Pengalaman Indonesia menunjukkan minimnya konsistensi kebijakan pemerintah menjadi tantangan utama hilirisasi sebagai bagian dari industrialisasi.
Oleh
AGNES THEDOORA, ADITYA PUTRA PERDANA, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Rezim yang menerapkan gaya manasuka dalam kebijakan politiknya menjadi tantangan utamaindustrialisasi. Pengalaman selama ini menunjukkan, pemerintah tidak konsisten mendorong industrialisasi. Jika gaya semacam ini terus berlanjut, cita-cita Indonesia menjadi negara maju jadi taruhannya.
”Hilirisasi bagus. Tapi yang saya khawatirkan, (pengalaman) dalam industri itu, minim konsistensi. Perlu komitmen dari pemerintah berikutnya. Sejarah kita menunjukkan, gonta-ganti (kebijakan) terus,” kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto pada paparannya di sesi 2 Indonesia Mining Summit di Kabupaten Badung, Bali, Selasa (10/10/2023).
Hilirisasi bagus. Tapi yang saya khawatirkan, (pengalaman) dalam industri itu, minim konsistensi. Perlu komitmen dari pemerintah berikutnya. Sejarah kita menunjukkan, gonta-ganti (kebijakan) terus.
Hadir sebagi pembicara lain pada acara kolaborasi antara Indonesian Mining Summit (IMA) dan harian Kompas itu adalah Ketua Kelompok Kerja Hilirisasi Minerba Kadin Indonesia Carmelita Hartoto, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus, dan Head of IMMRI Ratih Dewihanjani. Tema sesi itu adalah ”Pertambangan Terintegrasi dan Investasi Bernilai Tambah”.
Teguh mengingatkan bahwa industrialisasi sebagai pilar Indonesia untuk menjadi negara maju perlu dipahami sebagai proyek jangka panjang. Belajar dari kisah sukses hilirisasi di China dan Australia, masing-masing butuh 40 tahun dan 65 tahun untuk membangun industri hilirnya.
Konsistensi kebijakan ini, Teguh melanjutkan, mesti diaktualisasikan mulai dari kebijakan induk hingga turunannya. Kebijakan induk yang dimaksud adalah strategi industrialisasi nasional. Turunannya mesti mencakup semua area yang mendukung, termasuk politik luar negeri Indonesia.
Contohnya adalah kebijakan larangan ekspor barang mentah yang tengah digugat hingga Organisasi Perdagangan Dunia. Apakah setelah rezim berganti misalnya, kebijakan larangan ekspor barang mentah itu tetap atau berubah. Ini juga akan berimplikasi pada politik luar negeri Indonesia.
Konsistensi kebijakan ini mesti diaktualisasikan mulai dari kebijakan induk hingga turunannya.
”Yang perlu dibangun setelah adanya pembangunan smelter adalah pembangunan ekosistem industrinya sendiri. Ini kalau pemerintah betul-betul ingin membangun industrialisasi di Indonesia. Karena tujuan utamanya adalah industrialisasi Indonesia. Sebab, faktanya deindustrialisasi,” katanya.
Industrialisasi lebih kurang adalah proses suatu negara mengubah struktur ekonominya dari yang awalnya agraris dan industri ekstraktif menjadi pengolah sampai barang setengah jadi atau barang jadi. Hilirisasi sebagaimana menjadi arus utama kebijakan pemerintah beberapa waktu terakhir adalah bagian dari industrialisasi.
Bukti empirik menunjukkan bahwa semua negara mencapai level maju atau negara berpendapatan atas melalui industrialisasi. Tantangannya, Indonesia dalam 30 tahun terakhir justru mengalami gejala deindustrialisasi.
Pada masa Orde Baru, porsi industri pada produk domestik bruto Indonesia sempat mencapai 30 persen. Selama 30 tahun terakhir, porsi industri mengecil di bawah 20 persen.
Selama tiga puluh tahun terakhir, porsi industri mengecil di bawah 20 persen.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 didominasi oleh lapangan usaha industri pengolahan. Porsinya mencapai 18,34 persen.
Dalam konteks itu, Teguh menekankan, hilirisasi yang vital harus tetap ditempatkan dalam konteks industrialisasi. ”Ini bukan sprint 100-200 meter tetapi maraton selama 30 tahun. Ini bukan hanya kebijakan pertambangan melainkan kebijakan industri, mesti jelas dan insentifnya jelas,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Alexander Barus memaparkan, sejumlah kebijakan mengarah ke industrialisasi telah dicanangkan sejak Orde Baru. Saat itu narasinya antara lain adalah peningkatan konten lokal dan substitusi impor. ”Semua itu adalah untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Terakhir ini, keluar istilah hilirisasi,” kata Barus.
Hilirisasi, Barus mengingatkan, harus diikuti industrialisasi guna mencapai nilai tambah maksimal. Sampai saat ini, industri mineral di Indonesia masih dalam tahap memproduksi barang setengah jadi.
”Jadi negara ini, kalau kita mau menuju emas (negara maju), mau tidak mau harus menuju tingkat 3 atau final product,” katanya.
Jadi negara ini, kalau kita mau menuju emas (negara maju), mau tidak mau harus menuju tingkat 3 atau final product.
Untuk itu, Barus juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pemerintah lintas rezim. Kebijakan itu mensyaratkan integrasi dalam aturan pelaksananya yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga negara, serta iklim investasi yang kondusif.
”Harus ada kebijakan terintegrasi dan selaras antara lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga keuangan. Jangan sampai di operasional, yang kami hadapi itu, harus berjuang kiri kanan mengurus izin,” katanya.
Sekitar 400 pemimpin dan pejabat lainnya di industri pertambangan nasional hadir dalam kesempatan itu. Mewakili Presiden Jokowi, Menteri ESDM Arifin Tasrif hadir memberikan pidato kunci.