Tenun-tenun Wedani Penjaga Devisa
Lewat ekspor sarung dan kain tenun, Desa Wedani di Gresik, Jawa Timur, berkontribusi menjaga cadangan devisa negara di tengah berbagai risiko ekonomi global yang akhir-akhir ini mengancam stabilitas nilai tukar rupiah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2Fd2743d1b-dd50-4274-b1ed-293afcfe1c8c_jpg.jpg)
Pembina Koperasi Produsen Wedani Giri Nata Mas Ariyatin (40) berfoto bersama kain-kain tenun Wedani yang akan diekspor ke berbagai negara, Rabu (13/9/2023) di Balai Desa Wedani, Gresik, Jawa Timur. Desa Wedani dinobatkan menjadi "Desa Devisa" ke-24 pada November 2021 lalu dan kini telah memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan yang diekspor ke Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Yaman, Bangladesh, dan Somalia.
Sudah sejak abad ke-15, warga Desa Wedani di Kecamatan Cerme, Gresik, Jawa Timur, merajut sarung tenun secara turun-temurun. Dari awalnya dibuat untuk menutupi aurat sesuai ajaran Wali Songo, sarung Wedani kini menembus pasar dunia, menggerakkan ekonomi desa, dan ikut menjaga pundi-pundi devisa negara di tengah berbagai kendala.
Hamparan sarung, kain songket, dan baju berbahan tenun dengan beragam motif dan warna menghiasi Balai Desa Wedani, Rabu (13/9/2023). Dari sebuah desa kecil di Gresik, Jawa Timur, kain-kain itu akan melanglang buana ke sejumlah negara hingga lintas benua, mewakili pembuatnya yang sebagian besar belum pernah menginjakkan kaki ke luar Indonesia.
Wedani hanya satu dari beberapa sentra perajin tenun yang ada di Gresik, ”kota santri” yang identik dengan industri sarung tenunnya. Setiap hari, ada total 62 perajin skala kecil-menengah dan 1.500 tenaga kerja yang berjibaku merajut tenun menjadi sarung, kain songket, dan baju secara manual alias menggunakan alat tenun bukan mesin.
Baca juga: Desa yang Menjaga Devisa
Tradisi menenun di Wedani telah berlangsung lintas generasi hingga sekarang dilanjutkan oleh generasi kelima. Budaya ini mulai berkembang saat Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gresik yang menjadi pemimpin Wali Songo generasi pertama yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, mengajari warga setempat cara menenun sarung untuk menutupi aurat saat beribadah shalat.
Berawal dari anjuran agama, tradisi itu berkembang menjadi lapangan usaha. ”Jadi, bisa dikatakan Malik Ibrahim itu pengusaha UKM (usaha kecil menengah) pertama di sini dan pekerja-pekerjanya adalah warga setempat,” kata Mas Ariyatin (40), salah satu perajin tenun yang kini membina koperasi produsen tenun di Wedani, Koperasi Produsen Wedani Giri Nata.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2Fc2ba0924-3d8e-4277-9d5c-7a598b2d445b_jpg.jpg)
Pejabat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Wakil Bupati Gresik, dan perwakilan Koperasi Produsen Wedani Giri Nata bersenda gurau sembari mencoba kain-kain tenun Wedani yang akan diekspor ke sejumlah negara, Rabu (13/9/2023), di Balai Desa Wedani, Gresik, Jawa Timur.
Lama-kelamaan, setelah terbiasa menenun dan mampu memproduksi secara mandiri, warga tidak lagi bekerja untuk Malik Ibrahim dan memilih merintis usahanya sendiri. ”Sejak itu, menenun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di sini,” ucapnya.
Desa Wedani resmi menjadi ”desa devisa” ke-24 pada November 2021 setelah melalui masa pandemi Covid-19 yang sempat memukul usaha para perajin. Lewat binaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), 550 penenun diberi pelatihan, pendampingan, dan fasilitas untuk meningkatkan kapasitas usaha, kualitas dan kuantitas produksi, serta menembus pasar ekspor.
Sampai hari ini, perajin tenun di Desa Wedani telah mampu memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan.
Awalnya, tak mudah mencari pasar ekspor untuk sarung karena tidak semua negara memiliki tradisi mengenakan sarung. Untuk menembus pasar ekspor yang lebih luas, sejak resmi berstatus desa devisa, penenun di Desa Wedani pun mulai memproduksi kain songket dan baju berbahan tenun.
Tidak langsung
Sampai hari ini, perajin tenun di Desa Wedani telah mampu memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan. Tidak hanya dijual di Indonesia, kain-kain itu diekspor secara tidak langsung (indirect export) ke enam negara, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Yaman, Bangladesh, dan Somalia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2F3db04de4-ef17-4b7d-a34e-8a526fbbd2cb_jpg.jpg)
Gerbang masuk menuju Desa Wedani, Gresik, Jawa Timur, Rabu (13/9/2023). Tradisi menenun di Desa Wedani telah berlangsung turun-temurun melintasi generasi. Wedani dinobatkan menjadi "desa devisa" ke-24 pada November 2021 dan kini telah memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan yang diekspor ke Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Yaman, Bangladesh, dan Somalia.
Sejak berstatus desa devisa, nilai ekspor kain tenun dari Wedani mencapai kisaran Rp 300 juta-Rp 400 juta per tahun. Kapasitas produksi meningkat 14 persen dan penjualan naik 29 persen. Tahun ini, hingga Agustus 2023, Desa Wedani telah mengekspor tenun dan menyumbangkan tambahan cadangan devisa bagi negara senilai Rp 450 juta.
Ariyatin mengatakan, satu UKM bisa mengekspor 10 kodi sampai 20 kodi (200-400 lembar kain) setiap bulan. Harga yang dipasang berbeda-beda, tergantung dari bahan baku yang dipakai dan motifnya. Sebagai contoh, sarung motif ikat dengan bahan baku katun dihargai Rp 200.000 per lembar, sementara motif songket berbahan sutra bisa mencapai Rp 1,5 juta per lembar.
Dengan skema ekspor tidak langsung, penenun menjual kain ke distributor, yang melakukan pengemasan dan mengekspornya. ”Jadi, kami selama ini tidak punya merek, kami hanya produksi dan menjual ke orang lain yang punya merek, mereka yang mengekspor,” ujar Ariyatin.
Jika satu UKM mengekspor 10 kodi dalam sebulan, omzet bulanan yang didapat lewat skema tidak langsung itu Rp 5 juta-Rp 14 juta. ”Kalau bisa ekspor langsung secara sendiri, omzetnya bisa jauh lebih tinggi dari itu karena kami cukup bernegosiasi satu kali dengan pembeli di luar negeri,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F22%2F99663863-3ff3-4e57-affc-a95d840ee3cf_jpg.jpg)
Kain sarung yang baru selesai dibuat dengan alat tenun bukan mesin di Desa Iker-iker Geger, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (22/6/2022). Untuk satu kain yang dihasilkan, perajin mendapat upah Rp 55.000. Jika dikerjakan secara serius, dalam satu hari satu perajin dapat menghasilkan satu lembar kain sarung. Sebagian besar pekerja adalah ibu rumah tangga sehingga waktunya dibagi antara mengurus keluarga dan membuat tenun.
Wakil Bupati Gresik Aminantun Habibah berharap, ke depan, ekspor tenun Wedani bisa dikelola secara langsung di bawah koperasi. Baru-baru ini, koperasi didampingi pemerintah setempat telah mendaftarkan merek dagang sendiri secara gratis dengan nama WGN (Wedani Giri Nata).
Penjajakan bisnis (business matching) pun telah dilakukan dengan calon pembeli dari Brunei Darussalam, Malaysia, Somalia, dan Bangladesh. ”Pasar baru akan terus dibuka, yang penting kesiapan kualitas dan kuantitas untuk ekspor ke mancanegara itu bisa terjamin,” kata Aminantun.
Kami masih terseok-seok, khususnya karena keterbatasan modal dan pemahaman marketing yang masih bersifat lokal.
Jalan menuju itu tidak mudah karena tidak semua hasil tenun memiliki kualitas sama. Ariyatin mengatakan, hal itu sempat membuat calon pembeli dari luar ragu untuk membeli produk tenun Wedani dalam jumlah besar karena belum ada standar kualitas yang seragam.
Sebagian besar perajin masih sulit mengakses bahan baku dan pewarna impor yang terjangkau dari China dan India. Sebagian juga terkendala modal yang tipis. ”Kami masih terseok-seok, khususnya karena keterbatasan modal dan pemahaman marketing yang masih bersifat lokal,” lanjutnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F22%2F90410332-4a6c-4a43-9aed-cce14d63ad06_jpg.jpg)
Perajin menyambung benang saat membuat sarung dengan alat tenun bukan mesin di Desa Iker-iker Geger, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (22/6/2022). Sebagian besar pekerja adalah ibu rumah tangga sehingga waktunya dibagi antara mengurus keluarga dan membuat tenun.
Salah satu kendala terbesar ada di bagian pewarnaan. ”Teknologinya kami belum punya. Tetapi, baru-baru ini, kami dapat bantuan dari BUMN-BUMN lewat dana CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) untuk teknologi pewarnaan. Jadi nanti satu tempat untuk pewarnaan supaya standarnya sama dan layak ekspor,” tuturnya.
Penjaga devisa
Wedani hanya salah satu desa devisa yang berkontribusi menopang pundi-pundi devisa Indonesia di tengah berbagai risiko ekonomi global yang akhir-akhir ini mengancam cadangan devisa negara dan stabilitas nilai tukar rupiah. Dari penurunan kinerja ekspor hingga pengetatan kebijakan moneter negara maju yang berpotensi berlangsung lebih lama.
Baca juga: Mengamankan Devisa Hasil Ekspor
Saat eksportir besar berbondong-bondong memarkirkan dana devisanya di luar negeri sehingga mengurangi potensi pasokan devisa di dalam negeri, industri kecil dan menengah dari desa-desa di seluruh Indonesia itu menyumbangkan devisa bagi negara meski nilainya mungkin tak seberapa.
Sejak diinisiasi tahun 2019, hingga kini telah ada 412 desa devisa yang terbagi ke dalam lima industri, yaitu industri kopi, perikanan dan hasil laut, kakao, rempah, kelapa dan produk turunan, batik dan tenun, serta furnitur. Desa-desa itu telah mengekspor produk ke sejumlah negara, dari pasar ekspor tradisional hingga nontradisional seperti di wilayah Afrika.

Fungsional Ahli Bidang Jasa Konsultasi LPEI Gerald Grisanto mengakui, salah satu kendala terbesar adalah kegiatan ekspor di banyak desa yang masih bersifat tidak langsung, seperti di Wedani. Namun, pendampingan akan terus ditingkatkan kepada para perajin dan pengusaha kecil yang berstatus desa devisa.
”Program ini masih baru dan masih terus bertumbuh sehingga masih butuh waktu dan dukungan dari banyak pihak untuk berkembang. Kami juga berharap, pelaku usaha bisa meningkatkan terus daya saing produknya sehingga ke depan bisa melakukan penetrasi pasar secara mandiri,” katanya.