Wamendag: Temuan Dugaan Malaadministrasi Akan Dibahas dengan Direktorat Terkait
Disparitas harga bawang putih di ”post border” atau pelabuhan lebih tinggi dari harga jual importir kepada produsen. Salah satu komponen pembentuk harga itu adalah biaya tanam.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Rabu (18/10/2023), mengatakan, Kemendag telah menerima Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Malaadministrasi dalam Pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) Bawang Putih di Kemendag dari Ombudsman. Temuan tersebut akan menjadi masukan agar pelayanan perizinan impor menjadi semakin maksimal.
”Kami akan mempelajarinya dan segera membahasnya dengan unit terkait (Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri). Kami juga memastikan temuan itu tidak mengganggu pelayanan perizinan impor di unit tersebut,” kata Jerry kepada Kompas di sela-sela pembukaan Trade Expo Indonesia 2023 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang, Banten.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santosa menyatakan menghormati LAHP Ombudsman RI. Hasil laporan itu akan dijadikan sebagai bahan evaluasi agar pelayanan publik menjadi lebih baik.
Kami akan mempelajarinya dan segera membahasnya dengan unit terkait (Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri). Kami juga memastikan temuan itu tidak mengganggu pelayanan perizinan impor di unit tersebut.
Pada 17 Oktober 2023, Ombudsman memublikasikan LAHP Malaadministrasi dalam Pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) Bawang Putih di Kemendag dari Ombudsman. Dalam LAHP itu, Ombudsman menemukan lima dugaan tindakan malaadministrasi di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag.
Kelima tindakan malaadministrasi itu adalah pengabaian kewajiban hukum, melampaui wewenang, penyimpangan prosedur perizinan impor, penundaan berlarut penerbitan persetujuan impor, dan diskriminasi dalam penerbitan izin impor (Kompas, 17/10/2023). Dalam LAHP itu juga disebutkan keterangan Kemendag, yakni per 15 September 2023 terdapat 106 permohonan perizinan impor bawang putih yang telah diverifikasi dan dokumennya dinyatakan lengkap.
Namun, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri belum menerbitkan SPI itu karena masih menunggu persetujuan menteri perdagangan. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri menyatakan bahwa penerbitan SPI mempertimbangkan kebutuhan bawang putih di dalam negeri. Hal itu dalam rangka menjaga stabilitas stok dan harga bawang putih di dalam negeri.
Ombudsman RI menilai penundaan penerbitan SPI akibat menunggu persetujuan menteri perdagangan merupakan salah satu tindakan malaadministrasi. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri seharusnya tidak perlu menunggu persetujuan menteri perdagangan untuk menerbitkan SPI bawang putih.
Ia sudah mendapatkan pelimpahan wewenang dari menteri perdagangan untuk menerbitkan SPI berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan juncto Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Dalam proses pemeriksaan laporan itu, Ombudsman RI juga menemukan biaya wajib tanam menjadi salah satu komponen pembentuk harga bawang putih di post border atau pelabuhan dan harga jual importir kepada distributor. Komponen itu juga menjadi penyebab disparitas harga bawang putih di post border dengan harga dari importir tinggi. Harga bawang putih di pelabuhan Rp 18.000 per kg, sedangkan harga jual importir Rp 25.000 per kg.
Menurut Yeka, terdapat kenaikan margin harga jual importir yang diduga disebabkan adanya biaya untuk membayar pungutan-pungutan tidak resmi kepada beberapa oknum. Namun, di sisi lain, Ombudsman juga menjumpai masih banyak importir bawang putih yang tidak dapat memenuhi kuota wajib tanam bawang putih sebagai syarat dikeluarkannya rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Untuk itu, Ombudsman mengusulkan agar pemerintah membentuk badan pengelola dana bawang putih seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pembentukan badan itu diperlukan untuk mengelola dana pengembangan bawang putih di dalam negeri dari para importir bawang putih.
”Importir bawang putih berbeda dengan petani. Ada importir yang berhasil melakukan wajib tanam, tetapi ada juga yang keberatan dengan proses wajib tanam. Lebih baik dipungut biaya saja. Dana pungutan itu kemudian digunakan untuk merealisasikan kewajiban menanam bawang putih oleh orang-orang yang ahli di bidangnya,” kata Yeka.
Ombudsman RI juga menemukan biaya wajib tanam menjadi salah satu komponen pembentuk harga bawang putih di post border atau pelabuhan dan harga jual importir kepada distributor.
Penerbitan RIPH diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 tentang RIPH. Dalam Pasal 9 regulasi itu disebutkan pelaku usaha yang mengimpor produk hortikultura strategis wajib mengembangkan komoditas tersebut di dalam negeri. Khusus importir bawang putih, Kementan mewajibkan mereka menanam dan memproduksi bawang putih sebanyak 5 persen dari pengajuan impor.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, sejak 2017 hingga Oktober 2023 sudah ada 140 perusahaan pengimpor bawang putih yang melaksanakan wajib tanam dan produksi bawang putih. Kementan telah memverifikasi aktivitas tanam mereka.
”Dari 140 perusahaan itu, ada yang melaksanakan wajib tanam sekali, dua kali, tiga kali, bahkan empat kali. Artinya, mereka sudah benar-benar melaksanakan kewajiban. Kami akan terus memonitor perkembangannya ke depan,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi menyatakan, Kementan tengah meninjau kembali RIPH bawang putih tidak sebanyak 1 juta ton, tetapi di kisaran 600.000-650.000 ton. Selain untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri, hal itu juga agar tidak ada praduga ”pungutan” rupiah pada setiap kilogram penerbitan RIPH di Kementan.