Sebanyak 87 persen konsumen Indonesia masih memutuskan melakukan pembelian barang dan jasa berdasarkan rekomendasi yang datang dari ”influencer” atau pemengaruh dan selebritas terkemuka.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 87 persen konsumen Indonesia masih memutuskan melakukan pembelian berdasarkan rekomendasi yang datang dari influenceratau pemengaruh dan selebritas terkemuka. Kategori barang yang banyak dibeli mulai dari pakaian, produk kecantikan, gawai, konten hiburan, barang kebutuhan sehari-hari, hingga layanan keuangan.
Demikian inti benang merah laporan riset ”The Power of Influence — E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia”yang dirilis oleh perusahaan riset pasar Cube Asia dan penyedia teknologi untuk kinerja kemitraan jenama, kreator, dan pemengaruh (influencer) Impact.com, Kamis (5/10/2023), di Jakarta. Riset itu menyurvei 2.300 warganet secara daring di enam negara ASEAN. Salah satunya dari Indonesia.
”Warganet Indonesia masih menganggap influencer sebagai sosok yang bisa dipercaya. Rekomendasi pembelian dari selebritas terkemuka dan influencer mega atau influencer yang memiliki jumlah pengikut di media sosial lebih dari 1 juta pengikut mempunyai daya pengaruh yang kuat dan sangat kuat dalam pengambilan keputusan warga,” ujar Co-founder Cube Asia Simon Torring.
Dalam konteks ASEAN secara rata-rata, keputusan pembelian barang dan jasa yang dipengaruhi oleh rekomendasi influencer dan selebritas terkemuka hanya 80 persen. Artinya lebih rendah dari kondisi di Indonesia. Kategori barang dan jasa yang paling banyak dibeli mengikuti rekomendasi dimulai dari produk kecantikan, lalu pakaian, buah dan kebutuhan sehari-hari, gawai, media, pariwisata, dan terakhir layanan keuangan.
Simon mengatakan, sesuai hasil riset, setiap kategori barang dan jasa ternyata memiliki selebritas ataupun influencer panutan warganet. Sebagai contoh, di Indonesia, David Gadgetin menempati urutan teratas sebagai influencer untuk produk gawai dan Tasya Farasya untuk produk kecantikan.
Karena masih besarnya pengaruh rekomendasi influencer terhadap pengambilan keputusan pembelian barang, dia menemukan bahwa belanja jenama untuk kebutuhan pemasaran berbasis influencer masih tinggi. Berdasarkan hasil riset Cube Asia dan Impact.com, nilai belanja diperkirakan mencapai sekitar 4 miliar dollar AS pada 2023.
Kategori barang dan jasa yang paling banyak dibeli mengikuti rekomendasi dimulai dari produk kecantikan, lalu pakaian, buah dan kebutuhan sehari-hari, gawai, media, pariwisata, dan terakhir layanan keuangan.
Jenama bekerja sama dengan influencer dalam beberapa cara, di antaranya melalui keterlibatan langsung dan melalui kemitraan dengan agensi dan platform e-dagang. Sebagian besar jenama menggabungkan beberapa model kerja sama.
”Temuan menarik lainnya adalah influencer memiliki peran signifikan dalam mengerek penjualan di platform e-dagang di Asia Tenggara. Di antara mereka dan selebritas terkemuka aktif live shopping di semua platform yang memfasilitasi promosi ataupun e-dagang. Kami memperkirakan, 2024 akan menjadi tahun penjualan live terbesar di Asia Tenggara,” imbuh Simon.
Country Lead Impact.com Indonesia, perusahaan penyedia teknologi untuk memantau kinerja kemitraan jenama, pemengaruh, dan kreator, Myre Gustam, berpendapat, di Indonesia, jumlah pengguna aktif media sosial 167 juta orang. Jumlah ini tertinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Ada kemungkinan jumlah itu naik.
Youtube dan Facebook merupakan platform media sosial paling populer di Asia Tenggara. Tiktok, yang baru tersedia di wilayah ini dalam dua-tiga tahun terakhir, segera mengambil posisi penting.
”Tiktok adalah anak baru yang kini berada di urutan ketiga sebagai media sosial yang paling populer. Realita ini berarti influencer akan tetap punya kekuatan. Profesi influencer masih menjanjikan,” ujarnya. Hubungan influencer dan afiliator sekarang saling berkesinambungan, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Myre sependapat dengan Simon bahwa influencer berperan dalam pasar e-dagang di Asia Tenggara yang besar. Dia memperkirakan, 10 persen dari penjualan barang di platform e-dagang disumbang oleh influencer marketing.
”Memang, saat ini sudah muncul influencer kecerdasan buatan. Meski terkesan harganya murah, influencer kecerdasan buatan belum bisa diterima seutuhnya oleh warga Indonesia. Kami duga, mereka masih membutuhkan penuturan rekomendasi yang otentik,” tambah Myre.
Influencer Edho Zell, yang ditemui di acara Festival Wirausaha Mudah, di Smesco, Jakarta, mengatakan, influencer sekarang cenderung fokus ke kategori tertentu. Fenomenanya, influencer yang memutuskan terjun ke topik umum sangat jarang.
”Kalau influencer makanan, ya, makanan saja. Belanja kerja sama jenama dengan kreator dan influencer tetap naik, sedangkan belanja iklan jenama ke media konvensional cenderung stabil. Live shopping yang di antaranya menggunakan influencer akan tetap jadi megatrend meskipun Tiktok Shop menutup layanan e-dagang,” kata Edho yang juga pendiri Social Bread Indonesia. Social Bread Indonesia merupakan perusahaan agensi periklanan dan pemasaran.