Meski fundamental ekonomi Indonesia tetap baik—pertumbuhan relatif tinggi, inflasi di bawah ekspektasi BI, dan neraca transaksi berjalan surplus—kita harus tetap mewaspadai dampak ketidakpastian global.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Bank Indonesia menaikkan bunga acuan 25 basis poin ke 6 persen dalam upaya stabilisasi nilai tukar rupiah yang melemah di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
BI menyebut, kenaikan BI-7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) ini juga sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi inflasi barang impor agar inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2-4 persen pada 2023 dan 1,5-2,5 persen pada 2024 (Kompas, 20/10/2023).
Ketidakpastian global yang disebut BI adalah perkiraan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,9 persen (2023) menjadi 2,8 persen (2024), dan eskalasi tensi ketegangan geopolitik yang menyebabkan harga pangan dan energi bergejolak dan inflasi global tetap bertahan tinggi.
Ini kenaikan pertama bunga acuan BI dalam 10 bulan terakhir. BI terakhir menaikkan bunga acuan pada Januari 2023, juga sebesar 25 basis poin (bps). Sebelumnya, selama kurun Agustus 2022-Januari 2023, BI enam kali menaikkan bunga acuan dengan total kenaikan 225 bps.
Opsi kenaikan bunga acuan harus dilakukan—kendati BI pernah menyatakan tak akan menempuh langkah menaikkan bunga untuk stabilisasi rupiah dan lebih memilih intervensi— karena pelemahan rupiah sudah sangat mencemaskan. Rupiah sudah terdepresiasi 3,7 persen dalam tahun ini dan 2,05 persen selama Oktober 2023, menembus level Rp 15.800 per dollar AS.
Kenaikan bunga acuan BI ini terutama untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS, The Fed, 2 November mendatang. Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) ini hampir pasti terjadi, terutama dengan inflasi AS yang masih jauh dari target 2 persen, yakni 3,7 persen pada September 2023 (yoy).
Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) September lalu, The Fed sudah mengisyaratkan kemungkinan menaikkan FFR 0,5 bps lagi hingga akhir tahun.
Antisipasi naiknya suku bunga The Fed—yang membuat aset dalam denominasi dollar AS lebih menarik—itu telah memicu eksodus modal global dari negara-negara berkembang kembali ke AS dan menyebabkan mata uang negara-negara berkembang tertekan, termasuk rupiah.
Pelemahan rupiah membuat biaya komponen impor meningkat. Banyak industri kita yang masih bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. Selain itu, pembiayaan utang luar negeri dalam dollar AS juga semakin mahal.
Di dalam negeri, kenaikan bunga acuan BI akan berdampak pada suku bunga dana pihak ketiga, suku bunga kredit, dan likuiditas perbankan. Likuiditas yang semakin ketat bisa memicu pelambatan pertumbuhan kredit. Namun, BI tampaknya sudah mengantisipasi dengan memberi pelonggaran likuiditas pada perbankan guna menjaga pertumbuhan ekonomi.
Meskipun fundamental ekonomi Indonesia tetap baik—pertumbuhan relatif tinggi, inflasi di bawah ekspektasi BI, dan neraca transaksi berjalan surplus—kita harus tetap mewaspadai dampak ketidakpastian global dengan memperkuat daya tahan perekonomian domestik.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO