Pemerintah Terbuka jika Tiktok Berminat Beroperasi sebagai Lokapasar
Pemerintah terbuka jika Tiktok berminat membuka platform dagang di Indonesia. Sebab, Indonesia dinilai memiliki pasar dan daya beli yang besar.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah atau Kemenkop UKM mendukung Tiktok apabila ingin membuka platform dagang di Indonesia. Namun, platform itu tetap harus merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 serta pengembangan bisnis berkelanjutan.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyambut positif pertemuan CEO Tiktok dengan Presiden Joko Widodo. Presiden kemudian menugaskan Teten untuk menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut.
”Indonesia itu menjadi salah satu negara yang paling menarik bagi e-commerce global untuk berjualan karena market kita besar, daya belinya juga besar,” ujar Teten di Kemenkop UKM, Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik, tidak boleh ada penggabungan platform antara media sosial dan dagang elektronik.
”Ya, okelah mau buka lagi. Income-nya juga gede, Rp 8,4 triliun per bulan,” kata Teten.
Tiktok juga wajib memiliki kantor di Indonesia yang berbadan hukum, bukan kantor perwakilan. Seperti saran Presiden Jokowi, model bisnis yang dikembangkan bersifat berkelanjutan. Namun, konsep itu masih akan terus dikaji dalam kebijakan platform dan perdagangan secara elektronik.
Menanggapi hal ini, Direktur EkonomiDigital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpendapat, Tiktok berpotensi menjadi salah satu pilihan utama pedagang atau produsen menjual produknya. Apalagi, jika Tiktok bisa mengembangkan sistem pembayarannya, maka ekosistem akan makin kompetitif pula.
Pekerjaan rumah pemerintah adalah membatasi produk impor yang membanjiri pasar daring di berbagai lokapasar. Pemerintah perlu melakukan langkah konkret untuk melindungi produk dalam negeri.
”Paling utama adalah tagging barang. Barangnya made in mana, desainnya dari mana. Itu menjadi pintu untuk membuat kebijakan pengendalian impor yang prudent,” ujar Nailul.
Sebelumnya, Regional Account Director Worldpanel Division di Kantar Asia Helmy Herman mengatakan, terjadi normalisasi pertumbuhan belanja daring pada tahun ini. Artinya, kecepatan pertumbuhan belanja tak secepat sebelum dan selama masa pandemi Covid-19.
”Saat ini, pertumbuhan orang belanja daring 17 persen (berdasarkan riset Kantar). Tahun-tahun sebelumnya bisa sampai 60 persen per tahun. Nilai penjualan daring mulai melandai, bukan turun,” kata Helmy.
Fenomena itu dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satunya, mobilitas masyarakat di luar rumah makin tinggi setelah pembatasan sosial dicabut.
Saluran belanja daring tetap dilakukan masyarakat untuk melengkapi belanja luringnya. Kantar melakukan survei belanja terhadap 11.000 rumah tangga pada tahun ini. Salah satu hasilnya, 70 persen responden berbelanja barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods/FMCG) secara luring. Sisanya, belanja dilakukan daring dan luring (Kompas.id, 24/10/2023).