Menaikkan pertisipasi perempuan di dunia kerja 3 persen dapat menambah 135 miliar dollar AS pada perekonomian Indonesia di tahun 2025.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Aktivitas produksi di salah satu tempat produksi pakaian di Kawasan Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Jakarta Timur, Oktober 2022. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan hanya 35,57 persen perempuan bekerja di sektor formal.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2023 baru usai. Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk tahun 2023 ingin ASEAN tetap penting dan relevan bagi anggotanya. Indonesia juga ingin ASEAN menjadi pusat pertumbuhan kawasan dan dunia, motor perdamaian dan kesejahteraan dengan tema ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”.
ASEAN yang beranggotakan 11 negara tahun 2023 diperkirakan tumbuh 4,2 persen, sementara pertumbuhan ekonomi global adalah 3 persen. Indonesia mendorong fokus pertumbuhan pada perbaikan arsitektur kesehatan, pangan, energi, dan stabilitas keuangan.
Ambisi menjadi pusat pertumbuhan kawasan dan global memerlukan pemanfaatan penuh potensi tiap negara dan kerja sama di antara anggota. ASEAN memiliki peluang besar untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global. Salah satu peluang datang dari perempuan sebagai angkatan kerja.
Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan di ASEAN bervariasi. Tingkat partisipasi perempuan berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2022 terendah di Filipina, yaitu 46 persen, tertinggi di Kamboja sebesar 69,6 persen meskipun 93,8 persen berada di sektor informal. Sementara tingkat partisipasi di Indonesia 52,7 persen, tidak banyak berubah sejak tahun 2000 yang 52 persen (The Asean Magazine, 22 Mei 2023). Partisipasi kerja perempuan Indonesia tidak berbeda jauh dari Malaysia (52,7 persen) dan Brunei Darussalam (55,5 persen). Di Indonesia, tingkat partisipasi kerja laki-laki 82 persen.
Bila disigi lebih lanjut, separuh tenaga kerja perempuan di Indonesia bekerja di sektor informal, tidak termasuk di pertanian. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, hanya 35,57 persen perempuan bekerja di sektor formal dan laki-laki ada 43,97 persen pada tahun 2022.
Di sektor keuangan, hanya 51,35 persen perempuan berusia di atas 15 tahun memiliki akun di lembaga keuangan atau penyedia jasa layanan keuangan digital. Inklusi keuangan perempuan tertinggi ada di Singapura (96,31 persen), Malaysia (82,48 persen), dan Thailand (79,78 persen).
Manfaat partisipasi
Meningkatkan partisipasi kerja perempuan memiliki dampak nyata pada perekonomian. Kajian McKinsey Global Institute menyebut, menaikkan partisipasi perempuan di dunia kerja 3 persen dapat menambah 135 miliar dollar AS pada perekonomian Indonesia di tahun 2025. Pertambahan ini setara Rp 2.065,5 triliun dengan nilai tukar rupiah Rp 15.300 per dollar AS. Pada tahun 2022 besar ekonomi Indonesia Rp19.588,4 triliun.
Pertumbuhan ini diperlukan bila Indonesia ingin menjadi negara kaya pada 2045. Pada tahun 2012 McKinsey membuat proyeksi, Indonesia membutuhkan tambahan tenaga kerja setengah terdidik dan terdidik 113 juta orang pada tahun 2030 agar ekonomi tumbuh 5-6 persen. Kebutuhan itu akan lebih besar bila Indonesia ingin tumbuh 7 persen per tahun agar menjadi negara kaya. Kebutuhan itu dapat ditambal bila lebih banyak perempuan berpendidikan SMP dan SMA ke atas memasuki sektor kerja formal.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Akses pendidikan tinggi bagi perempuan perlu didukung untuk membantu perempuan mewujudkan mimpi mereka. Terlihat sejumlah perempuan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat melakukan program kuliah kerja nyata di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan di Indonesia berhubungan dengan budaya yang belum memberi kesempatan perempuan berpartisipasi penuh. Budaya patriarki, seperti disebutkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam berbagai kesempatan, masih diyakini sebagian besar masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tertinggal dalam akses, partisipasi, akses dan manfaat pembangunan.
Akibat pandangan tersebut, beban perempuan lebih besar dalam kerja perawatan yang tidak bernilai ekonomi. Ekonomi perawatan (care economy) menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab utama perawatan anak, orang lansia, penyandang disabilitas, dan rumah.
Kebutuhan itu dapat ditambal bila lebih banyak perempuan berpendidikan SMP dan SMA ke atas memasuki sektor kerja formal.
Lisa Cameron, peneliti pada University of Melbourne, Diana Contreras Suarez (University of Melbourne), dan Diahhadi Setyonaluri (Universitas Indonesia) dalam diskusi Forum Kajian Pembangunan (16/8/2023) menyebut, antara lain, perempuan dengan pendidikan SMP paling terdampak oleh tanggung jawab merawat anak. Hal lain, kemungkinan kembali masuk ke lapangan kerja setelah mendapat anak pertama sangat rendah sampai anak berusia 12 tahun.
Lisa dkk menemukan, laki-laki dan perempuan ternyata memiliki persepsi mereka tidak didukung komunitasnya bila istri bekerja di luar rumah. Suara yang didengar, antara lain, sesama laki-laki suami dan ibu atau ibu mertua. Beberapa kekhawatiran bila istri bekerja di luar rumah adalah pendapatan istri akan melebihi suami, tidak pantas suami ikut mengurus anak sehari-hari, anak akan tidak terurus bila ibu bekerja di luar rumah.
DOKUMENTASI PRIBADI
Demi mendukung istri kuliah, Mirza Idham Saifuddin turun tangan menjadi fulltime bapak rumah tangga. Ia mengurus berbagai urusan domestik dan keperluan anak.
Persepsi tersebut dalam penelitian Lisa dapat diubah dengan intervensi berupa informasi bahwa persepsi mereka tidak tepat. Komunitas ternyata mendukung perempuan bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan dan suami ikut mengurus anak dan rumah. Intervensi ini relatif berbiaya rendah dan tidak mengganggu hubungan sosial, tetapi cukup efektif.
Intervensi kebijakan
Hambatan budaya lain adalah pandangan bahwa anak perempuan kurang mampu atau kurang cocok menguasai pengetahuan bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematik (science, technology, engineering, math/STEM). Penguasaan STEM sangat penting agar perempuan dapat bersaing di dunia kerja berpendapatan tinggi di tengah perubahan cepat teknologi. Saat ini, industri manufaktur ditandai otomatisasi dan digitalisasi yang memerlukan penguasaan STEM. Pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan intervensi melalui kebijakan pendidikan, membuat STEM lebih menarik dipelajari anak perempuan dan laki-laki. Intervensi juga perlu dilakukan melalui komunitas serta pemimpin lokal formal dan informal.
Dalam skala nasional, pemerintah diharapkan membuat kebijakan lebih luas dan substantif, menjadikan isu jender arus utama di setiap kebijakan dengan tidak berfokus hanya pada pemberdayaan perempuan yang umumnya mengutamakan pemenuhan kebutuhan praktis. Masih terdapat pemerintah daerah yang menggabungkan pemberdayaan perempuan dengan bagian sosial dan kepemudaan. Stereotipe ini menunjukkan pengarusutamaan jender belum menjadi bagian inheren kebijakan pembangunan.
Pemerintah juga dituntut membuat kebijakan lebih berani untuk memenuhi kebutuhan strategis perempuan, seperti akses pada pembiayaan tanpa tergantung pasangan, partisipasi dalam menentukan penggunaan dana desa, atau hak yang sama atas alat usaha seperti tanah. Tanpa langkah progresif, partisipasi kerja perempuan akan lambat bertambah, bahkan ketika perempuan sudah mengenyam pendidikan tinggi. Kerugian ada pada semua rakyat Indonesia.