Remah-remah devisa dari hasil ekspor pelaku UKM dan petani di desa dapat turut menjaga “senjata” penstabil rupiah. Mungkin nilainya tidak akan sebanding dengan devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Para pekerja industri plasma wig dan bulu mata di Desa Bojanegara, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (28/9) sedang menyelesaikan kerajinan bulu mata pesanan salah satu pabrik. Menjadi pekerja plasma semakin banyak dipilih tenaga kerja perempuan setempat terutama ibu-ibu rumah tangga karena meskipun pendapatan murni disesuaikan banyaknya bulu mata yang bisa diselesaikan.
Sementara banyak eksportir besar menyimpan devisa di negara lain, pelaku usaha kecil menengah di sejumlah desa berupaya menjaga pundi-pundi devisa Indonesia. Melalui bulu mata palsu, kopi, kakao, lada, dan tenun, mereka turut menyumbang remah devisa di saat cadangan devisa yang tergerus dan kinerja ekspor yang mulai beranjak turun.
Siapa sangka produk bulu mata usaha kecil menengah (UKM) di sejumlah desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, telah merambah 16 negara. Beberapa di antaranya adalah Amerika Serikat, Kanada, Turki, Zimbabwe, Nigeria, Belanda, Jepang, India, Meksiko, dan Perancis.
Pada 8 Februari 2023, kabupaten tersebut telah memiliki Desa Devisa yang digagas Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), “kendaraan” pelaksana misi khusus (special mission vehicle) Kementerian Keuangan. Melalui program Desa Devisa, sekitar 80 pelaku UKM bulu mata palsu di Desa Popongan, Semawung, Clapar, dan Pekutan itu mendapatkan pendampingan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, serta menjaga dan membidik pasar ekspor.
Tak hanya bulu mata palsu. Lada hitam di Kabupaten Lampung Timur, Lampung, juga turut menyumbang devisa. Lada hitam produksi petani di enam desa telah masuk India, Kenya, Australia, dan Jerman. Sentra desa lada hitam itu juga telah menjadi Desa Devisa.
Di tengah banyak eksportir besar menyimpan devisa di negara lain, pelaku usaha kecil menengah di sejumlah desa berupaya menjaga pundi-pundi devisa Indonesia.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Hamparan tanaman lada perdu mulai tumbuh subur di kebun percobaan milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Rabu (5/4). Kebun percobaan tersebut mengembangkan komoditas tanaman yang menjadi potensi andalan Lampung salah satunya lada perdu yang bisa dibudidayakan di lahan terbatas.
Desa Devisa merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan potensi komoditas ekspor sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. LPEI atau Indonesia Eximbank menginisiasi program Desa Devisa itu sejak 2019.
LPEI menargetkan dapat mengembangkan 5.000 desa devisa hingga 2024. Hingga Desember 2022, LPEI telah melahirkan 178 desa devisa. LPEI bekerja sama dengan pemerintah daerah dan sejumlah perusahaan swasta. Desa-desa devisa yang tersebar di sejumlah daerah ini terdiri dari berbagai kluster, antara lain, kopi, kakao, furnitur, udang, lada, dekorasi rumah, dan tenun.
Melalui program Desa Devisa itu, UKM dan petani Indonesia bisa naik kelas sebagai eksportir. Di sisi lain, program tersebut dapat membuat aliran devisa Indonesia tetap terjaga. Apalagi pada tahun ini, Indonesia membutuhkan cadangan devisa yang kuat agar rupiah tidak terdepresiasi semakin dalam.
Meredam “strong dollar”
Sepanjang 2022, nilai tukar rupiah tertekan penguatan dollar AS. Berdasarkan data kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan akhir tahun 2022, ditutup melemah Rp 15.592. Nilai tukar rupiah itu terdepresiasi sebesar 9,31 persen dibandingkan perdagangan akhir tahun 2021 yang senilai Rp 14.263.
Cadangan devisa Indonesia semakin tergerus guna menstabilkan nilai tukar rupiah tersebut. BI mencatat, cadangan devisa RI turun 5,31 persen dari 137,2 miliar dollar AS dibandingkan Desember 2021 yang sebesar 144,90 miliar dollar AS.
Petugas menghitung dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT D8 Valasindo di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2019).
Meski mulai mereda, tekanan strong dollar itu diperkirakan masih berlanjut pada tahun ini. Di sisi lain, kinerja ekspor Indonesia pelan-pelan mulai surut dan impor perlahan meningkat seiring dengan ekspansi permintaan domestik. Tren harga komoditas global juga semakin turun, sehingga Indonesia tidak lagi bisa mengandalkan “durian runtuh” atau windfall.
Badan Pusat Statistik mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia kian susut sejak November 2022. Surplus neraca perdagangan RI yang pada Oktober 2022 sebesar 5,56 miliar dollar AS turun menjadi 5,13 miliar dollar AS pada November 2022. Setelah itu, surplus tersebut semakin menyempit menjadi 3,87 miliar dollar AS.
Agar rupiah tetap dapat melawan dollar AS di tengah tantangan itu, pemerintah menggulirkan sejumlah kebijakan. Hal itu mulai dari menjaga dan meningkatkan kinerja ekspor, subtitusi impor, hingga memulangkan devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri.
Untuk menarik devisa hasil ekspor ke sistem keuangan dalam negeri, misalnya, pemerintah akan menyasar sektor manufaktur. Selama ini, baru devisa dari hasil ekspor komoditas perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan perikanan yang wajib ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia.
Agar menarik bagi eksportir, pemerintah sedang menyiapkan insentif. Salah satu insentif yang dipertimbangkan pemerintah adalah insentif pajak khusus bagi eksportir manufaktur yang menaruh devisa di dalam negeri.
Remah-remah devisa hasil ekspor pelaku UKM dan petani di desa dapat turut menjaga “senjata” penstabil rupiah. Mungkin nilainya tak seberapa dibandingkan devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri.
Dalam B-Universe Economic Outlook 2023 pada 14 Februari 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, devisa ekspor akan diwajibkan diparkir di dalam negeri selama tiga bulan dengan dana yang ditahan sekitar 30 persen. Dengan begitu, devisa hasil ekspor yang tersimpan di dalam negeri bisa mencapai 40 miliar dollar AS hingga 50 miliar dollar AS dalam setahun.
Di tengah tergerusnya cadangan devisa dan semakin menyempitnya surplus perdagangan RI, remah-remah devisa hasil ekspor pelaku UKM dan petani di desa dapat turut menjaga “senjata” penstabil rupiah. Mungkin nilainya tak seberapa dibandingkan devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri. Namun, keberadaan ekonomi kerakyatan berbasis ekspor di desa devisa tetap dapat menyangga cadangan devisa Indonesia.
Semoga program Desa Devisa tak layu sebelum berkembang.