Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan Dikhawatirkan Sarat Pungutan Liar
Lowongan pekerjaan yang berasal dari dalam negeri wajib dilaporkan oleh pemberi kerja kepada Menteri Tenaga Kerja melalui sistem informasi ketenagakerjaan. Dikhawatirkan sarat pungutan liar.
–
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 57 Tahun 2023 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan bertujuan memastikan permintaan dan penawaran tenaga kerja lebih tepat sasaran. Hanya saja, pelaksanaan perpres ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan program lowongan kerja yang sarat pungutan liar.
Perpres Nomor 57 Tahun 2023 ditetapkan dan diundangkan pada 25 September 2023. Sesuai Pasal 4 perpres itu, lowongan pekerjaan yang berasal dari dalam negeri wajib dilaporkan oleh pemberi kerja kepada Menteri Tenaga Kerja melalui sistem informasi ketenagakerjaan. Sistem itu dikeloka Kementerian Ketenagakerjaan. Pelaporan lowongan pekerjaan itu tidak dipungut biaya.
Sesuai Pasal 5 perpres tersebut, pelaporan lowongan pekerjaan memuat identitas pemberi kerja, nama jabatan, dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Hal lain adalah masa berlaku lowongan pekerjaan dan informasi jabatan. Pelaporan lowongan pekerjaan diverifikasi oleh pengantar kerja dan/atau petugas antarkerja yang merupakan pegawai negeri sipil.
Adapun berdasarkan Pasal 13, pemerintah pusat memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab, antara lain membangun, memelihara, dan mengembangkan sistem informasi ketenagakerjaan.
Pemerintah pusat juga memonitor dan mengevaluasi pemberi kerja terkait kewajiban melaporkan lowongan pekerjaan, serta memberikan sanksi kepada pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajiban melaporkan lowongan pekerjaan.
Baca juga : Pengangguran Masih Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi, Jumat (29/9/2023), di Jakarta, mengatakan, Perpres No 57/2023 merupakan modal untuk membangun sebuah sistem informasi pasar kerja yang lebih komprehensif, aktual, dan real time.
Informasi tentang data lowongan penting bagi pencari kerja. Mereka bisa terbantu merancang karier sesuai dengan bidang kompetensi dan pengalaman yang dimiliki. Bagi pemberi kerja, informasi itu akan mempercepat mereka mendapat kandidat secara cepat.
”Sementara bagi pemerintah, informasi seperti itu sangat penting untuk memantau kebutuhan pelatihan ataupun kompetensi yang sedang sangat dibutuhkan, sudah mulai tidak banyak dibutuhkan, dan pekerjaan kritis,” ujarnya.
Kemenaker akan menyosialisasikan Perpres No 57/2023 itu kepada pemangku kepentingan di pasar kerja.
Ajang korupsi
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, Perpres No 57/2023 menjadi perbaikan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan.
Selama ini, pelaksanaan informasi lowongan kerja tidak efektif karena masih banyak pengusaha yang belum mau terbuka atas lowongan kerja yang mereka buka. Pelaksanaannya belum terintegrasi karena masih dilakukan oleh dinas-dinas tenaga kerja melalui kartu kuning. Pemerintah daerah cenderung pasif menunggu laporan informasi lowongan kerja dari perusahaan.
Dia juga menyebutkan bahwa sebenarnya sudah ada UU No 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan, tetapi keberadaan UU ini belum mampu dimanfaatkan Kemenaker untuk mendapatkan data ketenagakerjaan dari proses rekrutmen hingga pemutusan hubungan kerja. Perpres No 57/2023 semestinya dikaitkan dengan UU No 7 /1981 sehingga Kemenaker memiliki basis data ketenagakerjaan yang lebih baik dan berkualitas.
”Meski Perpres No 57/2023 menyatakan tidak dipungut biaya, kami mengkhawatirkan program wajib lapor lowongan pekerjaan menjadi ajang korupsi dan pungutan liar oleh pengantar kerja sehingga menjadi masalah bagi perusahaan dan pencari kerja,” kata Timboel.
Kami mengkhawatirkan program wajib lapor lowongan pekerjaan menjadi ajang korupsi dan pungutan liar oleh pengantar kerja . (Timboel Siregar)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, KSPI pernah menemukan beberapa kasus pencari kerja mendatangi dinas tenaga kerja di daerah, tetapi oleh dinas malah diminta membayar sejumlah uang agar bisa dihubungkan dengan pemberi kerja.
”Kebijakan yang mewajibkan perusahaan melapor saat proses rekrutmen dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebenarnya bukan kebijakan baru. Sejak tahun 1970-an sudah ada. Realitasnya, kebijakan seperti itu tidak berjalan,” katanya.
Jika kini wajib lapor diperkuat dengan Perpres No 57/2023, Said juga mencemaskan pelaksanaannya tidak optimal. Apalagi ancaman sanksi yang disebut dalam perpres itu belum detail.
”Hal yang seharusnya pemerintah lakukan adalah membuat satu sistem yang memudahkan perusahaan menawarkan lowongan pekerjaan, bukan wajib lapor lowongan pekerjaan,” imbuh Said.
Kepentingan basis data
Dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa, memandang, hal yang mendesak dilakukan pemerintah ialah mengintegrasikan data-data lowongan pekerjaan supaya bisa dipetakan kebutuhan lowongan dari tiap-tiap daerah. Dia sepakat dengan Timboel dan Said bahwa kebijakan wajib lapor lowongan pekerjaan bukanlah kebijakan yang benar-benar baru.
”Kebijakan wajib lapor lowongan pekerjaan sebenarnya bisa dipakai mengawasi jenis lowongan yang diskriminatif dan eksploitatif. Misalnya, lowongan pekerjaan yang membatasi jenis kelamin, agama, dan ras tertentu tanpa ada justifikasi alasannya apa. Namun, langkah pengawasan, sayangnya, relatif kurang dilakukan sejauh ini,” katanya.
Sebaliknya, dia mengamati, substansi peraturan wajib lapor lowongan pekerjaan yang tercantum dalam Perpres No 57/2023 justru tidak diarahkan ke mekanisme pengawasan, tetapi sebatas untuk kepentingan basis data.
Baca juga : Lowongan Pekerjaan Bidang Teknologi Tetap Diminati