Tingginya tingkat suku bunga pinjaman perbankan akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia turut mengurangi selera industri pengolahan atau manufaktur untuk menggenjot pembiayaan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) terhadap pelemahan daya beli membuat pelaku industri pengolahan waswas. Pengusaha perlu mengalkulasi ulang biaya produksi di tengah tingginya beban bunga pinjaman serta kenaikan harga bahan baku.
Pada akhir pekan lalu, BI menaikkan bunga acuan 25 basis poin ke 6 persen dalam upaya stabilisasi nilai tukar rupiah yang melemah di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
Kenaikan suku bunga BI sendiri identik punya efek domino terhadap kenaikan bunga kredit perbankan. Di samping itu, konsumsi masyarakat cenderung akan mengalami penurunan karena peningkatan harga barang dan jasa akibat kenaikan biaya produksi.
Hal tersebut diamini oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja. Menurut dia, pergerakan tingkat suku bunga perbankan yang bergantung pada tingkat suku bunga acuan bank sentral menjadi faktor penentu ekspansi industri manufaktur.
Pelemahan kredit industri tecermin pada SBT pembiayaan korporasi yang terus mengalami penurunan sejak Maret 2023.
”Adanya tren suku bunga tinggi yang sekarang sedang diterapkan di berbagai negara untuk menekan inflasi turut menekan daya beli dan meningkatkan suku bunga pinjaman ke perbankan,” ujarnya, saat dihubungi, Minggu (22/10/2023).
Tingginya tingkat suku bunga pinjaman perbankan turut mengurangi selera industri pengolahan, termaksud di sektor tekstil dan produk tekstil, untuk menggenjot pembiayaan.
Pelemahan kredit industri tecermin pada saldo bersih tertimbang (SBT) atau kebutuhan pembiayaan korporasi yang terus mengalami penurunan sejak Maret 2023 sebesar 24 persen menjadi 14,7 persen pada Agustus 2023. Meski kembali meningkat menjadi 16,1 persen pada September 2023, level tersebut masih berada di bawah level tertinggi tahun ini.
Perlambatan terjadi karena dampak penurunan kegiatan operasional seiring dengan melemahnya permintaan domestik dan ekspor. Dalam hal ini, SBT sektor pengolahan tercatat turun pada September 2023 sebesar 4,6 persen, lebih rendah dibandingkan Agustus 2023 sebesar 6,2 persen.
Kendati demikian, Jemmy menilai, langkah BI menaikkan suku bunga acuan ke level 6 persen setelah cukup lama menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75 persen adalah langkah wajar.
Jemmy mengingatkan, di luar isu suku bunga, industri manufaktur juga menghadapi isu tingginya biaya logistik. Hal ini terlihat dari produk tekstil impor yang lebih murah dibandingkan produk lokal.
Murahnya harga produk tekstil impor menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia masih jauh lebih tinggi daripada biaya logistik negara asal produk impor.
”Ini membuat produk tekstil di pasar ekspor maupun di dalam negeri jadi tertekan. Kebijakan perlindungan pasar dari pemerintah menjadi sangat dibutuhkan,” ujarnya
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI akan sangat berdampak pada pelaku industri alas kaki yang menyasar pasar lokal.
Di tengah lesunya pasar domestik, pelaku industri produk alas kaki juga dihantam kenaikan harga bahan baku, baik yang berasal dari pasar lokal maupun impor. Kondisi yang berdampak pada faktor produksi dan konsumsi dipastikan akan menghambat ekspansi industri alas kaki.
”Kondisi pasar lokal yang sedang lesu, daya beli menurun, dan bunga kredit yang mahal rasanya akan menjadi tambahan beban bagi pelaku usaha lokal,” ujarnya.
Dampak terbesar akan dirasakan oleh pelaku usaha kecil dan menengah atau industri kecil menengah yang umumnya dikenai suku bunga pinjaman lebih tinggi karena profil risikonya serta rentan. Di sisi lain, pelemahan daya beli masyarakat akan menyulitkan produsen alas kaki lokal untuk menaikkan harga produk di pasaran.
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar mengatakan, keputusan bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan seharusnya telah berdasarkan penilaian menyeluruh terhadap stabilitas inflasi di Tanah Air.
Di dalam negeri, kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada suku bunga dana pihak ketiga, suku bunga kredit, dan likuiditas perbankan. Likuiditas yang semakin ketat bisa memicu perlambatan pertumbuhan kredit.
”Inflasi di Indonesia mudah-mudahan masih terkontrol. Tetapi, harapannya tidak usah ada lagi isu kenaikan harga gas industri atau kenaikan tarif listrik. Biaya produksi perlu dijaga tetap stabil agar produk kita menjadi kompetitif,” ujarnya.
Di samping itu, Bobby menuturkan, industri manufaktur masih dapat tumbuh positif seiring dengan penguatan level Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia di angka 52,3 pada September 2023. Meskipun menurun dari bulan sebelumnya 53,9, PMI Indonesia masih berada di zona ekspansi, ditopang oleh permintaan baru dan permintaan ekspor yang mengalami peningkatan.
”Meskipun fundamental ekonomi Indonesia tetap baik, inflasi di bawah ekspektasi BI, kita harus tetap mewaspadai dampak ketidakpastian global dengan memperkuat ketahanan produsen dalam negeri,” ujarnya.