Menanti Kepastian Pajak Karbon di Tengah Tren Transisi Energi
Impelementasi pajak karbon yang punya peran korektif dalam pengurangan emisi melengkapi upaya sektor industri yang saat ini berada dalam tahap transisi penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha berharap rencana pemerintah dalam menerapkan pajak karbon dilakukan secara matang. Kematangan aturan pajak karbon, yang berperan meredam aktivitas ekonomi penghasil emisi, akan melengkapi upaya sektor industri yang saat ini berada dalam tahap transisi penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar mengatakan, pada dasarnya sebagian besar pelaku industri, terutama di sektor energi dan manufaktur, telah menyiapkan diri terhadap rencana pengenaan pajak karbon. Kendati demikian, pengusaha berharap pemerintah bisa mematangkan regulasinya terlebih dahulu.
Sejumlah hal yang perlu dimatangkan adalah penetapan besaran tarif pajak karbon, tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, hingga mekanisme pengenaan pajak karbon. Selain itu, diharapkan juga ada kematangan dalam target sasaran pajak karbon semestinya diarahkan pada sektor dan subsektor penyumbang utama emisi karbon.
”(Implementasi pajak karbon) Perlu kepastian baik itu dari peraturannya, perhitungannya, maupun standardisasi dari karbon kredit ini. Artinya, regulasinya harus benar dulu baru kami siap terapkan pajak karbon,” ujar Bobby, Kamis (19/10/2023).
Ketika kebijakan final belum disepakati menandakan proses saat ini yang masih berada di ranah perdebatan para pihak yang pro dan kontra.
Momentum penerapan pajak karbon pada dasarnya dinilai tepat dengan upaya transisi industri menuju energi ”hijau”. Saat ini, rata-rata industri di Tanah Air masih cukup minimum dalam menggunakan sumber energi baru terbarukan, yakni lebih kurang 12,4 persen. Sisanya bahan baku industri masih meggunakan energi berbasis fosil.
”Kami dari bidang industri manufaktur sedang menjalani transisi energi menuju green certified sehingga pemerintah harus konsisten dan tepat dalam mengimplementasi peraturan pajak karbon,” kata Bobby.
Aturan Pajak Karbon tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), bukan pajak atas setiap emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha.
Badan usaha memiliki dua pilihan jika usahanya mengeluarkan emisi karbon lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya, yaitu melakukan pembayaran pajak karbon kepada negara atau mencari carbon converter di pasar karbon.
Bobby menilai implementasi pajak karbon juga dapat mendorong aktivitas Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) yang mulai dibuka pada pekan terakhir di September 2023. Hal itu dinilai positif dalam mendorongtransisi energi mengingat banyaknya permasalahan di Indonesia akibat krisis lingkungan dan perubahan iklim.
”Dasar-dasar (transisi energi) sebenarnya sudah diterapkan, tetapi implementasinya masih sangat lambat karena peraturan yang belum siap. Selain undang-undang yang belum jadi, harga energi terbarukan juga masih mahal,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Februari 2023, Indonesia telah meluncurkan tahap pertama perdagangan karbon wajib menggunakan sistem perdagangan emisi untuk pembangkit listrik tenaga batubara yang melibatkan 99 PLTU dengan kisaran harga 2 dollar AS hingga 18 dollar AS per ton.
Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan transaksi saat pembukaan perdagangan IDXCarbon kemarin yang hanya sekitar 4,51 dollar AS per ton. Namun, jauh lebih rendah dibanding harga karbon di Uni Eropa yang telah mencapai 80 dollar AS per ton.
Berdasarkan data Bank Dunia, saat ini hampir seperempat emisi gas rumah kaca global atau 23 persen sudah tercakup oleh 73 instrumen pengurangan karbon, baik dalam bentuk sistem perdagangan emisi maupun pajak karbon. Tahun lalu, pemasukan dari pajak karbon dan sistem perdagangan emisi secara global mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 95 miliar dollar AS
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai, saat ini peta jalan pasar karbon sudah final sehingga kebijakan tersebut dapat diimplementasikan. Kendati demikian, kebijakan peta jalan pajak karbon masih belum tuntas sehingga pengimplementasian kebijakan fiskal ini masih belum akan dilakukan dalam waktu dekat.
”Bahwa ketika kebijakan final belum disepakati menandakan proses saat ini yang masih berada di ranah perdebatan para pihak yang pro dan kontra,” katanya.
Sesuai dengan UU HPP, peta jalan pajak karbon memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya. Empat hal tersebut harus dicermati untuk memperkuat peran korektif pajak karbon dalam meredam aktivitas ekonomi yang menimbulkan emisi karbon.
”Jangan sampai terjadi judicial review di Mahkamah Agung ketika kebijakan peta jalan pajak karbon tersebut baru diimplementasikan. Alasan pemohon JR di MA atau bahkan MK tersebut pasti berkaitan dengan aturan peta jalan pajak karbon yang dianggap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,” ujar Prianto.
Potensi besar
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, Indonesia memiliki potensi nilai dari perdagangan karbon terbesar di Asia Tenggara. Asosiasi pun mendorong agar pemangku kepentingan memanfaatkan potensi tersebut dengan mendorongnya dapat diperdagangkan secara internasional.
”Sebagian negara anggota ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand, telah memulai kegiatan perdagangan karbon. Sektor swasta di kedua negara tersebut sudah mendapatkan manfaat perdagangan karbon meski potensi penyerapan karbonnya lebih kecil dibandingkan Indonesia,” kata Shinta.
Komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi karbon nasional itu tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC). Pemerintah menargetkan Indonesia dapat mencapai NDC secara mandiri adalah 31,89 persen pada 2030 dan menjadi 43,2 persen jika dengan dukungan internasional.
Indonesia memiliki potensi nilai dari perdagangan karbon terbesar di Asia Tenggara.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendata pengurangan emisi pada 2021 mencapai 69,5 juta ton karbon ekuivalen secara nasional. Angka tersebut naik dari capaian 2022 sejumlah 64,4 juta ton karbon ekuivalen.
Mekanisme perdagangan karbon akan dibahas di Konferensi Perubahan Iklim PBB 2023 pada akhir tahun ini. Menurut Shinta, pemerintah kemungkinan melakukan negosiasi terkait perdagangan karbon dengan negara lain dalam ajang tersebut.
”Secara prinsip Indonesia siap. Banyak proyek hijau di Indonesia yang sudah siap, tinggal diperbolehkan untuk melakukan perdagangan karbon internasional saja,” ujarnya.