Perlu Ada Batasan Produk Impor di Platform E-Dagang
Permendag No 31/2023 hanya mengatur minimal harga barang dari luar negeri yang transaksinya melalui pendekatan "cross border commerce".
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mendorong peningkatan promosi produk dalam negeri di platform social commerce dan e-dagang. Dorongan ini perlu diikuti dengan membuat batasan minimal porsi produk lokal yang dipromosikan ataupun diperjualbelikan di kedua jenis platform.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan hal tersebut saat menghadiri diskusi ”Larangan Social Commerce, Tepatkah?” yang berlangsung secara daring, Selasa (3/10/2023), di Jakarta. Menurut dia, Permendag No 31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang diundangkan 26 September 2023 memberikan ruang promosi yang besar bagi produk Indonesia.
Sayangnya, peraturan itu tidak memberikan kepastian batasan range harga dan jenis produk impor yang diperdagangkan di e-dagang secara menyeluruh. Permendag No 31/2023 hanya mengatur minimal harga barang dari luar negeri yang transaksinya melalui pendekatan cross border commerce atau belanja langsung dengan penjual dari luar negeri di platform e-dagang.
”Jika tidak ada batasan minimal porsi produk dalam negeri, baik platform social commerce maupun e-dagang (e-commerce) akan tetap jadi ruang yang legal untuk mempromosikan dan transaksi barang buatan luar negeri,” kata Esther.
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef, Nailul Huda, yang hadir pada saat bersamaan, berpandangan senada. Dalam konteks ritel modern luring, pemerintah telah mengatur minimal 30 persen porsi produk dalam negeri terpajang di etalase. Pengaturan serupa semestinya bisa dilakukan oleh pemerintah dalam konteks perdagangan daring.
Dia juga melihat, pemerintah belum mewajibkan seluruh platform penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) melakukan pelabelan asal barang. Pelabelan ini penting supaya pemerintah bisa mendapatkan gambaran riil ada tidaknya banjir barang impor.
”Sejumlah perusahaan platform e-dagang, terutama lokapasar, sering menampilkan etalase produk dalam negeri. Hal seperti ini perlu ditingkatkan sembari mendorong mereka berani memetakan porsi produk impor. Kalaupun mereka (lokapasar) menyelenggarakan program promo-promo, pemerintah bisa melarang mereka memberikan fasilitas promo bagi produk dari luar negeri,” ujar Nailul.
Dia menambahkan, porsi belanja cross border commerce selama ini hanya berkisar 10-20 persen. Dia menilai positif saat pemerintah mengumumkan minimal harga barang per unit yang boleh ditransaksikan melalui mekanisme cross border commerce. Namun, ketika pemerintah memberikan tambahan kebijakan berupa daftar putih (positive list) barangnya, Nailul merasa kebijakan cross border commerce menjadi abu-abu.
”Berpotensi menyalahgunakan jabatan dalam penentuan positive list,” imbuhnya.
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef, Izzudin Al Farras Adha, menambahkan pentingnya penegakan peredaran barang impor oleh pemerintah. Dengan kata lain, solusi agar pemerintah mendorong platform gencar mempromosikan dan membuat batasan porsi barang lokal semestinya diikuti dengan pengawasan dan penegakan hukum atas barang impor.
”Selanjutnya, pemerintah harus memberdayakan produsen dalam negeri, terutama UMKM, agar naik kelas. Pemerintah sudah mempunyai target UMKM go digital. Ketika target itu terpenuhi, kami rasa itu akan mampu menekan impor,” ucapnya.
Saat dihubungi terpisah, Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) I Nyoman Adhiarna mengatakan, sebagai upaya membina UMKM, pihaknya memiliki program fasilitasi pendampingan dan inkubasi bisnis setiap tahun. Untuk pendampingan, Kementerian Kominfo menargetkan pendampingan 20.000 UMKM peserta. Sementara inkubasi bisnis menargetkan 100 UMKM peserta.
Menurut dia, setiap program tersebut memiliki klasifikasi naik jenjang. Target UMKM naik kelas, yaitu 4.700 dari empat klasifikasi pemula, pengamat, adopter, dan pemimpin. Sudah ada 2.400 orang UMKM naik satu tingkat dari berbagai klasifikasi itu,” ujar Nyoman.
Sebelumnya, Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama di Kemenparekraf/Baparekraf Nia Niscaya, saat menghadiri konferensi pers mingguan Kemenparekraf/Baparekraf, Senin (18/9/2023), di Jakarta, menekankan, secara nasional sudah ada kampanye Bangga Buatan Indonesia untuk mendukung UMKM. Kampanye ini harus didukung oleh apa pun jenis platform yang dapat dipakai berjualan.
Sementara itu, Titan Sabtian, pembina ekspor di Sekolah Ekspor, berpendapat, produk buatan UMKM memiliki potensi besar. Apalagi, jika UMKM bersangkutan bermain di pasar produk kreatif, seperti makanan olahan dan kerajinan. Barang-barang seperti itu banyak diminati, termasuk pembeli dari luar negeri. Berdasarkan pengalamannya melatih UMKM, tantangan yang dihadapi adalah penguasaan produk yang diproduksi, kemasan, dan akses pemasaran.
Terkait kelanjutan sikap platform PPMSE atas hadirnya Permendag No 31/2023, Juru Bicara Tiktok Indonesia mengatakan akan ada pernyataan resmi lanjutan dalam waktu dekat.
Sebelumnya, pada saat Permendag No 31/2023 disosialisasikan pertama kali oleh Kemendag, Rabu (27/9/2023), di Jakarta, Tiktok Indonesia menyayangkan pengumuman peraturan itu. Keputusan adanya enam model bisnis PPMSE dalam negeri serta pemisahan social commerce dan e-dagang dinilai akan berdampak ke kehidupan 6 juta penjual dan 7 juta afiliator di Tiktok Shop. Tiktok Indonesia akan menghormati hukum berlaku dan akan menempuh jalur konstruktif ke depannya.