Bappenas saat ini tengah merumuskan tahapan-tahapan itu untuk diterjemahkan dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Termasuk di dalamnya pergeseran insentif ke energi terbarukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah merencanakan pergeseran insentif atau subsidi dari energi fosil ke energi terbarukan yang akan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Hal itu dianggap krusial dalam mendukung pencapaian target transisi energi, termasuk capaian emisi nol bersih atau NZE pada 2060.
Perencana energi pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dedi Rustandi, dalam webinar Transisi Energi yang digelar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia, Jumat (6/10/2023), mengatakan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2025-2045, setiap tahapan transisi energi sudah terpetakan.
Pada tahap I (2025-2029), misalnya, transisi energi terkait dengan penerapan penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) hingga pengembangan energi terbarukan. ”Terkait insentif, perlu ada pengalihan subsidi dari energi fosil ke energi terbarukan. Ini termasuk insentif-insentif (energi terbarukan) yang sedang kami rumuskan. Tahapan I ini menjadi kunci,” kata Dedi.
Kendati akan ada pergeseran subsidi dari fosil ke energi terbarukan, energi fosil bagaimanapun masih tetap akan digunakan. Di sisi lain, dalam mengoptimalkan energi terbarukan, kebijakan tak hanya satu, tetapi dikombinasikan. Pengembangan energi terbarukan yang intermiten (bergantung cuaca), misalnya, didukung pengembangan teknologi baterai.
Ia menambahkan, Bappenas saat ini tengah merumuskan tahapan-tahapan itu untuk diterjemahkan dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal tersebut nantinya akan menjadi embrio untuk kemudian menuju rancangan teknokratik RPJMN, hingga nantinya menjadi RPJMN.
Adapun tahapan II (2030-2034) di antaranya tentang implementasi pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dan operasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama. Lalu, tahap III (2035-2039) di antaranya tentang pengembangan percontohan energi laut. Sementara pada tahap IV (2040-2045), transisi energi terkait perluasan sistem jaringan kelistrikan melalui interkoneksi dan smart grid.
Percepatan pengembangan energi terbarukan itu menjadi salah satu kunci tercapainya NZE 2060. ”Sejumlah faktor kunci lainnya adalah pengembangan jaringan listrik antarpulau, intrapulau, serta distribusinya; transportasi ramah lingkungan; reformasi pengelolaan sampah terintegrasi hulu ke hilir; serta pengendalian deforestasi,” ujar Dedi.
Terkait insentif, perlu ada pengalihan subsidi dari energi fosil ke energi terbarukan. Ini termasuk insentif-insentif (energi terbarukan) yang sedang kami rumuskan. Tahapan I ini menjadi kunci.
Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Gigih Udi Atmo menuturkan, ada sejumlah hambatan pengembangan dekarbonisasi di Indonesia. Hal itu terkait keekonomian dan teknologi, infrastruktur, permintaan dan penawaran energi, pendanaan, dan dinamika sosial.
Namun, di sisi lain juga ada sejumlah peluang, seperti dukungan kebijakan dalam perdagangan karbon dan pengakhiran dini operasi PLTU. Juga ada peluang dalam pengembangan kendaraan listrik dan stasiun pengisian kendaraan listrik umum dan jaringan gas kota. Terkait pendanaan, ada insentif fiskal dan nonfiskal serta hibah dan pinjaman.
”Partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengembangan sumber daya manusia, diperlukan. Itu untuk mencapai transisi energi yang adil dan memenuhi tujuan mitigasi perubahan iklim,” kata Gigih.
Lima skenario PLN
Executive Vice President Transisi Energi dan Keberlanjutan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Kamia Handayani mengemukakan, PLN telah merancang lima skenario transisi energi. Dua skenario awal, yakni business as usual (BAU) berbasis batubara (skenario 1) serta BAU berbasis gas (skenario 2). Keduanya menjadi baseline atau titik acuan.
”Dalam NDC (nationally determined contribution) kita, BAU-nya itu (berbasis) batubara untuk sektor kelistrikan. Namun, kami juga membangun skenario yang berbasis gas karena dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 PLTU baru sudah tak boleh (dibangun) kecuali yang ada dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). PLTU akan mendapat tantangan dari pendanaan,” kata Kamia.
Adapun skenario 3 ialah akselerasi energi terbarukan dengan penurunan bertahap batubara (coal phase down) dan skenario 4 berupa ultra-akselerasi energi terbarukan dengan coal phase down. Sementara skenario 5 paling ambisius, yakni ultra-akselerasi energi terbarukan dengan penghapusan bertahap batubara (coal phase out).
Untuk skenario 1 dan 2, masing-masing ada penambahan kapasitas energi terbarukan baseload (pemikul beban dasar) 17 gigawatt (GW), yang akan membuat keuangan korporat sehat. Skenario 3 (penambahan 34 GW) akan membuat keuangan korporat moderat. Sementara pada skenario 4 (40 GW) dan 5 (84 GW), keberlanjutan finansial PLN menjadi terancam.
Pakar kelistrikan yang juga dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Nanang Hariyanto, menuturkan, dalam transisi energi, yang menjadi gagasan ke depan adalah listrik menjadi target utama dekarbonisasi. Transisi berlangsung dari fosil ke energi terbarukan, dengan horizon waktu 2050-2070.
”Namun, sebaiknya (tahapan) dipotong per dekade. Itu jauh lebih baik karena kita bisa melihat (perkembangan). Sebab, ketidakpastian di depan sangat tak jelas. Namun, kita harus tetap membuat path yang masuk akal dan jelas,” ujar Nanang.