Merespons Ketidakpastian Global, BI Naikkan Suku Bunga Acuan
BI kembali menaikkan suku bunga acuan. Kondisi global tak menentu dan meningkatnya tensi geopolitik jadi pertimbangan.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai langkah penyesuaian atas ketidakpastian global, Bank Indonesia menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen. Keputusan ini merupakan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah dan mitigasi inflasi barang impor di tengah sentimen ketidakpastian global yang semakin meningkat.
Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Oktober 2023, di Jakarta, Kamis (19/10/2023), BI turut menaikkan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility sebesar 25 basis poin (bps) sehingga masing-masing menjadi 5,25 persen dan 6,75 persen. Dengan demikian, kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) terjadi setelah BI mempertahankannya selama 10 bulan berturut-turut.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, situasi perekonomian global saat ini bergerak begitu cepat dan penuh dengan ketidakpastian. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyesuaian kebijakan moneter untuk melindungi perekonomian domestik dari ketidakpastian global yang terus meningkat.
”Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive (penangkalan) dan forward looking (prediksi di masa depan) untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2-4 persen pada 2023 dan 1,5-2,5 persen pada 2024,” katanya.
Setidaknya terdapat beberapa aspek perkembangan dinamika perekonomian global yang mendasari keputusan BI, yakni pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan melambat dari 2,9 persen pada tahun 2023 menjadi 2,8 persen pada 2024. Kemudian, eskalasi tensi ketegangan geopolitik ditengarai akan menyebabkan harga energi dan pangan bergejolak sehingga turut memperlambat penurunan inflasi global.
Perlambatan penurunan inflasi tersebut mendorong negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), mempertahankan suku bunga acuannya tetap tinggi dalam jangka waktu lebih panjang (higher for longer). Tingginya tingkat suku bunga global ini akan disertai dengan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah tenor jangka panjang, khususnya AS (US Treasury), guna memenuhi kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia).
Alhasil, aliran modal dari negara emerging market (negara berkembang), seperti Indonesia, berbalik ke negara-negara maju dan turut memperkuat dollar AS. Hal itu tecermin dari keluarnya aliran modal asing (net outflows) dalam bentuk investasi portofolio pada triwulan III-2023 sebesar 2,1 miliar dollar AS dan berlanjut pada kuartal IV-2023 yang hingga 17 Oktober 2023, arus modal asing keluar sebesar 0,4 miliar dollar AS.
Keputusan dari BI untuk meningkatkan suku bunga acuannya hari ini sudah tepat dan taktis. (Ryan Kiryanto)
Di sisi lain, menguatnya dollar AS semakin membuat nilai tukar rupiah semakin melemah. Mengutip data Jisdor, rupiah melemah hingga berada di level Rp 15.838 pada penutupan pasar 19 Oktober 2023 atau terdepresiasi 2,05 persen sepanjang Oktober 2023 dan 3,7 persen secara kalender berjalan.
Oleh sebab itu, BI memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perry menyebut, ada tiga upaya yang akan dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik, yakni intervensi pasar valuta asing (valas), pendalaman pasar sekunder lewat berbagai instrumen, serta penataan melalui suku bunga acuan.
”Intervensi saja belum cukup sehingga perlu dilakukan pendalaman pasar, yaitu dengan instrumen Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUKBI). Keduanya adalah instrumen pendalaman pasar valas yang pro market dan boleh diperdagangkan dengan nonresiden. Nantinya, suku bunganya juga akan ikut mekanisme pasar sehingga menarik pasar dan diharapkan dapat mendorong aliran modal asing masuk (inflow) kembali,” tutur Perry.
Pendalaman pasar valas melalui sekuritisasi BI tersebut akan mengoptimalkan aset valas berupa cadangan devisa yang dimiliki oleh BI sebagai underlying. Adapun posisi cadangan devisa Indonesia akhir September 2023 tercatat sebesar 134,9 miliar dollar AS, setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional, yakni sekitar 3 bulan impor.
Baca juga: Depresiasi Rupiah Mulai Senggol Manufaktur
Inflasi
Kendati inflasi di dalam negeri masih terkendali dan masih berada dalam target, BI mencermati adanya sejumlah risiko yang dapat menimbulkan tekanan terhadap inflasi. Hal ini mengingat potensi dampak kenaikan harga energi dan pangan global serta tekanan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi barang impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) September 2023 tercatat 2,28 persen atau lebih rendah dari inflasi IHK bulan sebelumnya sebesar 3,27 persen secara tahunan. Penurunan inflasi ini didukung oleh inflasi inti yang turun menjadi 2 persen secara tahunan dan inflasi kelompok harga yang diatur oleh pemerintah (administered prices) yang juga lebih rendah menjadi 1,99 persen secara tahunan.
Di sisi lain, BPS juga melaporkan nilai impor Indonesia pada September 2023 mencapai 17,34 miliar dollar AS atau turun 8,15 persen secara bulanan dan turun 12,45 persen secara tahunan. Kendati demikian, impor migas pada September 2023 tercatat naik 25,04 persen secara bulanan menjadi 3,33 miliar dollar AS.
Menurut golongan penggunaan barang, nilai impor periode Januari-September 2023 juga meningkat 9,11 persen secara tahunan atau sebesar 2,4 miliar dollar AS. Kenaikan lainnya juga terjadi pada barang konsumsi, yakni sebesar 7,34 persen atau sebesar 1,07 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, impor Indonesia dilihat dari peranannya didominasi oleh golongan bahan baku/penolong yang turun 13,32 persen, disusul dengan barang modal dan barang konsumsi.
Secara terpisah, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto berpendapat, keputusan dari BI untuk meningkatkan suku bunga acuannya hari ini sudah tepat dan taktis. Ini mengingat the Fed hampir dipastikan akan menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) sebesar 25 persen menjadi 5,50 persen-5,75 persen guna mempercepat capaian target inflasi AS sebesar 2 persen.
Baca juga: Trade Expo Indonesia Jadi Upaya Redam Penurunan Kinerja Ekspor
”Jika BI Rate tidak naik, posisinya setara dengan ekspektasi FFR sebesar 5,50-5,75 persen yang mungkin akan terjadi pada November atau Desember nanti. Tekanan eksternal yang masif dari eskalasi perang di Ukraina, ditambah perang Hamas-Israel, menyebabkan kepanikan pasar global yang mendorong pemilik modal membeli dollar AS secara masif,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Selain itu, surplus neraca perdagangan juga tidak menentu (berfluktuasi) turut mengakibatkan posisi rupiah semakin tertekan. Ryan menambahkan, posisi cadangan devisa juga terpantau menurun untuk memenuhi kebutuhan impor dan kewajiban utang luar negeri pemerintah. Ditambah lagi, tekanan dari sisi nonekonomi, berupa suhu politik yang mulai menghangat menjelang pesta demokrasi turut mengganggu kenyamanan pelaku pasar terhadap prospek rupiah ke depannya.
Perbankan
Kebijakan BI meningkatkan suku bunga acuan menuai respons dari industri perbankan. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiatmadja menyatakan, keputusan BI untuk menjaga nilai tukar rupiah dengan menaikkan tingkat suku bunga sudah tepat.
”Apabila BI terus melakukan kebijakan intervensi, cadangan devisa kita akan berkurang,” katanya dalam konferensi pers Laporan Keuangan Kuartal III-2023 secara virtual.
Atas kenaikan BI Rate tersebut, BCA belum berencana menyesuaikan suku bunga dasar kredit (SBDK) karena memiliki jumlah current account saving account (CASA) atau dana murah yang cukup memadai. Lebih lanjut, BCA akan menyesuaikan tingkat suku bunganya setelah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menentukan limit jaminan.
Pada September 2023, CASA BCA tercatat mencapai Rp 869,8 triliun, tumbuh 4,7 persen dengan kontribusi hingga 80 persen dari total dana pihak ketiga (DPK). Secara keseluruhan, total DPK BCA mencapai Rp 1.089 triliun atau tumbuh 6,2 persen sehingga total aset BCA naik 7,2 persen menjadi Rp 1.381 triliun.
Baca juga: Perbankan Berkomitmen Terlibat dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Hingga September 2023, BCA dan anak perusahaan mencatatkan laba bersih senilai Rp 36,4 triliun atau tumbuh 25,8 persen secara tahunan. Pertumbuhan laba bersih tersebut salah satunya ditopang oleh penyaluran kredit yang juga tercatat naik 12,3 persen secara tahunan menjadi Rp 766,1 triliun.