Hilirisasi Mineral Butuh Konsistensi Kebijakan Lintas Rezim
Hilirisasi bisa bermanfaat jika ada konsistensi kebijakan dan komitmen membangun ekosistem industri turunan dari produk-produk dari smelter. Bagaimana pun, pasar domestik penyerapnya mesti tercipta.
BADUNG, KOMPAS - Konsistensi kebijakan lintas era pemerintahan penting dalam hilirisasi mineral hingga tahap industrialisasi. Sebab, itu akan mendukung pembentukan ekosistem industri yang bakal menyerap produk-produk olahan dari smelter. Sebaliknya, jika masih inkonsisten, cita-cita Indonesia Emas 2045 bisa buyar.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan, pemerintah Indonesia telah menunjukkan strategi hilirisasi. Itu disertai komitmen kuat dengan pelarangan ekspor, seperti pada nikel dan bauksit. Namun, mimpi, strategi, dan aksi saja tidak cukup, karena yang terpenting ialah konsistensi.
"China dan Australia membutuhkan waktu 25-30 tahun untuk membangun sebuah down streaming industry dengan ekosistem yang terbentuk. Indonesia minim (konsistensi) itu," kata Teguh dalam diskusi pada Indonesia Mining Summit (IMS) 2023 yang digelar Indonesian Mining Association (IMA) dan harian Kompas di Nusa Dua, Bali, Selasa (10/10/2023).
Baca juga: Bicarakan Masa Depan Industri, Bos-bos Tambang Kumpul di Bali
Era pemerintahan selanjutnya, Teguh melanjutkan, belum tentu akan menunjukkan komitmen yang sama kuatnya dalam hilirisasi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, perlu memberi tekanan (pressure) pada pemerintah selanjutnya jika memercayai hilirisasi jadi satu mimpi Indonesia yang harus dicapai.
Bukan tak mungkin, pemerintahan selanjutnya menginginkan keuntungan bersifat jangka pendek. Dengan belum siapnya industri untuk menyerap semua produk smelter, berpotensi ada penyelundupan. Bisa jadi, pemerintahan selanjutnya membuka sedikit-sedikit larangan ekspor, yang sebenarnya berbahaya bagi keberlanjutan industri itu.
"Hilirisasi bisa bermanfaat jika ada konsistensi kebijakan dan komitmen serta membangun ekosistem industri turunan dari produk-produk yang sudah kita peroleh. Bagaimanapun, jika kita mengandalkan pasar luar negeri dan pasar dalam negeri tak terbangun baik, kita akan tergantung lagi pada penyerap produk-produk itu (dari luar negeri)," ujar Teguh.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di sela-sela IMS 2023, mengatakan, sesuai undang-undang yang berlaku, industri smelter yang terintegrasi berada di bawah koordinasi Kementerian ESDM. Sementara yang tidak terintegrasi di bawah Kementerian Perindustrian.
Ia berharap industri-industri hilir lanjutan akan terus dikembangkan. "Sementara kami di Kementerian ESDM akan menghitung keseimbangan supply dan demand (mineral)-nya. Komunikasi kami dengan Kemenperin berlangsung cukup baik. (Itu dilakukan) agar bisa membuka peluang hilirisasi kepada produk yang lebih hilir," ujar Arifin.
Sesuai undang-undang yang berlaku, industri smelter yang terintegrasi berada di bawah koordinasi Kementerian ESDM.
Ia menambahkan proses penghitungan supply dan demand serta koordinasi dengan Kemenperin sedang berlangsung. Sebab, dalam menerapkan itu, perlu ada produk intermediate. Tembaga misalnya, yang harus dipikirkan setelah menjadi katoda. Begitu juga nikel. Setelah nickel matte, disiapkan menjadi precursor hingga katoda baterai.
"Kami juga minta industri untuk bisa menjadi penghubung rantai pasok bagi mineral-mineral lain yang belum terkoneksi dengan industri di bawahnya," kata Arifin.
Arifin tidak memungkiri investasi atau kerja sama dengan asing dibutuhkan dalam mewujudkan itu, salah satunya menyangkut teknologi. Posisi daya tawar Indonesia ialah memiliki bahan baku industri hilirisasi hingga industrialisasi, disertai pasar yang menjanjikan. Diakuinya, untuk meningkatkan daya tarik, perlu ada perbaikan regulasi dan promosi.
Ketua Umum IMA Rachmat Makkasau mengemukakan, pada 2024-2025, hilirisasi tambang, melalui smelter-smelter, akan beroperasi secara optimal sehingga akan menghasilkan bahan baku industri. Namun, di sisi lain, hal itu akan menjadi tantangan bagaimana agar produk hasil smelter itu diserap oleh pasar domestik.
Ia mencontohkan komoditas tembaga. Meski cadangan tembaga Indonesia hanya 3-5 persen dunia, diperkirakan kebutuhan akan meningkat pada 2030 karena cadangan dunia menurun. Artinya, komoditas itu akan dikejar oleh dunia. Di sisi lain, disayangkan jika kelak itu terjadi, Indonesia masih ekspor katoda tembaga. Perlu lebih hilir lagi.
"Peluang industri hilir tembaga, juga nikel, masih sangat banyak. Kalau kita ingin masuk sebagai negara industrial, manfaatkan semua industri hilir. Juga diperlukan eksplorasi agar cadangan terjaga. Pemerintah harus melihat regulasi apa yang dibutuhkan untuk mempromosikan industri hilir. Dalam 10 tahun terakhir ini tidak terjadi. Di Morowali (Sulawesi Tengah) ada 1-2, tetapi masih bisa lebih jauh lagi," ucapnya.
Baca juga: Rezim Manasuka Jadi "Momok" Industrialisasi
Pemerintah dan DPR selaku regulator juga sama-sama mulai menyadari pentingnya industrialisasi untuk mengiringi masifnya kebijakan hilirisasi. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengakui, selama ini, Indonesia terlalu terlena menjalankan hilirisasi yang sebatas mengolah komoditas menjadi bentuk setengah jadi.
Masalah ini ditemukan di berbagai jenis komoditas, baik tambang maupun non-tambang. Ia mencontohkan, dengan pengolahan yang masih setengah-setengah itu, industri tembaga nasional hanya mampu menguasai 1,44 persen dari pangsa pasar dunia. Sebagian besar hasil olahan setengah jadi diekspor ke China, Jepang, Korea, Taiwan dan Malaysia.
Lupa strategi jangka panjang
Meski ekspor itu membuat surplus perdagangan Indonesia dengan negara-negara itu meningkat, tetapi Indonesia lupa memikirkan strategi jangka panjang untuk menjembatani industri hulu, antara, dan hilir. Padahal, cita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi hanya bisa tercapai jika Indonesia melakukan pembangunan masif di sektor industri.
"Kita seharusnya bisa mengembangkan produk-produk turunan, tetapi selama ini terlena mengolah hanya sampai di generasi kedua, dan malah mengimpor produk-produk generasi ketiga dan keempat untuk kebutuhan dalam negeri. Kebertautan hulu-hilir ini yang akan terus kita kejar," kata Suharso saat menutup IMS 2023.
Kita seharusnya bisa mengembangkan produk-produk turunan, tetapi selama ini terlena mengolah hanya sampai di generasi kedua.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menuturkan, produk setengah jadi sudah tidak akan menjadi prioritas ke depan. Hilirisasi akan diarahkan untuk menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi hingga 70-80 persen.
Berdasarkan peta jalan arah kebijakan pemerintah, total investasi untuk mengembangkan hilirisasi hingga tahap industri akhir adalah 545,3 miliar dollar AS (setara Rp 8.574,3 triliun) di delapan sektor prioritas dari 21 komoditas. Berbagai insentif yang lebih tepat sasaran pun akan digulirkan untuk menarik lebih banyak investasi di hilir.
Ia mencontohkan, olahan nikel yang hanya setengah jadi sampai nickel pig iron (NPI) tidak akan lagi diberikan insentif tax holiday. "Hilirisasi tidak lagi cukup sampai barang setengah jadi, tetapi harus sampai barang jadi untuk memberi lebih banyak nilai tambah. Ke depan, produk seperti feronikel dan NPI sudah bukan produk pionir lagi," kata Bahlil.
Senada, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman mengatakan, semangat hilirisasi yang tinggi saat ini belum diiringi dengan tata kelola dan peta jalan industrialisasi untuk lebih meningkatkan nilai tambah. "Untuk apa kita punya smelter alumina, katoda tembaga, kalau pabrik jarum dan peniti saja kita tidak punya," ujar dia.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) juga sejatinya telah mengamanatkan peningkatan nilai tambah dari produk pertambangan. "Hari ini kita tidak bisa sekadar berpikir soal hilirisasi, PR besar kita adalah memikirkan ekosistem produk turunan dari komoditas yang sudah diolah itu," katanya.
Semangat hilirisasi yang tinggi saat ini belum diiringi dengan tata kelola dan peta jalan industrialisasi untuk lebih meningkatkan nilai tambah.
Secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, pihaknya terus mendorong investasi lebih banyak di industri hilir untuk menyerap hasil olahan tambang di dalam negeri. Saat ini, kapasitas produksi industri di dalam negeri memang masih perlu ditingkatkan.
"Industri alat berat merupakan salah satu subsektor manufaktur yang siap mendukung hilirisasi tambang karena produk-produknya digunakan oleh sektor pertambangan, infrastruktur, serta perkebunan. Dalam hal ini, memang kapasitas produksi industri alat berat di dalam negeri masih perlu ditingkatkan," ujar dia.