Tantangan Program Dedieselisasi Bukan ”Kaleng-kaleng”
Sebanyak 5.200 unit pembangkit listrik tenaga diesel yang tersebar di 2.130 lokasi menjadi salah satu tantangan dalam dedieselisasi atau konversi ke pembangkit yang rendah emisi di Tanah Air.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya jumlah unit, yakni 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel atau PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi, menjadi salah satu tantangan dalam dedieselisasi atau konversi ke pembangkit yang rendah emisi. Pasalnya, PLTD masih menjadi tulang punggung pasokan kelistrikan untuk daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi pada hari ketiga Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023 di Jakarta, Kamis (12/10/2023), mengatakan, PLTD sejak lama jadi cara termudah dalam menyediakan elektrifikasi di daerah-daerah terpencil.
”Meskipun secara persentase kecil dibandingkan total suplai listrik dari PLN, (pembangkit diesel) ini menjadi tulang punggung aksesibilitas masyarakat (terhadap listrik). Sebagai negara berkembang, kita fokus tiga hal dalam penyediaan energi, yakni ketersediaan akses, keamanan energi, dan keterjangkauan,” kata Yudo.
Kendati demikian, transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, bagaimanapun, sudah menjadi keharusan, sesuai dengan komitmen Indonesia dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement). Oleh karena itu, program dedieselisasi atau konversi dari pembangkit diesel ke energi terbarukan terus diupayakan pemerintah.
”Lewat dedieselisasi, (pembangkit diesel) akan kami ganti. Namun, jumlahnya banyak sekali. Ini bukan kaleng-kaleng. Saya tidak tahu di negara lain apakah ada negara lain yang juga seperti ini. Mungkin ada. Namun, populasi Indonesia amat besar. Ini tantangan yang unik,” ujar Yudo.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, program dedieselisasi pada 5.200 unit PLTD di 2.130 lokasi dengan total kapasitas 2,37 gigawatt (GW) dilakukan pada tiga skema. Pertama ialah konversi menjadi pembangit listrik energi terbarukan berkapasitas 500 megawatt (MW). Kedua, konversi ke gas dengan kapasitas 598 MW. Ketiga, perluasan sistem jaringan kelistrikan ke wilayah isolasi untuk meniadakan PLTD dengan kapasitas 1.070 MW.
Sebagai negara berkembang, kita fokus tiga hal dalam penyediaan energi, yakni ketersediaan akses, keamanan energi, dan keterjangkauan.
Di sisi lain, kata Yudo, pemerintah juga mendorong pengembangan energi yang terpusat pada masyarakat. Di antaranya ialah pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) yang bisa beroperasi selama 24 jam. Selain untuk keperluan rumah tangga, listrik yang dihasilkan juga membantu para petani untuk memproses produk hasil pertanian mereka.
Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah menentukan pembangunan sejumlah pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dan program dedieselisasi. Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN Evy Haryadi mengatakan, PLN telah merancang program jangka pendek dan panjang untuk mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060.
Salah satu program jangka pendek yang tengah dilakukan adalah proyek dedieselisasi pembangkit berbahan bakar fosil sebesar 1 GW dan menggantinya dengan pembangkit tenaga surya (PLTS). ”Salah satu inisiatif strategis yang dilakukan PLN sebagai langkah konkret menuju NZE adalah pelaksanaan dedieselisasi,” kata Evy lewat siaran pers Sabtu (27/5/2023).
Ia menambahkan, tantangan utama program dedieselisasi ialah banyaknya pembangkit yang tersebar di daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, perlu strategi tepat, baik dari sisi ekonomi maupun teknologi. Untuk fase pertama, PLN berencana membangun 0,2 GW PLTS di 94 lokasi berbeda, yang akan membutuhkan investasi sebesar 0,7 miliar dollar AS.
Interkoneksi
Executive Vice President of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani dalam diskusi pada ISEW, Kamis, menuturkan, ke depan, smart grid (jaringan listrik cerdas) dan super grid (jaringan listrik super) akan memegang peranan penting. Artinya, bagaimana agar sistem kelistrikan ke depan dapat mengevakuasi sumber-sumber energi terbarukan dari sumbernya ke pusat-pusat permintaan (demand).
Saat ini, yang sudah terkoneksi adalah Jawa-Bali. ”Pusat demand di Indonesia itu Jawa-Bali, yakni 75 persen dari konsumsi listrik nasional. Nanti, sumber (kelistrikan) energi terbarukan di Jawa-Bali, khususnya yang baseload (andal), seperti panas bumi dan hidro akan habis, sehingga akan dibutuhkan evakuasi (listrik) dari luar Pulau Jawa,” ujar Kamia.
Program interkoneksi antarpulau diawali Sumatera-Jawa, yang nantinya juga akan ada interkoneksi dengan pulau-pulau lainnya. Smart grid dan super grid, kata Kamia, akan dibutuhkan dalam menghadapi fluktuasi pasokan kelistrikan dari pembangkit energi terbarukan yang variabel (cenderung bergantung cuaca/bersifat intermiten).
Ia menambahkan, dari penilaian tingkat tinggi yang telah dilakukan PLN, diketahui bahwa super grid dan smart grid mampu meningkatkan adopsi energi terbarukan berskala besar. Dengan penguatan grid, adopsi energi terbarukan variabel bisa meningkat dari sebelumnya hanya 5 GW menjadi 28 GW pada 2040.