Pertamina bisa konsentrasi pada lapangan-lapangan migas yang besar, sedangkan yang kecil-kecil ditangani swasta nasional dan badan usaha milik daerah. Dengan begitu, kapasitas nasional bisa terbentuk.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Pekerja mengecek pengeboran sumur minyak RDG-059 PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field di Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Selasa (5/11/2019). Sumur tersebut merupakan sumur ke-59 di kawasan Randegan dengan produksi bisa mencapai sekitar 300 barel setara minyak dalam sehari.
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan pemerintah agar PT Pertamina (Persero) melepas atau melakukan kerja sama operasi yang optimal terhadap lapangan atau sumur minyak dan gas bumi tidak produktif dinilai sebagai langkah positif. Hal itu diharapkan menekan gap antara realisasi produksi dan target 1 juta barel minyak pada 2030. Perangkat regulasi dibutuhkan.
Praktisi migas Hadi Ismoyo, dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/9/2023), mengatakan, saat ini, Pertamina memegang 70 persen wilayah kerja (WK) migas di Indonesia. Namun, ada banyak lapangan idle (menganggur) atau marginal yang tak menjadi prioritas. Sementara pemerintah berkepentingan memenuhi target produksi 1 juta barel minyak pada 2030.
Oleh karena itu, dirinya mendukung dibuatnya perangkat aturan baru yang bersifat win-win solution, yang menguntungkan para pihak serta pemerintah. Selama ini, kerja sama operasi (KSO), antara Pertamina dan badan usaha lain, dinilai belum otpimal karena kondisinya kurang ekonomis dan kondusif bagi para investor.
”Saat nanti ada regulasi baru, misalnya terkait lapangan yang menganggur, diharapkan ada term and condition yang lebih baik dari Pertamina ketimbang dianggurin. Pertamina bisa konsentrasi pada lapangan-lapangan migas yang besar, sedangkan yang kecil-kecil ditangani swasta nasional dan BUMD-BUMD (badan usaha milik daerah). Dengan begitu, kapasitas nasional bisa terbentuk,” katanya.
Hadi mencontohkan, dalam satu blok migas, misalnya, terdapat 100 lapangan, yang ekonomis bisa jadi hanya 50 lapangan, sedangkan sisanya tidak dioptimalkan. Produksi di lapangan relatif hanya menunggu harga minyak mentah melonjak atau menunggu teknologi yang masuk. Padahal, di tangan badan usaha lain, lapangan itu dapat diberdayakan.
Ada juga misalnya, kontraktor kerja sama (KKKS) mengebor di satu wilayah remote (terpencil). ”Untuk ukuran Pertamina atau KKKS seperti ExxonMobil, Shell, dan BP itu tidak ekonomis. Namun, bagi perusahaan kecil atau BUMD mungkin masih ekonomis. Ini bisa dikembangkan,” ujar Hadi.
Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2008 Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sejatinya mewadahi unit usaha skala kecil. Dalam regulasi itu, antara lain disebutkan bahwa saat kontraktor tak mengusahakan dan memproduksi minyak bumi dari sumur tua, Koperasi Unit Desa (KUD), dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikannya, dengan persetujuan menteri.
Namun, menurut Hadi, regulasi itu lebih bersifat sukarela sehingga pelaksanaannya tak optimal. ”Perlu ada kata-kata yang bersifat mewajibkan untuk diserahkan jika tak pernah disentuh atau tak masuk prioritas pengembangan KKKS. Dalam hal ini, keseriusan pemerintah diuji, dalam membuat regulasi yang lebih mewajibkan itu,” ujarnya.
Pertamina bisa konsentrasi pada lapangan-lapangan migas yang besar, sedangkan yang kecil-kecil ditangani swasta nasional dan BUMD-BUMD (badan usaha milik daerah). (Hadi Ismoyo)
Sementara itu, pengamat migas yang juga Guru Besar Bidang Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, menuturkan, Pertamina sejatinya menjalankan amanah Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan WK Migas yang akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya.
Dalam Pasal 2 peraturan menteri itu disebutkan, pengelolaan WK Migas yang berakhir kontrak kerja samanya dilakukan dengan cara: pengelolaan oleh Pertamina; perpanjangan kontrak kerja sama oleh kontraktor; dan pengelolaan secara bersama antara Pertamina dan kontraktor. Itu harus mendapat persetujuan atau ditetapkan menteri.
Aturan itu lalu digantikan Permen ESDM No 23/2018. Kemudian, diganti kembali dengan Permen ESDM Nomor 23/2021 tentang Pengelolaan WK Migas untuk Kontrak Kerja Sama yang Akan Berakhir.
Topan menyebut, hal itu sebenarnya bagus untuk blok-blok migas raksasa seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur dan Blok Rokan di Riau, yang kini dikuasai Pertamina. ”Sementara untuk blok-blok kecil tidak apa-apa diberikan KKKS. Sebab, kalau semua diambil Pertamina, ada sumur-sumur yang didiamkan atau tak ekonomis (sumur suspend). Sumur suspend ini sangat banyak, ribuan,” katanya.
Menurut dia, Pertamina perlu diberi privilese lebih banyak dalam mengerjasamakan sumur-sumur yang tidak ekonomis dengan KKKS. Dengan demikian, ada win-win solution yang menguntungkan multipihak. Skema terkait bagi hasilnya, menurutnya, bisa dinegosiasikan, termasuk dengan pemerintah. Di luar negeri, itu merupakan hal biasa.
KOMPAS/SUCIPTO
Sebuah pompa angguk yang berfungsi mengalirkan minyak bumi dari dalam sumur ke permukaan terlihat di tepi Jalan Sungai Kapuas, Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (22/7/2019). Sejak cadangan minyak pada tahun 1904 oleh Belanda, hingga saat ini Kota Tarakan menjadi salah satu kota penghasil minyak di Indonesia.
Tingkatkan produksi
Sebelumnya, pemerintah menyoroti dominannya pengelolaan lapangan-lapangan migas oleh Pertamina. swasta pun diharapkan bisa lebih mendapat porsi. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menuturkan, hal itu semata demi meningkatkan produksi migas yang kini belum sesuai harapan, sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
Saat ini, dari konsumsi minyak nasional yang 1,6 juta barel per hari, produksi hanya 600.000-630.000 barel per hari serta selalu di bawah target APBN. ”Sebenarnya mau Pertamina atau swasta, yang penting produksi harus naik. Sebab, jika tidak, (terus) impor. Neraca perdagangan kita kena (terdampak) serta ada ketergantungan impor,” kata Bahlil di Bali, pekan lalu.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, pihaknya juga telah meminta agar lapangan-lapangan migas tak produktif untuk dikerjasamakan atau dilepas oleh Pertamina. Tanpa menyebut rinci, ia juga mengatakan sudah ada regulasi yang akan mengaturnya, yakni lewat keputusan menteri.
”Kami memang meminta semua itu bisa segera diselesaikan. Dikembalikan lagi atau Pertamina bekerja sama. Kalau memang masih dianggap berpotensi dikerjasamakan, ya Pertamina silakan untuk mempercepat kerja samanya (dengan badan usaha lain),” ujar Arifin.
Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu Regional 4 Indonesia Timur Endro Hartanto menuturkan, Pertamina merupakan representasi perusahaan minyak nasional (NOC) Indonesia. Ia menilai sebaiknya Pertamina EP tetap bisa mengelola kawasan dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Tinggal diarahkan mana yang menjadi fokus dan mana yang nonfokus.
Menurut dia, dalam mengelola 70 persen blok migas di Indonesia, Pertamina mampu melakukan itu. ”Saat ini, (produksi) 66 persen minyak bumi dan 32 persen gas diproduksi oleh grup Pertamina. Lifting (produksi siap jual migas) juga naik terus. Peningkatannya, di grup Pertamina, rata-rata 6 persen per tahun,” kata Endro.