Hiruk-pikuk kereta cepat Jakarta Bandung hanyalah salah satu dinamika yang mengemuka dalam pembangunan proyek infrastruktur. Masih ada begitu banyak proyek infrastruktur lain yang perlu mendapat perhatian.
Oleh
A PRASETYANTOKO
·4 menit baca
Whoosh, kereta cepat Jakarta-Bandung atau KCJB, akhirnya beroperasi setelah tertunda. Bersama dengan proyek strategis nasional lainnya, KCJB akan menjadi warisan penting Presiden Joko Widodo dan menjadi simbol modernisasi infrastruktur di Indonesia. Harapannya, kemajuan infrastruktur ini diikuti peningkatan produktivitas ekonomi nasional sehingga punya dampak nyata bagi kemajuan bangsa.
Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggunakan metode growth diagnostics menemukan tiga hambatan utama perekonomian Indonesia, yaitu regulasi, infrastruktur, dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan infrastruktur paling banyak mendapat perhatian selama hampir sepuluh tahun terakhir. Guna mendapatkan dampak optimal, pembenahan regulasi serta kelembagaannya dan kualitas manusia juga harus diakselerasi dalam sisa waktu ini.
Terkait pembangunan infrastruktur yang ekspansif, ada dua pokok persoalan. Pertama, penambahan pasokan infrastruktur harus meningkatkan daya saing. Salah satu kuncinya, adanya integrasi dengan pembangunan kawasan serta moda transportasi lainnya. Untuk KCJB masih ada catatan integrasi dengan moda transportasi lokal, khususnya di Bandung. Kedua, pembiayaannya yang menjamin adanya keberlanjutan usaha. Salah satu kuncinya, bagaimana menempatkan penjaminan pemerintah sebagai pengungkit kinerja unit usaha, industri, dan sektor ekonomi. Catatannya, penjaminan pemerintah masih belum mendorong kinerja yang optimal.
Penjaminan pemerintah
Terkait pengoperasian KCJB, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Kebijakan ini memicu perdebatan. Penerbitan PMK dianggap menegasi alasan pemilihan China sebagai pemenang tender mengalahkan Jepang pada 2015. Ada beberapa alasan mengapa China dianggap lebih menguntungkan, di antaranya tidak menggunakan APBN, skema kerja sama bisnis ke bisnis (b to b), tidak memerlukan penjaminan pemerintah, serta biaya proyek lebih murah.
Proyek pembangunan KCJB cukup berliku. Pada waktu China diputuskan sebagai pemenang tender proposal proyek senilai 5,595 miliar dollar AS atau lebih rendah dari proposal Jepang senilai 6,223 miliar dollar AS. Guna menjalankan proyek tersebut, dibentuk perusahaan patungan antara BUMN Indonesia yang diwakili PT KAI dan BUMN China bernama PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC). Dalam perjalanannya, biaya proyek membengkak menjadi 7,97 miliar dollar AS dan pemerintah harus turun tangan menjamin pelaksanaan proyek.
Hiruk-pikuk KCJB hanyalah salah satu dinamika yang mengemuka dalam pembangunan proyek infrastruktur. Masih ada begitu banyak proyek infrastruktur lain yang perlu mendapat perhatian, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Persoalannya bukan pada skema penjaminan pemerintah melalui APBN, melainkan lebih besar lagi, yaitu soal bagaimana memastikan pembangunan infrastruktur menciptakan efek pengganda kegiatan ekonomi atau dengan kata lain produktivitas meningkat.
Pemberian jaminan pemerintah sudah terjadi dalam berbagai proyek infrastruktur yang dikerjakan sebagian (besar) oleh BUMN karya, seperti PT Waskita Karya, PT Hutama Karya, PT Wijaya Karya, serta banyak BUMN karya lain bersama anak-anak perusahaannya yang menggurita dalam sepuluh tahun terakhir.
Pemberian penyertaan modal negara kepada sejumlah BUMN, baik untuk meningkatkan layanan masyarakat maupun pembangunan infrastruktur, merupakan bagian dari penjaminan negara terharap kepentingan umum.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah sudah menciptakan ekosistem sehingga tidak serta-merta mengekspos keuangan negara dalam risiko. Pemberian penyertaan modal negara (PMN) kepada sejumlah BUMN, baik untuk meningkatkan layanan masyarakat maupun pembangunan infrastruktur, merupakan bagian dari penjaminan negara terhadap kepentingan umum.
Kementerian Keuangan telah membentuk PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) guna mendukung percepatan penyediaan infrastruktur melalui skema public private partnership (PPP). Bappenas telah membentuk unit fasilitasi Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) pada 2017 yang berfungsi menghasilkan pembiayaan kreatif berbasis di luar APBN. Sebagai salah satu tindak lanjut dari UU Cipta Kerja 2022 adalah dibentuknya Indonesia Investment Authority (INA). Sovereign wealth fund ini bertujuan mengakselerasi pembangunan, termasuk infrastruktur.
Belum lagi berbagai inovasi di bidang pembiayaan infrastruktur, seperti skema LVC (land value capture). Skema ini dikembangkan untuk meningkatkan nilai lahan sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur. Skema ini sudah mulai diterapkan PT KAI untuk memanfaatkan lahan di sekitar stasiun kereta yang nilainya meningkat dengan adanya akses kereta api tersebut.
Singkatnya, dari sisi teknokratik, berbagai skema mulai dari penjaminan hingga inovasi pembiayaan, seperti LVC, menunjukkan adanya kemajuan dalam hal pembiayaan infrastruktur. Meski begitu, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, pemberian penjaminan atau penyertaan modal dari keuangan negara cenderung membuat BUMN tidak kompetitif. Kedua, berbagai skema penjaminan dan penyertaan modal mendorong moral hazard (korupsi).
Singkatnya, dari sisi teknokratik, berbagai skema mulai dari penjaminan hingga inovasi pembiayaan, seperti LVC, menunjukkan adanya kemajuan dalam hal pembiayaan infrastruktur.
Kita bisa mengambil kasus PT Waskita karya (WSKT), yang pada 2018 merupakan BUMN karya dengan aset terbesar, hampir Rp 123 triliun. PT Hutama Karya (PTHK) pada tahun tersebut total asetnya baru Rp 64,5 triliun. Periode setelah itu, WSKT mengalami kerugian terus-menerus sehingga pada 2022 asetnya tinggal Rp 98,2 triliun. Sementara PTHK naik menjadi Rp 156 triliun. Berbagai persoalan menggelayuti WSKT, mulai dari penugasan pembangunan jalan tol yang tidak didukung penyertaan modal, ekspansi yang terlalu cepat, hingga korupsi. Sekarang ada wacana mau menjadikan WSKT sebagai anak perusahaan PTHK.
Kasus WSKT hanyalah sekelumit cerita tak menggembirakan bagaimana obsesi membangun infrastruktur dengan berbagai jaminan dan penyertaan modal justru membuat BUMN karya dililit persoalan keuangan hingga risiko kebangkrutan. Jangan biarkan penjaminan pemerintah pada PT KCIC justru menghasilkan kinerja perusahaan tak kompetitif akibat perilaku moral hazard.
Pokok persoalannya bukan pada jaminan pemerintah, melainkan pelaksanaannya yang terkadang tak terkontrol. Keduanya sama-sama menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan agar setiap penjaminan yang bersumber dari keuangan pemerintah digunakan secara baik demi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (individu). Apalagi, 2024 adalah tahun yang rawan dari penyelewengan keuangan negara.