Pasar Karbon Untuk Transisi Energi
Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dapat memperoleh manfaat finansial maupun non-finansial. Perusahaan juga akan tercatat ikut dalam mitigasi perubahan iklim yang sangat relevan saat ini.
Indonesia memasuki era baru setelah peluncuran pasar karbon. Presiden Jokowi secara resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada hari Selasa (26/9/2023) di Bursa Efek Indonesia (BEI). BEI juga telah mengantongi izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasar ini dirancang untuk memfasilitasi perdagangan sertifikat kredit karbon yang diterbitkan bagi proyek atau kegiatan untuk menghilangkan emisi gas rumah kaca dari atmosfer, atau untuk perusahaan yang menghasilkan emisi karbon di bawah ambang batas polusi yang ditetapkan pemerintah.
Sebelumnya, pada bulan Februari 2023, Indonesia telah meluncurkan tahap pertama perdagangan karbon wajib untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang melibatkan 99 PLTU dengan kisaran harga 2 dollar AS hingga 18 dollar AS per ton. Harga tersebut lebih tinggi dibanding transaksi saat pembukaan perdagangan IDXCarbon kemarin yang hanya sekitar 4,51 dollar AS per ton. Namun, jauh lebih rendah dibanding harga karbon di Uni Eropa yang telah mencapai 80 dollar AS per ton.
Kredit karbon diperdagangkan di pasar sukarela (voluntary carbon market) yang tidak diatur pemerintah dan pasar wajib (mandatory carbon market) atau yang dikenal dengan Emission Trading System (ETS) atau "cap-and-trade system’.
Saat ini, hampir seperempat emisi gas rumah kaca global atau 23 persen sudah tercakup oleh 73 instrumen pengurangan karbon, baik dalam bentuk ETS maupun pajak karbon. Tahun lalu, pemasukan dari pajak karbon dan ETS secara global mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu 95 miliar dollar AS (World Bank, 2023).
Sebagai negara kepulauan yang memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia namun juga salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam perdagangan karbon global.
Nilai transaksinya di fase satu diperkirakan menembus US$9 juta per tahun. Dengan asumsi jumlah karbon yang diperdagangkan langsung antarperusahaan sebesar 500.000 ton emisi karbondiokisa dan proyeksi harga kredit karbon sebesar 2 dollar AS hingga 18 per dollar AS ton emisi karbon dioksida.
Pasar Karbon dan Transisi Energi
Mekanisme perdagangan karbon adalah satu dari tiga cara penurunan emisi yang ditetapkan oleh perjanjian iklim PBB, Protokol Kyoto, pada 11 Desember 1997. Perdagangan karbon adalah jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah tertentu. Sertifikasi atau izin tersebut dikenal sebagai kredit karbon atau kuota emisi karbon (allowance).
Satu kredit karbon setara pengurangan emisi satu ton karbon dioksida. Emisi ini dihasilkan antara lain dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, gas dan minyak bumi), pembakaran hutan, dan pembusukan sampah organik.
Baca juga: Bursa Karbon Diluncurkan, Potensinya Capai Rp 3.000 Triliun
Pembeli kredit karbon adalah perusahaan, industri atau negara yang banyak menghasilkan emisi karbon karena menggunakan bahan bakar fosil seperti PLTU atau mengonsumsi energi dalam jumlah besar seperti pabrik baja atau data center. Sedangkan penjualnya perusahaan atau negara yang kegiatannya mampu menyerap emisi karbon dioksida atau menghasilkan sedikit sekali karbon dikosida seperti konservasi hutan dan pembangkit listrik energi terbarukan.
Perdagangan karbon berperan penting dalam membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, yang merupakan tujuan utama transisi energi. Pasar karbon mendukung transisi energi, setidaknya melalui lima skenario,
Pertama, memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan atau negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong penerapan sumber, teknologi, dan praktik energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Entitas-entitas termotivasi untuk berinvestasi pada energi terbarukan, efisiensi energi, dan teknologi rendah karbon untuk menurunkan emisi mereka dan mengurangi biaya kepatuhan di pasar karbon (Bergh et al., 2021).
Kedua, memberikan penghargaan dan imbalan kepada entitas yang menghasilkan energi terbarukan dan memiliki emisi lebih rendah. Proyek energi terbarukan dapat menghasilkan kredit karbon, yang dapat dijual di pasar karbon, sehingga memberikan aliran pendapatan tambahan bagi produsen energi terbarukan (Verde dan Pini, 2019).
Baca juga: Bursa Karbon Bukan Arena Sulap
Ketiga, mendorong investasi teknologi rendah karbon dan hemat energi. Ketika entitas mencari cara untuk mengurangi emisi dan mematuhi batasan karbon, mereka dapat berinvestasi pada teknologi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage), kendaraan listrik (electric vehicle), dan modernisasi jaringan listrik - yang semuanya merupakan bagian integral dari transisi energi (Sonnenschein dan Reguant, 2019).
Keempat, mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil dengan meningkatkan biaya kegiatan padat karbon. Entitas yang bergantung pada batu bara, minyak, atau gas alam mungkin menghadapi biaya kepatuhan yang lebih tinggi di pasar karbon sehingga memberikan insentif finansial untuk beralih ke sumber dan praktik energi yang lebih ramah lingkungan (Zhang dan Zhang 2020).
Kelima, mengimbangi emisi yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya melalui proyek penyeimbangan karbon seperti reboisasi, penghijauan, dan penangkapan gas metana dari tempat pembuangan sampah. Semua itu menghasilkan kredit karbon yang dapat mendukung pengurangan emisi di luar sektor energi (Michaelowa et al, 2018).
Pasar karbon adalah alat yang mendukung dan melengkapi transisi energi dengan memberi insentif pada pengurangan emisi, mendorong penerapan teknologi energi ramah lingkungan, dan memfasilitasi kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini membantu menyelaraskan insentif ekonomi dengan pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendorong transisi ke sistem energi yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon. Dalam prakteknya, sektor-sektor yang tercakup dalam ETS di Eropa telah berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 34,6 persen sejak pasar karbon Uni Eropa diluncurkan pada tahun 2005.
Meski demikian ada potensi fenomena “paradoks hijau” yang bisa terjadi saat perdagangan karbon dan subsidi energi terbarukan meningkatkan ekstraksi bahan bakar fosil. Paradoks ini memerlukan kebijakan yang terkoordinasi untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dalam konteks transisi energi (Kalkuhl, Edenhofer dan Lessmann, 2012). Selain kebijakan, dalam konteks organisasi, pengelolaan kredit karbon yang tepat sasaran memerlukan carbon management strategy.
Strategi Manajemen Karbon
Skema perdagangan karbon bisa memotivasi perusahaan untuk mengurangi emisi karbon agar bisa menjual lebih banyak kredit karbon. Sebaliknya, penghasil emisi juga termotivasi untuk bertransisi ke energi atau teknologi hijau agar mengurangi pembelian kredit karbon. Strategi manajemen karbon membantu perusahaan mencapai tujuan perdagangan karbon dengan manfaat optimal secara efektif (Yunus et al, 2016).
Manajemen biaya karbon memainkan peran penting dalam mengatasi perubahan pasar karbon. Tidak hanya green accounting. tapi juga aspek pemasaran, manajemen sumber daya manusia dan mata rantai pasok perlu dimasukkan dalam lingkup akuntansi manajemen biaya karbon. Dengan sistem manajemen biaya karbon komprehensif seperti ini, perusahaan dapat memperoleh statistik biaya karbon yang akurat untuk mendukung keputusan bisnis mereka di pasar karbon (Wang, 2017).
Ada hubungan signifikan antara strategi karbon suatu perusahaan dengan jenis industri dan ukurannya, meskipun tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Analisis terhadap 241 perusahaan Korea menunjukkan enam jenis strategi karbon perusahaan: ‘wait-and-see observer’, ‘cautious reducer’, ‘product enhancer’, ‘all-round enhancer’, ‘emergent explorer’ dan ‘all-round explorer’. Perusahaan sebaiknya memilih strategi karbon yang tepat sesuai jenis bisnis dan kapasitas organisasinya (Lee, 2011).
Pengambilan keputusan strategis perusahaan dipengaruhi oleh biaya operasional dan biaya sosial akibat emisi karbon dari pengoperasian sejenis manajemen rantai pasokan yang berkelanjutan. Semakin tinggi tingkat biaya sosial emisi karbon maka jumlah emisi karbon akan semakin rendah. Perusahaan perlu mempertimbangkan peningkatan biaya sosial mereka seperti CSR, corporate social responsibility, dan lainnya agar mendapatkan harga karbon yang efektif (Tseng dan Hung, 2014).
Kinerja lingkungan perusahaan ternyata dipengaruhi oleh level dan aktivitas inovasinya meskipun berbeda-beda di setiap industri karena proses produksi dan kemampuan pengurangan karbon yang berbeda. Aktivitas inovasi signifikan berkorelasi negatif dengan emisi karbon. Perusahaan perlu mengidentifikasi jenis inovasi apa yang berdampak paling signifikan terhadap penurunan emisi karbon dengan mempertimbangkan keunggulan inti dan sektor industrinya (Youn-Mo, 2020).
Skema perdagangan karbon bisa memotivasi perusahaan/entitas proyek hijau untuk mengurangi emisi karbon agar bisa menjual lebih banyak kredit karbon. Sebaliknya, penghasil emisi juga termotivasi untuk bertransisi ke energi atau teknologi hijau untuk mengurangi pembelian kredit karbon. Ke depan, perdagangan karbon diharapkan dapat mengubah cara berpikir dan budaya korporasi untuk menjalankan ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dapat memperoleh manfaat finansial maupun non-finansial. Manfaat finansial berupa penghematan biaya, menciptakan pendapatan baru dan peningkatan nilai pasar. Sedangkan non finansial berupa penguatan daya saing, reputasi dan posisi di pasar serta mengurangi risiko dan menambah tingkat keberlanjutan.
Perusahaan juga akan tercatat ikut dalam mitigasi perubahan iklim yang sangat relevan saat ini terutama dengan fenomena memburuknya kualitas udara di ibu kota Jakarta beberapa minggu terakhir.
Zainal Arifin, Dosen Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.
Email:
Professional link :