Proyek reklamasi yang dihentikan karena tidak mengantongi perizinan terus bertambah. Sebagian proyek reklamasi mengandalkan pasir laut.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP menghentikan proyek reklamasi yang terindikasi tidak berizin di Pantai Koneng, Kota Dumai, Riau. Sejak Januari 2023 tercatat 16 proyek reklamasi telah dihentikan sementara.
Penghentian sementara proyek reklamasi merupakan tindak lanjut pengawasan KKP atas pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang laut melalui reklamasi. Proyek-proyek reklamasi itu ditengarai tidak mengantongi izin ataupun tidak dilengkapi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, terkini, dilakukan penyegelan lahan reklamasi seluas 1 hektar dari total 8,5 hektar milik PT UMK karena mereka tidak mengantongi izin reklamasi dan perizinan PKKPRL.
Sebelum dilakukan penghentian sementara, Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Polsus PWP3K) telah melakukan pemanggilan terhadap PT UMK untuk dimintai keterangan terkait kasus tersebut. Berdasarkan hasil keterangan perwakilan perusahaan, ditemukan pelanggaran atas pemanfaatan ruang laut, dan selanjutnya PT UMK diwajibkan untuk mengajukan perizinan PKKPRL dan izin reklamasi.
”PT UMK tidak diperkenankan untuk melanjutkan proses reklamasi untuk sementara waktu sampai dengan dokumen KKPRL diterbitkan,” ujar Adin, akhir pekan lalu.
Ia menambahkan, kegiatan reklamasi di Pantai Koneng telah melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Pasal 18 Angka 12. Pelanggaran itu dikenakan sanksi administratif penghentian sementara.
Dari data KKP, selama Januari-awal Oktober 2023 tercatat 16 kasus reklamasi dihentikan sementara akibat tidak berizin ataupun tidak mengantongi PKKPRL. Proyek yang dihentikan sementara di antaranya proyek reklamasi milik PT SIM di Pelabuhan Panjang-Lampung, proyek reklamasi PT DIA di Batam-Kepulauan Riau, proyek reklamasi galangan kapal milik PT BSI di Batam, dan reklamasi di Teluk Tering, Batam.
Reklamasi marak
Adin mengemukakan, pelaku usaha dan perusahaan lain dalam pengembangan ruang laut wajib mengurus PKKPRL. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut atau KKPRL merupakan persyaratan dasar pengelolaan ruang laut yang wajib dipatuhi setiap pelaku usaha.
Berdasarkan data KKPRL per Juni 2023, kegiatan reklamasi yang telah terbit dan dalam proses verifikasi tersebar di 21 provinsi dengan luas rencana reklamasi mencapai 7.004 hektar. Dari jumlah itu, rencana reklamasi terbesar di Kepulauan Riau, yakni seluas 4.272,85 hektar.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, selama ini reklamasi mengandalkan pasir laut yang di beberapa lokasi praktik pengambilannya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem.
”Reklamasi terjadi hampir di seluruh Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah reklamasi yang sekarang ini dari mana bahan untuk reklamasinya? Pulau dihajar. Kita tangkap di Rupat (Riau). Kita stop karena pulau yang disedot. Enggak bisa seperti ini, merusak lingkungan,” ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, salah satu alasan perlunya penerbitan regulasi tata kelola hasil sedimentasi di laut adalah untuk memenuhi kebutuhan tingginya permintaan material reklamasi di dalam negeri. Kebutuhan pasir laut untuk reklamasi ditaksir mencapai 20 miliar meter kubik. Adapun ekspor pasir laut dapat dilakukan apabila kebutuhan di dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pemanfaatan sedimentasi di laut, termasuk pasir laut, diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif atas Jenis PNBP yang diteken pada 18 September 2021. Berdasarkan ketentuan itu, tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri sebesar Rp 188.000 per meter kubik dan untuk tujuan ekspor dipatok Rp 228.000 per meter kubik.
Selain itu, pengenaan PNBP atas kontribusi penggunaan lahan hasil reklamasi juga diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Lahan Hasil Reklamasi yang diteken. Besaran tarif PNBP itu 1 persen dari nilai lahan hasil reklamasi, dan naik 4 persen per tahun selama 5 tahun.