65 persen.
Bukan hanya soal pembangkit listrik tenaga uap, batubara juga menopang perekonomian daerah-daerah penghasil komoditas itu. Hasil penelitian Institute for Essential Services Reform (IESR), beberapa waktu lalu, menunjukkan dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royati pertambangan batubara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah daerah.
Di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, misalnya, DBH berkontribusi hingga 20 persen dari pendapatan daerah. Sementara di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, batubara berperan sekitar 27 persen. Penurunan DBH pun bakal berdampak besar pada operasional mengingat belanja pemerintah daerah sebagian besar untuk operasional.
Analis sosial dan ekonomi IESR, Martha Mendrofa, mengatakan, saat ini, manfaat signifikan batubara masih dirasakan baik daerah/kabupaten, provinsi, maupun nasional. Namun, ke depan, telah diperkirakan ada penurunan permintaan (demand) dari negara-negara importir, yang menguatkan komitmen pada energi terbarukan dan isu perubahan iklim.
”Hal itu akan berdampak pada daerah-daerah penghasil batubara, sedangkan transisi energi memiliki persoalan kompleks. Oleh karena itu, beralih dari batubara memerlukan perencanaan yang inklusif. Juga diperlukan kapasitas unggul, termasuk dari pemerintah, yang mesti bertindak sebagai pelaku awal dan katalis,” katanya dalam diskusi terkait transisi batubara yang digelar IESR secara daring, Kamis (26/10/2023).
Martha menilai, inisiasi sebenarnya sudah tampak dari pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan porsi energi terbarukan. Namun, masih ada sejumlah keterbatasan antara lain terkait dengan kemampuan teknis serta keterampilan dalam implementasi yang detail.
Menurut dia, anggapan batubara sebagai sumber energi yang utama dan sangat banyak masih terjadi di berbagai pemerintahan. Oleh karena itu, kesadaran untuk beralih perlu ditingkatkan. ”Proses birokrasi menjadi hambatan di pemerintahan yang multilevel ini. Perlu penguatan koordinasi pusat dan pemda,” ujar Martha.
Pendiri Article 33 Indonesia, Chitra Retna, sebagai perwakilan organisasi masyarakat sipil (CSO), mengatakan, keterbatasan teknokratis serta pasar (market) menjadi tantangan besar dalam upaya beralih dari batubara ke energi yang lebih rendah emisi. Itu terutama bagi sejumlah pemerintah daerah yang telah bergantung pada batubara.
”Diversifikasi energi (beralih dari batubara) tidak mungkin seketika dilakukan jika tidak ada insentif-insentif tertentu karena batubara ini jumlahnya banyak. Yang menjadi kunci ialah kemauan politik (political will). Bagaimana caranya mengubah kemauan politik pemerintah daerah,” ujarnya.
Brilliant Faisal dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumsel menuturkan, dalam akselerasi energi terbarukan, banyak peraturan di daerah yang perlu direvisi. Pihaknya menunggu revisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Bauran energi terbarukan di Sumsel pada 2022 mencapai 21 persen, yang utamanya ditopang panas bumi.
Adapun pemerintah pusat, melalui Dewan Energi Nasional (DEN), tengah merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang masih berproses untuk disahkan. Dalam revisi KEN tersebut, menurut rencana, peran energi fosil, yakni minyak dan batubara akan dipangkas. Nantinya, KEN baru juga akan diturunkan menjadi RUEN (Kompas, 19/10/2023).
Perwakilan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kemeterian ESDM, Wezy Ferlianta, menuturkan, pemerintah sudah membuat peta jalan yang akan mengatur pemanfaatan batubara dalam negeri, yang bakal tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM. Batubara diarahkan untuk terus dicari alternatif produk hilirnya, seperti gasifikasi dan likuefaksi.
Di samping itu, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) juga akan menjadi bagian dari rencana pemanfaatan batubara ke depan. Artinya, CCS akan semakin diarahkkan untuk menekan emisi yang dihasilkan dari batubara.
Batubara diarahkan untuk terus dicari alternatif produk hilirnya, seperti gasifikasi dan likuefaksi.
Di sisi lain, kata Wezy, perencanaan antarinstansi pemerintahan, termasuk pusat-daerah, terkait dengan pengembangan batubara juga terus dilakukan. ”Koordinasi saat ini bukan sekadar simbol saja, melainkan ada tindak lanjut,” katanya.
Pascatambang
Perusahaan tambang batubara yang memiliki lima lokasi pertambangan di Kalimantan Selatan, PT Arutmin Indonesia, telah merencanakan pascatambang, melalui program pemberdayaan masyarakat (PPM). Hal itu diawali dengan pemetaan sosial (social mapping) mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan kapasitas mereka. Selain PPM dan tanggung jawab sosial perusahaan, juga rencana pascatambang (RPT).
Dalam dokumen RPT yang disetujui pemerintah itu, telah ditentukan hal-hal apa saja yang bisa dilakukaan jika perusahaan tidak lagi beroperasi karena izin selesai. ”Ada banyak program, tetapi yang pasti kami membuka pasar untuk produk yang mereka hasilkan. Apalagi, sekarang semua serba digital. Serba e-commerce (lokapasar),” kata Safety Health Environment and Community Arutmin Site Asam Asam, RS Subiyakto, Selasa (24/10/2023).
Sejalan dengan itu, kualitas produk yang diproduksi masyarakat diharapkan terus meningkat. Bahkan, masyarakat seharusnya sudah memiliki berbagai sumber pendapatan baru yang menopang perekonomian. Artinya, masyarakat pun tidak terus bergantung pada pertambangan batubara, yang satu saat akan selesai, baik karena selesainya izinnya maupun seiring tuntutan transisi energi.
”Intinya, kami tetap mengawal sesuai perencanaan dan program yang ada. Program-program itu tidak dibuat asal. Selain pemetaan sosial, juga ada PPM logical framework analysis, artinya jelas tujuan serta output dan outcome yang didapat. Lalu, apakah program itu logis? Kemudian exit strategy-nya seperti apa? Hal-hal tersebut sudah kami rintis,” ujar Subiyakto.
Salah satu contoh pemberdayaan yang telah dilakukan Arutmin yakni pada tambang terbuka (open pit) Ata Selatan di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu. Lubang tersebut kini telah menjadi danau pascatambang seluas sekitar 71 hektar. Sejumlah warga sekitar dibina menjadi pembudidaya kerambang jaring apung ikan nila. Saat ini, pengelolaan keramba itu sepenuhnya dilakukan satu kelompok tani yang beranggotakan 14 orang.
Di tambang terbuka Ata Selatan, reklamasi dilakukan pada lahan seluas 295 hektar atau setara dengan 250.000 pohon. Di samping itu, ada arboretum seluas 3,5 hektar yang memiliki 44 jenis koleksi tanaman lokal, termasuk beberapa jenis tanaman langka serta berbagai jenis tanaman anggrek spesies Meratus.