Daya Pikat Pewarna Alam
Peminat kain batik, terutama dengan pewarna alam, semakin tinggi. Produk diminati oleh konsumen usia muda. Kesadaran akan pelestarian lingkungan turut memengaruhi permintaan.
Batik dengan pewarna alam semakin memikat hati konsumen. Kesadaran akan kelestarian lingkungan turut memengaruhi terdongkraknya permintaan.
Sejak berdiri tahun 2015, Marenggo Natural Dyes Batik di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah menghasilkan kain batik dengan 18 jenis bahan pewarna alam. Pewarna tersebut berasal dari akar mengkudu (Moringa citrifolia), kayu tegeran (Cudrania javanensis Trécul), hingga yang terbaru pewarna dari tanah.
”Kami bereksperimen menciptakan warna dari bahan baku alami. Belum lama ini, kami uji coba tanah di Klaten untuk menghasilkan warna oranye. Warna ini selanjutnya kami aplikasikan pada kain batik motif Jogotirto,” ujar pemilik Marenggo, Nuri Ningsih Hidayati, yang ditemui pada pameran Inacraft di Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Motif Jogotirto bergambar lava Gunung Merapi. Jogotirto dijadikan nama motif batik Morenggo mengacu pada nama desa asal Morenggo di Kecamatan Berbah, Sleman, yang tak jauh dari Gunung Merapi. Gunung Merapi pun menjadi ide untuk membuat motif. Bahan dan motif itu ia tampilkan juga dalam pameran.
Baca juga : Pameran Lima Hari, Inacraft Targetkan Transaksi Rp 50 Miliar
Menurut dia, peminat kain batik, terutama yang memakai pewarna alam, semakin tinggi. Produk ini diminati oleh konsumen usia muda. Produk juga diminati pembeli dari luar negeri, seperti Jepang dan Singapura.
Oleh karena itu, pihaknya terus melakukan eksperimen untuk menghasilkan aneka warna batik dari berbagai bahan alami.
Hal serupa dilakukan pemilik Zie Batik di Semarang, Jawa Tengah, Sasi Syifa Urohmi (26). Ia menggunakan pewarna alam dari tanaman indigofera dan limbah buah mangrove sejak 2010 atau empat tahun setelah bisnis didirikan. Alasannya adalah ingin mendukung kelestarian lingkungan di Gunungpati, Semarang, yang menjadi lokasi dan showroom Zie Batik. Bahan baku pewarna alam diperoleh dari bermitra dengan para petani, lalu diekstraksi dan diolah.
Seluruh proses produksi dilakukan dengan tangan. Setiap desain diproduksi dalam jumlah terbatas.
”Dengan menerapkan pewarna alam, produk kain dan pakaian batik kami malah semakin berdaya saing di pasaran. Calon pembeli dari kelompok usia muda dan profesional berdatangan. Sejumlah instansi, termasuk dari pemerintahan, juga jadi pelanggan kami,” katanya.
Melihat tren seperti itu, Zie Batik mengimbanginya dengan desain motif batik yang sederhana dan kekinian. Dari produksi dan hanya jual lembaran, kain batik kemudian diperluas menjadi produksi pakaian siap pakai. Omzet per bulan mencapai puluhan juta rupiah.
Pendiri pasta warna alam indigo Shibiru, Fatah Syaifur R Ipung, juga memiliki cerita senada. Dia merintis Shibiru sekitar tahun 2015 di Temanggung, Jawa Tengah. Awalnya, dia hanya membagikan 1 kilogram pasta kepada kelompok-kelompok pembatik yang alamatnya dia peroleh dari mesin pencari Google. Kini, pembelinya sudah menyebar secara nasional hingga luar negeri, seperti Jepang dan Malaysia.
Pandemi Covid-19 sempat membuat pendapatan Fatah turun karena penjualan lesu. Namun, kini dia sudah mengalami kenaikan penjualan lagi. Dalam sebulan, dia bisa menjual 500–650 kilogram pasta warna alam indigo.
Di luar itu, Fatah juga menerima jasa pewarnaan warna alami dari kelompok pembatik di Pekalongan hingga produsen kain jumputan dari Bandung, Jawa Barat. Sejumlah jenama pakaian jadi pun menggunakan pasta warna alam buatan Fatah.
Baca juga : Pelaku Industri Tekstil Mengusulkan Badan dan Regulasi Khusus
Untuk menghasilkan pasta warna alam indigo, Fatah sebenarnya menggunakan tanaman indigofera dan Strobilanthes cusia. Dia bermitra dengan 179 petani kopi dan jambu di Temanggung, Semarang, Pekalongan, dan Banjarnegara. Tanaman kopi atau jambu jadi tanaman peneduh bagi indigofera dan Strobilanthes cusia. Luas lahan mencapai 65 hektar. Petani akhirnya dapat untung lebih banyak dibandingkan sekadar menanam dan menjual kopi atau jambu.
”Saya menggunakan media sosial untuk promosi kepada generasi muda. Main Tiktok juga. Tiktok saya isi video-video proses pembuatan pewarna alam,” katanya.
Diminati
Fatah percaya, di tengah isu gempuran produk tekstil dari luar negeri, produk buatan dalam negeri akan terus diminati. Apalagi, wastra Indonesia kaya budaya mulai dari proses pembuatan. Pasar pewarna alam pun begitu.
”Kami sering kedatangan akademisi ataupun pembeli dari luar negeri yang tertarik untuk melihat langsung proses pembuatan warna alam,” ucapnya.
Estella Maria (44), karyawan swasta di Jakarta, mengatakan, dirinya sangat suka memakai pakaian batik ataupun pakaian yang mengandung kain tradisional. ”Pernah beli (kain wastra tradisional yang memakai pewarna alam) waktu bepergian ke Sumbawa,” kata Estella.
Menurut dia, motif dan bahan batik atau kain tradisional itu unik. ”Bangga saja pakai batik karena beberapa kali ketemu bule atau orang Jepang, mereka suka menanyakan beli di mana,” katanya.
Dia mengoleksi batik karena sering dipakai, terutama untuk bekerja. Dia senang jika sekarang semakin banyak UMKM lokal berproduksi, apalagi memakai pewarna alam sehingga lebih menarik dan istimewa.
Senang rasanya mendengar sekarang bermunculan produksi wastra dengan bahan pewarna alami karena berarti selain melestarikan budaya, juga melestarikan lingkungan.
Anisa Dini, pegawai negeri sipil di Jakarta, juga suka wastra Indonesia mulai dari batik, tenun, songket, hingga jumputan Palembang atau jenis baju seperti kebaya Jawa dan Bali.
”Senang rasanya mendengar sekarang bermunculan produksi wastra dengan bahan pewarna alami karena berarti selain melestarikan budaya, juga melestarikan lingkungan. Aku pernah beli batik dengan pewarna alami seperti daun indigo, kulit manggis, dan kunyit dari Magelang. Warnanya tidak kalah cantik dengan pewarna sintetis/buatan,” imbuhnya.
Balai Besar Kerajinan dan Batik Kementerian Perindustrian telah mengembangkan laman Natural Dyes Indexation atau Nadin yang berisi katalog warna alam.
Nadin dirilis pada 2022. Keberadaan laman ini bertujuan untuk memberikan acuan atau standar warna alam bagi industri mode.
Katalog Nadin juga dilengkapi dengan contoh warna beserta resep dan kode warna digital. Laman itu dapat diakses melalui nadin.batik.go.id. Di dalamnya terdapat sekitar 600 katalog warna alam yang berasal dari sembilan bahan baku.
Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Padang juga mengembangkan pewarna alam berbahan gambir sejak 2015. BSJKI Padang membina industri kecil menengah tenun di Padang untuk memanfaatkannya. Pembinaan itu terangkum dalam program Dana Kemitraan Peningkatan Teknologi Industri.
Bahan baku
Namun, bahan baku masih menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan industri tekstil di Tanah Air. Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memiliki rantai suplai yang panjang mulai dari hulu, industri antara, hingga hilir. Di Indonesia, jumlah industri hulu relatif lebih sedikit dibandingkan industri antara dan hilir. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah ketersediaan bahan baku.
”Padahal, permintaan produk jadi tekstil sangat besar dan variatif, baik di pasar domestik maupun internasional,” ujarnya.
Untuk mendorong industri TPT lokal semakin berdaya saing, Ahmad menyebutkan, pemerintah perlu memberi insentif pada tarif impor. Tarif bahan baku dari luar negeri perlu dibuat rendah, khususnya terhadap bahan baku yang tidak bisa dihasilkan secara lokal. Cara kedua, memperkuat program revitalisasi permesinan, terutama bagi industri kecil dan menengah (IKM). Ketiga, subsidi energi bagi pelaku TPT.
”Negara-negara pesaing Indonesia yang juga memiliki industri TPT gencar memberikan hibah revitalisasi peralatan produksi. Mereka menangkap permintaan produk jadi tekstil yang besar,” katanya.