Perlu Terobosan untuk Gaet Pendanaan Transisi Energi
Dalam transisi energi, mengandalkan skema pendanaan tradisional dinilai tak akan bisa optimal. Oleh karena itu, perlu alternatif yang membuat investasi menjadi lebih menarik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah terobosan diperlukan Indonesia untuk menggaet pendanaan proyek-proyek transisi energi yang membutuhkan biaya besar. Hal tersebut, misalnya, dengan memadukan mekanisme pendanaan dengan kredit karbon atau monetisasi karbon sehingga diharapkan memberi keyakinan akan pengembalian investasi.
Senior Partner and Managing Partner of McKinsey & Company Indonesia, Khoon Tee Tan, di Jakarta, Rabu (4/10/2023), mengatakan, pendanaan dan teknologi menjadi tantangan dalam percepatan transisi energi. Oleh karena itu, perlu dipikirkan skema pendanaan yang sesuai dengan cara Indonesia.
”Salah satu opsi ialah menciptakan kredit karbon (komoditas penurunan emisi yang diperdagangkan). Perlu diciptakan mekanisme agar karbon dimonetisasi sehingga memberi return of investment kepada para pengusaha,” ujar Khoon Tee.
Dari hitungan McKinsey, untuk seluruh Asia diperlukan harga kredit karbon di atas 11 dollar AS per ton CO2. Oleh karena itu, kata Khoon Tee, diperlukan validasi dan verifikasi kredit karbon tersebut sehingga diharapkan dapat mendanai secara tidak langsung proyeknya.
Mengenai hibah (grant), imbuh Khon Tee, akan bergantung pada pemberi donasi. ”Tentu kita tidak bisa mendikte. Namun, kita bisa mencoba ciptakan mekanisme pendanaan berbasis bisnis. Kalau harga kredit karbon 11 dollar AS per ton dianggap valid, mungkin bisa menjadi perimbangan (offset) dari pajak karbon mereka, di negara-negara maju, misalnya,” katanya.
Ia menambahkan, dalam mengembangkan transisi energi bisa saja diandalkan skema pendanaan tradisional, tetapi hasilnya tak akan bisa optimal. Oleh karena itu, perlu alternatif yang membuat investasi masuk akal (make sense) dari sisi pengembalian investasinya.
Saat ini, Indonesia tengah mengejar berbagai skema pendanaan dalam transisi energi untuk mengejar target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060. Catatan Kompas, dari sejumlah penghitungan yang ada, secara ideal Indonesia diperkirakan butuh pendanaan 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 15.000 triliun. Artinya, dibutuhkan sekitar Rp 400 triliun per tahun.
Salah satu komitmen pendanaan yang telah disepakati, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022, ialah Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP ditargetkan diluncurkan ke publik pada akhir 2023.
Adapun dari 20 miliar dollar AS itu, 10 miliar dollar AS berasal dari dana publik atau anggaran negara-negara maju, yang dipimpin Amerika Serikat-Jepang. Sementara 10 miliar dollar AS lain berasal dari pendanaan oleh bank-bank internasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) berupa pinjaman komersial.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto kepada Reuters beberapa waktu lalu menyebut negara-negara barat dalam JETP belum siap mendanai pengakhiran dini operasi PLTU batubara di Indonesia. Hal tersebut berpotensi menjadi satu kemunduran.
Mereka, kata Seto, lebih tertarik membiayai secara komersial proyek-proyek energi terbarukan. ”Selama diskusi, sangat jelas kalau mereka tidak berkeinginan kuat untuk menyediakan pembiayaan pengakhiran dini (operasi PLTU). Permintaan kami sangatlah jelas, yakni pengakhiran dini PLTU dan pembangunan smart grid (jaringan listrik pintar),” ujarnya.
Berproses
Wakil Kepala Sekretariat JETP Paul Butarbutar, Senin (2/10/2023), di Jakarta, menuturkan, masih ada diskusi terkait pengakhiran dini PLTU.
”Saya tidak bisa bilang begitu (negara-negara maju tak tertarik mendanai pengakhiran dini PLTU) karena kenyataannya ada diskusi itu. Misalnya, bicara tentang (PLTU) Cirebon dan Pelabuhan Ratu. Kan, bukan berarti tidak tertarik. Tapi bahwa uangnya tidak banyak, ya mungkin,” kata Paul.
Terkait porsi hibah dalam JETP, imbuh Paul, saat ini relatif belum ada perkembangan signifikan. ”(Nilainya) di bawah 300 juta dollar AS, sebagian dalam bentuk technical assistant dan sebagian lagi bisa dipakai macam-macam,” lanjutnya. Ia juga menuturkan, dokumen CIPP tetap ditargetkan diluncurkan tahun ini.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, sudah menjadi kesepakatan dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Semua harus bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan dana. ”Kami minta fokus untuk pensiun dini dan juga infrastruktur. Kan, kalau enggak ada transmisinya, mau bertransisi (energi) bagaimana?” katanya.