Menghindari Ancaman Jebakan Negara Berpendapatan Menengah
Untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, Indonesia membutuhkan perubahan kebijakan secara mendasar dalam pembangunan ekonomi yang selama dua dasawarsa ini sangat bertumpu pada ”booming” komoditas.
Kecenderungan tujuan ekspor terbesar Indonesia ke negara-negara maju, terutama Amerika yang makin inward looking (pengurangan gelontoran dollar ke bagian dunia lain), Eropa yang masih bergulat dengan krisis yang bersifat struktural, serta China yang sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan melihat struktur ekonomi Indonesia dewasa ini, seharusnya Indonesia menggeser kebijakan lebih fokus kepada pembangunan infrastruktur, tata ruang, reforma agraria, perbankan, fiskal, serta moneter yang mendorong industrialisasi agro dan perdesaan, selain mendorong reindustrialisasi non-agro. Selain itu, juga lebih menekankan ke sektor riil berskala menengah dan kecil sehingga terjadi keseimbangan antara skala besar dan UMKM.
Dengan fokus baru dalam kebijakan pembangunan ekonomi tersebut, dalam prosesnya nanti juga akan tumbuh kelas menengah yang besar dan independen yang akan lebih mendominasi secara terus-menerus, baik secara ekonomi maupun politik, dan akan makin menguntungkan rakyat banyak. Pembangunan ekonomi yang demikian lebih sesuai dengan tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni untuk melindungi seluruh warga negara (dari ketidakamanan akibat kemiskinan dan pengangguran), dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan ekonomi dan politik yang makin sehat.
Sebab, kalau kebijakan pembangunan ekonomi masih business as usual yang bertumpu kepada komoditas skala besar yang absen penguasaan teknologi dan kewirausahaan oleh anak bangsa, Indonesia akan masuk kepada jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Ini seperti telah terjadi di sejumlah negara, termasuk terakhir ini terjadi di Brasil dengan ketimpangan yang makin buruk dengan segala dampaknya secara sosial, ekonomi, dan politik.
Baca juga: Jebakan Pendapatan Menengah dan Inflasi
Seperti apa itu ”jebakan negara berpendapatan menengah” dan bagaimana Indonesia untuk keluar dari jebakan itu, di bawah ini akan diuraikan tulisan ”kebijakan baru pembangunan ekonomi” yang dibutuhkan ke depan.
Ada tiga faktor mengapa Indonesia dikhawatirkan bisa masuk dalam ”jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), yakni berakhirnya era pertumbuhan tinggi (rata-rata di atas 5 persen) dan pendapatan per kapita yang sekarang sekitar 4.000 dollar AS, terjebak tak mampu mencapai 10.000 dollar AS, bahkan bisa stagnan dan turun karena pertumbuhan ekonomi pun berada di level rendah, berkisar 4-5 persen.
Pertama, pertumbuhan selama era reformasi ini lebih bertumpu kepada ekspor komoditas seperti sawit, batubara, dan karet, serta konsumsi barang-barang yang makin berkandungan impor di dalam negeri. Masalah lain, investasi di sektor industri manufaktur semakin rendah, investor lebih tertarik kepada sektor perkebunan dan pertambangan untuk tujuan ekspor tanpa pengolahan.
Sekarang harga komoditas sangat fluktuatif. Krisis yang bersifat struktural di Amerika Serikat dan Eropa memukul korporasi-korporasi yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan skala besar. Kondisi ini pada gilirannya membuat pajak yang berasal dari korporasi tersebut berkurang secara signifikan.
Kedua, di satu pihak terjadi proses ”deindustrialisasi”. Jika pada periode 1987-1996 pertumbuhan industri manufaktur sekitar 12 persen, periode 2000-2020 hanya sekitar 6 persen dan makin padat modal. Di lain pihak, output produktivitas industri manufaktur yang digerakkan oleh teknologi (total factor productivity/TFP) juga melemah sejak era reformasi. Menurut hasil studi Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (L-KEN) dan Aliansi Kebangsaan, kalau periode 1987-1996 TFP 0,009, masih positif, tetapi pada periode 2000-2015 menjadi -0,0035.
Apalagi, kalau dipertanyakan konten teknologi yang dikuasai oleh anak bangsa, terutama target terjadinya full-manufacturing dengan penguasaan core-technology, sudah semakin jauh dari harapan. Padahal di negara-negara industri maju maupun baru, seperti Eropa, AS (Amerika Serikat), Jepang, dan Korea Selatan, faktor penguasaan teknologi inti dan full manufacturing menjadi faktor utama tercapainya kesejahteraan dan pertumbuhan yang terus-menerus (sustainable growth).
Dengan begitu, pendapatan per kapita maupun distribusi pendapatan pun terjadi perbaikan terus-menerus, ini terutama terjadi di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara akibat sistem perekonomian liberal yang dianut, AS mengalami kesenjangan pendapatan yang tetap tinggi, 40 persen penduduk berpendapatan terendah hanya menerima kurang dari 17 persen pendapatan nasionalnya.
Di negeri ini ada sejumlah orang kaya dari kalangan swasta, tetapi umumnya dihasilkan oleh kepengusahaan yang tidak berwatak entrepreneur dan lebih karena fasilitas dan ”kroniisme”.
Ketiga, karena masih sangat lemahnya keberadaan kelas menengah di Indonesia. Belajar dari sejarah RenaisansEropa dan Revolusi Prancis, kelas menengah yang jumlahnya sangat besar dan memiliki sikap independen dan kritis pada gilirannya mampu membuat transformasi masyarakatnya menjadi makmur dan egaliter. Sayangnya, kelas menengah di Indonesia belum terbentuk.
Memang, di negeri ini ada sejumlah orang kaya dari kalangan swasta, tetapi umumnya dihasilkan oleh kepengusahaan yang tidak berwatak entrepreneur, dan lebih karena fasilitas dan ”kroniisme”. Golongan ini pun jumlahnya hanya sekitar 0,008 persen dari jumlah pengusaha yang sekitar 65 juta.
Sementara, kalau kelas menengah dalam istilah Bank Dunia, yakni hanya dikategorikan orang yang berpenghasilan di atas 2 dollar AS per hari dan hanya sebagai konsumen. Meski jumlah kelas menengah ini sekitar 120 juta, mereka justru lebih banyak membebani APBN atau APBD, terutama untuk macam-macam subsidi. Mereka juga rakus akan barang dan jasa serta teknologi impor. Dengan demikian, kelas menengah dalam pengertian terakhir akan lebih menguras devisa yang justru akan menekan pertumbuhan ekonomi.
Keluar dari jebakan
Kalau kita melihat ”modal sosial, ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia (SDM), dan bahkan peradaban”, sebenarnya bangsa ini harusnya lebih mengonsentrasikan pada moda produksi agrikultur. Namun, agrikultur ini harus ditransformasikan secara industrial dengan konten teknologi yang makin tinggi serta jiwa kewirausahaan yang cukup.
Tengok dalam struktur ketenagakerjaan, dari angkatan kerja yang sekitar 135 juta, sekarang ini mereka bekerja di sektor pertanian skala menengah dan kecil. Sekitar 70 persen dari mereka bekerja dengan menghasilkan komoditas padi, palawija, karet, hortikultura, sawit, tembakau, kelapa, tebu, garam, peternakan sapi, dan seterusnya. Sementara, yang bekerja di perkebunan besar, misalnya dalam kelapa sawit, hanya sekitar 1,4 juta dan itu pun termasuk yang berpola kemitraan dengan perkebunan rakyat.
Sementara, dalam hal upah rata-rata untuk UKM perkebunan, misalnya untuk sawit dan karet masing-masing adalah Rp 1,2 juta dan Rp 960.000. Padahal upah buruh perkebunan rata-rata untuk sawit dan karet tersebut adalah Rp 760.000 dan Rp 650.000.
Bangsa ini harusnya lebih mengonsentrasikan pada moda produksi agrikultur.
Kita tahu prioritas yang tinggi dari pemerintah dewasa ini lewat kebijakan perizinan, alokasi tata ruang, permodalan perbankan, dan seterusnya sangat berpihak pada perkebunan dan pertambangan skala besar. Dengan demikian, tak heran dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sekitar 5 persen, lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan tinggi yang jumlahnya kurang dari 5 persen.
Hal itu menimbulkan ketimpangan pendapatan yang makin mencolok, yakni pada awal tahun 2000-an Rasio Gini Konsumsi sekitar 0,32 (relatif merata), pada 2012 sudah menjadi 0,41 (timpang), dan pada 2022 masih sekitar 0,39. Bahkan kalau memakai Rasio Gini Pendapatan sebenarnya sudah lebih dari 0,5. Artinya, ketimpangan yang buruk dengan segala dampaknya dalam meningkatkan kriminalitas, konflik sosial, ketidakstabilan politik, bahkan sulitnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen.
Keadaan ini sangat mirip seperti seperti yang sekarang sedang terjadi di Brasil. Negara ini sebelumnya menikmati pertumbuhan tinggi sekitar 5 persen, tetapi karena hanya memprioritaskan pembangunan ekonomi kepada pemodal raksasa serta meninggalkan UKM, pertanian, dan industri, maka terjadi ketimpangan yang tajam.
Akibat adanya gejala middle income trap, maka sekarang rata-rata pertumbuhan ekonomi Brasil hanya sekitar 2 persen. Itu pun masih dengan banyak persoalan seperti, banyaknya pengangguran, meningkatnya kemiskinan, ketimpangan dan konflik sosial. Dengan demikian yang mampu menyerap tenaga kerja dalam bidang agrikultur adalah pertanian skala menengah dan kecil.
Dengan ilustrasi tersebut kita dapat menarik kesimpulan, kalau kebijakan pembangunan ekonomi seperti sekarang diteruskan, yakni bertumpu kepada pertumbuhan GDP berbasis komoditas (perkebunan dan pertambangan berskala besar), maka akan berdampak buruk bagi pembangunan secara keseluruhan. Hal ini bukan hanya karena daya serap kesempatan kerjanya rendah, bahkan pekerjanya dibayar murah sehingga makin memperburuk ketimpangan.
Dan, kebijakan pembangunan ekonomi saat ini masih dengan konten teknologi dan kewirausahaan yang rendah karena umumnya komoditas yang diekspor masih berupa bahan mentah dan proses bisnisnya bersifat lebih menggantungkan pada fasilitas pemerintah. Upaya hilirisasi hingga kini masih banyak tantangan, termasuk enggannya kalangan konglomerat bisnis yang masih dalam zona nyaman yang mengandalkan kepada ekspor komoditas.
Hal ini diperkuat oleh analisis berdasarkan perhitungan Social Accounting Matrix (SAM) berbasis data BPS. Dari analisis ini, UKM justru dinilai lebih memiliki efek pengganda kesempatan kerja dan pendapatan, bahkan produktivitasnya pun lebih tinggi dibanding usaha skala besar.
Baca juga: Melompat Jadi Negara Maju
Kemudian, lebih spesifik lagi, menurut perhitungan SAM, sektor pertanian memberi kontribusi efek pengganda pendapatan dan kesempatan kerja yang jauh lebih besar daripada sektor pertambangan dan manufaktur. Hal ini tentu tidak harus meninggalkan industrialisasi non agro dan skala besar yang kini sudah berkembang, tetapi peran pemerintah cukup lebih bermain diregulasi dan market intelligence terutama untuk tujuan ekspor dari industri yang telah berkembang tersebut.
Menggeser kebijakan
Indonesia membutuhkan perubahan kebijakan secara mendasar dalam pembangunan ekonomi yang selama dua dasawarsa terakhir ini sangat bertumpu kepada booming komoditas yang didukung oleh capital inflow terutama dollar AS lewat pasar modal dan pasar uang. Sekarang era itu telah berakhir. Dengan suplai dollar AS yang dikurangi secara drastis disertai peningkatan suku bunga Sentral AS (the FED) --karena ekonomi AS sudah pulih-- berdampak terhadap perekonomian negara-negara di luar AS.
Kalau kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia masih business as usual, maka dikhawatirkan bukan hanya Rupiah dan IHSG (Index Harga Saham Gabungan) yang terus menerus akan terpuruk, bahkan bisa mengalami “jebakan negara berpendapatan menengah”.
Didin S Damanhuri, Guru Besar FEM IPB University dan Universitas Paramadina