Dedieselisasi Dinilai Kurang Agresif terhadap Penurunan Emisi
Program dedieselisasi terlalu kecil dampaknya dalam menurunkan emisi. Butuh komitmen lebih kuat, khususnya dalam pengakhiran PLTU, pembangunan pembangkit energi baru terbarukan, hingga pengembangan jaringan energi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang petugas mengecek mesin di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Pesanggaran, Bali. Foto diambil Rabu (26/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga diesel atau dedieselisasi sebesar 1 gigawatt. Langkah ini dinilai kurang berdampak pada penurunan emisi. Peningkatan bauran energi dan pengakhiran pembangkit listrik tenaga uap dianggap lebih krusial.
Pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM), akan diganti dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Untuk fase pertama, PLN berencana membangun 0,2 gigawatt (GW) PLTS di 94 lokasi berbeda. Proyek tersebut diperkirakan membutuhkan dana sebesar 0,7 miliar dollar AS atau Rp 10,5 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, jumlah kapasitas dalam program dedieselisasi terlalu kecil sehingga kurang berdampak terhadap penurunan emisi. Apalagi, target konversi PLTD untuk 0,5 GW PLTS mundur dari 2024 menjadi 2026.
”Meskipun begitu, hal ini harus diapresiasi. Dedieselisasi itu menurunkan alokasi dana untuk BBM dan masyarakat dapat menggunakan listrik dengan tarif yang terjangkau,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/5/2023).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, emisi gas rumah kaca sektor energi mencapai 653.787 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gg CO2e) pada 2019. Sebanyak 279.863 Gg CO2e di antaranya dihasilkan oleh industri produsen energi. Sementara 97,22 persen emisi industri produsen energi dihasilkan oleh pembangkit listrik.
Menurut Fabby, sebesar 68 persen listrik nasional masih disuplai oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Setiap 1 kilowatt listrik yang diproduksi PLTU turut menghasilkan 1-1,1 kilogram CO2e. ”Semakin banyak pasokan listrik yang disuplai PLTU, maka semakin banyak pula batubara yang dibakar. Pada saat bersamaan, emisi yang dihasilkan juga kian tinggi,” tuturnya.
Kalau mengakhiri operasi PLTU sebesar 9 GW, kira-kira perlu dana 3,8 sampai 4 miliar dollar AS (rentang Rp 57 triliun hingga Rp 60 triliun).
Oleh karena itu, penurunan emisi dapat dilakukan mulai dari meningkatkan efisiensi, co-firing PLTU batu bara dengan biomassa, pengakhiran lebih dini operasi PLTU, dan menambah persentase bauran energi baru dan terbarukan. Apalagi, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga tak lebih dari 290 juta ton CO2e dan meningkatkan persentase bauran energi 34 persen pada 2030–ketika dibantu pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Untuk mencapai hal tersebut, menurut kalkulasi IESR, Indonesia perlu mengakhiri kapasitas produksi PLTU sebesar 8,6 GW hingga 2030. Hal ini dapat dimulai dengan mengakhiri operasi PLTU yang sudah tua. Selain itu, Indonesia perlu membangun pembangkit listrik energi terbarukan sekitar 45 GW untuk mencapai target bauran energi.
”Kalau mengakhiri operasi PLTU sebesar 9 GW, kira-kira perlu dana 3,8 sampai 4 miliar dollar AS (rentang Rp 57 triliun hingga Rp 60 triliun),” ucap Fabby.
Pengakhiran PLTU juga perlu diikuti pembangunan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan, misalnya PLTS yang dianggap lebih murah dan mudah dipasang. Pada saat bersamaan, pengakhiran PLTU akan menurunkan anggaran subsidi pemerintah untuk batubara. Jadi, lanjut Fabby, dana tersebut dapat dialokasikan untuk yang lain.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES) Surya Darma menuturkan, transisi energi merupakan keniscayaan sehingga tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan diri. Hal ini dapat dicapai dengan peningkatan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga panas bumi, hidro, hingga bioenergi.
”Ketiga jenis energi baru terbarukan tersebut bisa menjadi base load untuk jangka panjang. Ini dapat memberikan ketahanan energi yang baik sehingga ekonomi lokal dapat bertumbuh. Selain itu, transisi energi juga akan mengakselerasi penurunan emisi karbon ditargetkan Indonesia,” katanya.
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.689 GW dan hanya memanfaatkan 12,6 GW dari jumlah tersebut. Potensi terbesar adalah energi surya (3.295 GW), angin (155 GW), hidro (95 GW), laut (63 GW), bioenergi (57 GW), dan panas bumi (24 GW).
Foto udara hutan mangrove Jembatan Cinta di Kampung Paljaya, Desa Segara Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023). Hutan mangrove di Indonesia rata-rata mampu menyerap 52,85 ton CO2/ha/tahun yang lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan estimasi global (26,42 ton CO2/ha/tahun).
Mundur
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 cenderung mundur realisasinya. Kendati begitu, RUPTL 2021-2030 masih tetap bisa dijalankan dan tidak memengaruhi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi.
Merujuk RUPTL 2021-2030, rencana didieselisasi dilakukan sejak 2021 dengan total 0,5 GW yang akan diganti dengan sumber energi baru dan terbarukan. Namun, proyek tersebut mundur hingga 2026.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN Evy Haryadi menjelaskan, dedieselisasi merupakan program jangka pendek untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Tantangan utama dedieselisasi adalah banyaknya pembangkit yang tersebar di daerah-daerah terpencil.
”Karena itu, PLN membutuhkan strategi yang tepat untuk melakukan transisi pembangkit tersebut, baik dari sisi ekonomi maupun teknologi,” ujar Evy dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/5/2023).
Pengunjuk rasa dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Dalam aksi tersebut WALHI memprotes peningkatan investasi dan pembangunan proyek-proyek gas di seluruh wilayah di Asia yang diperkirakan mencapai lebih dari US$350 miliar.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra mengungkapkan, program dedieselisasi dan pembangunan pembangkit EBT untuk menggantinya–sebagaimana yang dilakukan PLN–merupakan program percontohan dalam JETP. Selama enam bulan, Februari-Agustus 2023, JETP tengah menggodok secara detail rencana alokasi anggaran sebesar 20 miliar dollar AS atau Rp 300,16 triliun.
”Kami sudah membangun pondasinya. Kami sangat bersyukur dengan dukungan dan komitmen yang diberikan oleh komunitas internasional dalam transisi energi,” kata Edo.
Sebagai informasi, rencana investasi komprehensif yang tengah disusun tim JETP akan dipaparkan pada 16 Agustus 2023. Rencana itu mencakup pengembangan jaringan transisi dan distribusi energi, pengakhiran operasi PLTU batubara, percepatan pemanfaatan hingga pembangunan energi terbarukan.